Dosa Senggama Di Cakrawala

Puluhan hari dalam do’a di masjid semesta
Dirumpun bunga-bunga yang melelehkan kata-kata
Surau-surau batu terbilang angka cahaya yang terpendam
Lagu-lagu malam

I
Tuhan,
Ampunilah aku selalu
Untuk memuliakan sabdamu. Pemilik kata-kata itu
Satu-satunya ruang untuk kutitipkan namamu
Dari tak terhingga ciptamu

Tuhan,
Kasihanilah aku selalu
Bersenggama indah. Karenamu. Dengan tatapmu
II
Senggama yang bergejolak dalam waktu desah
Merayakan mimpi nafsu bersama makhlukmu
Walau tak selamanya aku berlalu dalam diri dan tangga-tangga ke cakrawala
Kala langit terbentang mengurusi isi jiwa di senja, dan gelombang melepas dahaga
Dan bangkit untuk menelusuri senggama malam yang hilang tergerus puisi klimaks
Mendekati terus mendekat. Dalam cahaya lampu yang padam,
dalam terpa dering kereta, dalam tari lirih tubuh lembut memanjat dan membelut
lalu memanjat lagi, terang nafas terasa nyaring, terang lampu-lampu dan bulan

maka, dalam tubuh dan secarik mimpi itu lahir dalam diam-diam merekah
dalam ruh kata-kata kelam dan segumpal kitab vagina

III
Tuhan,
Tak terbayar dosa atas jasadku
Sebagai gendongan tangan sempurna. Dari kebohongan kata yang tersipuh
Ruh cahaya dan hawa nafsu
Tak selesai dua tahun berlalu aku berharap ridhamu
Engkau hilang aku di dunia, di mana kelam di jiwaku
Dengan awan gelap yang senantiasa tak terbawa rindu

Engkau memberiku cahaya rindu yang amat indah
Telah kujadikan rasa syukur rinduku terus seperti air
Seperti tetes airmata yang mengendap dipembaringan angin

IV
Senggama bernafsu bagai puisi. Memecah cakrawala
Jadi burung-burung, membawa puisiku terbang di atas surga telaga
Di atas lembah bunga-bunga mayang, kalah senja tiba-tiba ada menjadi tradisi
Seperti barisan pulau Madura. Pohon siwalan yang menghasilan bunga sari
Deretan panjang harus mayang, perahu layar,
Semua bergejolak bersama liuk tangan angin senja

Sungai-sungai jernih, pasir putih, gunung berlatar puluhan biru
Sejuk dan indah, seperti kawanan senggama pelan-pelan
Kemerahan awan putih yang mengendapkan matahari
Menuju ranjang persenggamaan nanti
Bulan-bulan indah. Malaikat berkulit abu-abu
Semua menemani keindahan senggama malam dengan lagu

Lalu, tiba-tiba ada sejumput pangil dari langit
Puluhan bunga mayang mendesis dan berderai, menjadi gula-gula manis


V
Begitulah, Tuhan. Rinduku menuntaskan mimpi berdosa
Hidigger dan Iqbal
Yang menghirup akal perawan senja untuk merengkuh neraka
Yang berbaju bintang untuk bangun pagi dengan bingkai bidadari

Karena tak pasti kata-kata hanya dalam akal
Tanpa cinta dan adamu
Karena tak pasti begiku lepas dari tanganmu
Tanpa syukur rasa yang tergulung bahasa dalam senggama
Dalam gelombang tulus cintamu yang tak terukur

VI
Tuhan,
Ijinkan aku senggama yang indah
Di atas ayat-ayatmu,
Dimana langit juga menyuruhku
Berdialog dengan ruh bintang ke dalam zikir malam
Dan ijinkan jiwaku selalu bergejolak dalam waktu yang tegar
Juga untuk darahku yang harus aku bayar dengan cahaya

Tuhan,
Sebelum engkau menutup mata ini untuk seutuhnya
Berilah wajah ini berbinar dan serayun senyum, dan bibirku
Tergerak menyuarakan namamu

VII
Dari segenap ruang yang tak terselami kata-kataku
Di balik sela-sela dosa. Di setiap detik isi semesta
Di sejauh pulau waktu dengan desau malam, angin jauh, terbentang puisiku
Hingga yang tak selesai
Engkaulah semata pemulangan akhir dari puisi ini.
Maka jadikanlah kata hatiku selalu tertuju keadaMu
Jadikanlah puisi langkahku mendekati cahaya
Jadikanlah raga terbentang bersama orang-orang suci
Lebur menyatu ke dalam masyarakat cahaya

Yogyakarta, 2006-2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani