Kelemahan Inventarisasi Seni-Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany*

Seni dan budaya sebagai hak dan kekayaan intelektual bangsa, sangat disayangkan ketika karya kita diambil oleh orang yang tidak memiliki kreativitas dalam menciptakan seni. Oleh karenanya, dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pada Pasal 10 Ayat 2 disebutkan, negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang jadi milik bersama, di antaranya cerita, hikayat, dongeng, legenda, tarian, koreografi, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
Kalau sudah ada hak yang melindungi seni dan budaya, yang terpentinng bagi kita hanya menekankan adanya sama kerja (bukan kerja sama) untuk melindungi hasil karya rakyat. Salah satu cara adalah sama kerja untuk mengumpulkan atau menginventarisasi seni dan budaya yang ada di daerah-daerah.
Sudah sejal lama pemerintah kita sudah mengimbau kepada pemerintah daerah agar menginventarisasi seni budaya lokal yang ada di daerahnya. Namun, dari 33 provinsi yang ada di Tanah Air, hanya baru tiga provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan DI Yogyakarta, yang melakukan inventarisasi seni budaya mereka. Hasilnya, terdapat sekitar 600 seni budaya yang ada di ketiga provinsi tersebut.
Ini sebuah fenomena yang belum kita sadari bersama, entah karena adanya faktor ekonomi, politik, budaya dan diri sendiri yang kemudian saling mempengaruhi pemerintah daerah, sehingga mereka belum sempat untuk menginventarisasi seni dan budaya yang ada di daerah. Andai saja himbauan pemerintah itu benar-benar dilaksanakan dengan baik, klaim seni dan budaya tidak lagi menjadi ada.
Berdasarkan kewenangan itu, pemerintah dharapkan bisa dan mampu untuk melakukan publikasi multimedia internasional secara besar-besaran, baik melalui televisi, internet, media luar ruang maupun buku-buku mengenai seni budaya. Menurut Agus Sarjono bahwa melalui publikasi dan penyajian data yang baik di lembaga internasional, klaim pihak asing terhadap seni budaya Indonesia bisa dihindarkan. Ini suatu kepastian bahwa data akurat yang dipublikasikan di media dan buku akan menjadi kekayaan yang luar biasa terhadap perkembangan bangsa. Sayangnya hal itu masih sangat minim kita jumpai di penerbit-penerbit, seperti seni lokal dan budaya lokal yang kemudian diterbitkan menjadi buku.
Dalam hal ini, bukan saja pihak pemerintah daerah tapi bagaimana pemerintah pusat, dan penerbit-penerbit juga ikut andil untuk mendata seni dan budaya yang kita miliki sebagai bukti catatan seni yang ada di daerah-daerah setempat. Ketika inventarisasi ini sudah berjalan maksimal, maka publikasi secara internasional juga harus digalakkan.

Perlindungan Lemah
Selain inventarisasi, publikasi yang lemah dan kurangnya dana, Indonesia juga menghadapi persoalan buruknya birokrasi pendataan hak cipta yang selama ini terjadi. Meskipun permohonan pendaftaran hak cipta mengenai seni budaya sudah disampaikan, misalnya, belum tentu permohonan tersebut segera diproses dan dipublikasikan. Salah penyebab adalah masalah dana, banyak para dosen, dan mahasiswa yang meneliti seni lokal, sehingga mereka hanya sebatas kebutuhan akademis, padahal kalau kita apresiasi dengan baik, dengan diterbitkan, kita akan menyimpang kekakayaan yang luar biasa.
Sejak 2002 sampai Juni 2009, misalnya, sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephuk dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang disetujui belum dipublikasikan. Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar hukum formal (Kompas/31/8/09).
Menurut Ansori Sinungan mestinya pemerintah segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Agar kekayaan seni dan budaya Indonesia benar-benar dilindungi, kalau pemerintah saja demikian buruknya, jadi kesalahan bukanlah terletak pada rakyat sebagai pelaku seni dan pencipta seni, tapi buruknya pemerintah dalam memproses data-data yang ada sangat lambat, lamban dan buruk. Ini suatu realitas pemerintahan kita sendiri, yang sejak awal niatnya bukan mengabdi, tapi “menghabisi”, jadi tidak diherakan kalau sampai detik ini Indonesia belum damai dari korupsi dan kahilangan-kahilangan kreativitasnya rakyat kita sendiri. Anehnya mereka tidak sadar, kalau seni dan budaya merupakan harta yang sangat berharga untuk kita publikasikan pada dunia, mereka baru sadar ketika sudah banyak rakyat yang berkomentar di media, dan merasa kehilangan karyanya sendiri.

Proaktif Asing
Dalam soal publikasi seni budaya, ternyata Malaysia yang satu rumpun budaya dengan Indonesia sangat proaktif dengan melakukan berbagai cara. Selain melakukan promosi seni budaya melalui televisi, internet, iklan luar ruang, dan media lainnya, Malaysia juga menerbitkan buku-buku seni budaya. Sekian buku terbitan pemerintah, swasta dan pemerintah kerajaan di negara bagian juga sangat antusias menerbitkan berbagai buku.
Dalam buku ”Spirit of Wood” The Art Malay Woodcarfing”, yang merupakan seni budaya yang berkembang hanya di wilayah Kelantan, Terengganu, dan Pattani, misalnya, diulas berbagai seni ukir kayu, pembuatan keris, gunungan wayang, mebel, hiasan dinding, arsitektur rumah, dan perkakas rumah tangga lainnya.
Hal serupa diulas dalam buku seni lainnya yang diterbitkan Malaysia, baik menyangkut keris, batik, arsitektur, tari, maupun kesenian rakyat. Jadi tidak hanya sekadar buku, berbagai dokumentasi seni juga dipublikasikan lewat internet dan video cakram padat (VCD). Sementara Indonesia lebih banyak menerbitkan buku-buku bisnis, dan politik, walau pun itu juga penting, tapi setidaknya seni dan budaya sebagai alat pelembut bangsa juga diperhatikan, agar kegersangan bangsa tidak selalu politik, tapi seni dan budaya.
Tidak dapat dimungkiri, isi buku itu banyak kesamaan dengan buku terbitan Indonesia, seperti Ensiklopedi Wayang Indonesia, Ensiklopedi Keris, Performing Arts Indonesian Heritage, dan Indonesia Indah yang meliputi Teater Tradisional Indonesia, Batik, Tenun Indonesia, Tari Tradisional, Kain-kain Nontenun Indonesia, dan buku lainnya.
Jadi, tidak mengherankan menurut Sardono W Kusumo karena antara Indonesia dan Malaysia dalam perspektif budaya ada warisan bersama atau shared heritage. Hal ini juga pernah diungkap dalam Seminar Imagining Asia di Universitas Nanyang, Singapura, beberapa tahun lalu. Karena itu, terkait persoalan tari pendet, sebenarnya merupakan peluang bagi Indonesia untuk melakukan introspeksi diri. Bahwa selama ini Indonesia belum menyadari kalau seni merupakan sebuah harga diri dan harta rakyat yang harus dilindungi.
Menurut Sardono, sejalan dengan perkembangan dunia ekonomi global yang kini mengarah pada industri kreatif, Malaysia juga mengembangkan ekonomi berbasis industri kreatif. Bahkan secara ekstrem mereka bisa memisahkan hal yang bersifat profan (duniawi) dengan yang transenden (berkaitan dengan komunikasi dengan Tuhan). Artinya dalam ini Indonesia segera berbenah dan mulai memilah-milah mana produk kebudayaan yang merupakan identitas kebudayaan nasional dan mana yang dapat masuk ke dunia industri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani