Kematian Puisi Indonesia, Benarkah?

Oleh: Matroni el-Moezany*

Saya sangat sepakat apa yang dikatakan Aguk Irawan MN di Kompas, Sabtu, 5 September 2009 bahwa nasib puisi di Indonesia mengalami kegetiran atau musibah kematian. Ini terlihat dari media massa yang sejak dulu konsisten memuat puisi kini sudah bisa dikata berhenti, sekarang lebih banyak penyairnya ketimbang kata-katanya di media. Penerbit pun demikian, mereka belum berani untuk menerbitkan antologi puisi. Apakah ini akibat dari minimnya penjualan buku puisi di pasaran, sehingga puisi menjadi sangat ditakuti penerbit.
Puisi sekarang lebih banyak mengisi rak pribadi penyair, file, dan di benak-benak para penyair saja, karena kita harus berjuang melawan para penyair yang lain, sementara media yang mereka tujuh hanya sedikit itupun hanya sekali dalam satu Minggu, jadi sangat sulit untuk menampilkan proses kreativitas para penulis puisi di Indonesia, khususnya pulau Jawa.
Mengapa pulau Jawa. Saya sudah membuktikan selama dua bulan edisi Minggu membaca Koran Tempo yang menulis puisi hanya orang Sumatra (penulis luar jawa), artinya kalau boleh berkata apresiasi media terhadap puisi lebih banyak media Sumatra penyairnya pun juga banyak dari Sumatra. Seperti Lampung Post, Batam Pos, Riau Pos, Padang Ekspres, Pontianak Post, dan lain-lain. Bahkan Tempo dikuasai penyair Sumatra.
Kini beberapa media yang ada di Pulau Jawa yang sebelumnya dikenal komitmen perhatiannya kepada puisi menghapus rubrik itu. Dan bukan hanya penerbit yang meninggalkan puisi secara definitif, beberapa toko buku juga sudah jarang memajang buku puisi sejak beberapa tahun lalu. Walau pun ada media Jawa masih sangat minim dalam hal apresiasi puisi.
Ada apa sebenarnya? Apakah yang membuat masyarakat puisi tidak diperhatikan? Apakah kita masih belum mampu untuk melihat dampak puisi terhadap realitas? Apakah karena puisi tidak memiliki banyak saku untuk menjadi pemimpin bangsa? Atau karena puisi memang sudah saatnya mengalami kematian?
Kalau memang demikian, saya sebagai penulis puisi, kematian tidak akan ada untukku, entah bagi kalian? Padahal kalau kita melihat perjalanan sejarah puisi. Puisi menjadi penentu dalam perjalanan membangun peradaban. Semangat-semangat puisi selalu menyusuf pada aliran darah untuk merangsang laju perjalanan politik yang baik. Jadi tidak diherankan kalau John F Kennedy teringat puisi pada hari pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat.
Dia mengundang Robert Frost, penyair ternama Amerika Serikat pada pertengahan abad 20, untuk membacakan puisi di depannya. Sebuah penampilan memukau yang akhirnya menginspirasi Presiden baru itu menciptakan ungkapan, ”Jika politik itu kotor, puisi yang akan membersihkannya. Itulah sebuah kesadaran realitas sejarah puisi yang mampu memberikan sumbangsih besar terhadap perjalanan dalam memperjuangkan bangsa. Kalau kita ingin melihat sejarah puisi sudah tidak diragukan lagi, betapa puisi sangat berpengaruh bagi perkembangan Negara, seperti di Yunani dan Negara lain di dunia.
Pada masa jahiliyah pun puisi dan penyair memiliki posisi yang sangat tinggi secara sosial. Pengaruhnya melebihi ketua suku, bangsawan, dan saudagar kaya.
Nazik Malaikah misalnya sebagai penyair Irak, yang dianggap sebagai penyair revolusioner. Walau pun di Nusantara, puisi-puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16 dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi transendental masa kini. Adapun puisi-puisi karya Chairil Anwar, misalnya, turut membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Bagaimana pula kita menafikan puisi-puisi WS Rendra dalam mendorong perubahan politik di negeri ini? Tapi untuk saat ini hal itu hanya menjadi sebuah catatan kosong bagi negeri ini, artinya negeri ini belum memberikan kesempatan terhadap generasi muda untuk tampil menjadi Hamzah Fansuri mudah dan Chairil Anwar Muda dan WS Rendra Muda.
Dalam catatan sejarah, puisi memiliki mahkota yang sangat berharga, menurut Adonis, puisi tidak lahir dari kekosongan sosial-budaya, dan estetika kata-kata, namun puisi-puisi itu langsung berhubungan dengan proses membangun makna hidup dalam konteks sosial-budaya dalam lingkup ruang dan waktu, baik dalam ruang temporal maupun perenial. Hanya puisilah yang mampu menjadi manusia seimbang dalam menjalani kehidupan. Bahkan dalam Negara sekali pun. Sebab kesemibangan dalam menjalani hidup itu sangat penting, agar kita tidak mengalami kegersangan paradigma, yang kita bangun sendiri. Dalam hal ini puisi mampu mencapai hal itu.
Puisi lebih mampu menembus batas dan melampaui identias hati nurani masyarakat. Tapi apa yang dikatakan tadi, saat ini nyawa puisi sudah berada ditenggorokan. Para penyair juga harus bertanggungjawab. Dan kualitas puisi, sebab kalau kualitas puisi sudah bisa dipahami oleh masyarakat, kamatian puisi mungkin dapat dicegah. Tapi kenyataannya, puisi sekarang lebih mumet dan jelimet untuk bisa dipahami oleh masyarakat, karena selalu mementingkan estetika kata-kata kosong.
Sepertinya mereka terjebak dengan romantisme era modern yang lebih mementingkan materi ketimbang isi bahkan kehilangan kontekstualitasnya. Akibatnya mereka “mati” dari peristiwa-perintiwa penting yang menyelimuti negeri ini. Apakah ini akibat dari mendewakan seni untuk seni? Puisi hanya berlaku untuk masyarakat seni dan hidup didalamnya. Kayak sebuah ironi, yang tampak mirip dengan gambaran karya Yunani “Tuhan yang Tak Dikenal”. Kita menyadari bahwa Tuhan itu ada, tetapi karena terasa jauh dan sukar dijangkau, maka ”pengetahuan” atas-Nya pun menjadi milik segelintir orang saja.
Haruskah puisi menjadi kata-kata yang tidak dikenal? Mari kita perjuangkan puisi kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani