Di Tepi Sungai Bai

Oleh Matroni el-Moezany*

Pagi yang cerah menghiasi penantian. Orang-orang sudah datang untuk mencuci. Mereka ramai-ramai mandi dan mencuci dengan sabun yang sangat murah harganya. Yang penting bagi mereka bersih dan suci. Mereka sudah biasa mandi dan nyuci di sungai itu. Dari saking terbiasanya masyarakat sana. Dari pagi, siang, dan sore tidak pernah sepi. Karena begitulah kebiasaan mereka setiap hari.
Sementara Lin sendiri dalam penantian. Lin juga bingung. Apa yang Lin nantikan. Di tepi sungai Bai. Sungai yang hanya di buat nyuci dan mandi. Lin terdiam. Berpikir. Tidak apa-apa menanti di sini. Sebab sungai ini tidak pernah mati dan airnya habis. Mungkin Lin harus belajar pada sungai Bai itu. Agar kehidupannya juga seperti sungai yang tidak pernah mati. Lin berpikir lagi. Tapi aku kan manusia. Yang terbatas dan tidak bisa berbuat apa-apa seperti air.
Lalu, dia teringat ketika belajar filsafat di perguruan tinggi, kala itu dia belajar tentang filsafat kehidupan, bahwa dunia berasal dari air. Jadi aku harus berbuat baik pada air. Dia hanya tersenyum dan berpikir. Di sana banyak buah kalampok , sambil menanti Lin memakan buah tersebut. Di sungai ini, Lin ingat akan sebuah sejarah kecilnya. Dimana setiap hari pasti mandi dan bermain tanah di tepi sungai itu bersama teman sebayanya.
Lin juga senang mancing di sungai itu. Tiada hari tanpa sungai Bai. Sebab sungai Bai bagi Lin ini sangat banyak membantu masyarakat sekitarnya termasuk Lin. Dari airnya yang bisa di bawa pulang untuk diisikan ke kamar mandinya sampai diisikan ke jambangannya. Begitulah yang terlihat oleh Lin, ketika dia menanti di sungai Bai.
Tak seorangpun yang menyapa. Dia di sangkanya gila oleh temanya. Padahal temannya tahu dia adalah Lin temannya sejak kecil. Mereka hanya lewat tanpa ada kata pamit. Lin diam saja memikirkan sesuatu yang dia nantikan itu apa. Dia hanya pasrah pada lindungan yang maha kuasa. Setiap pagi selalu di tempat itu, di bawah tumbuhan kalampok dengan mamakai celana pendek dan kaos hitam kusam sambil memegang reroncean kering.
Pagi datang dengan pakaian tetap, siang tidur, dan sore pulang dengan membawa reroncean. Itulah kehidupan Lin dalam penantian. Penantian mesteri. Yang jelas Lin adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Dia anak satu-satunya yang suka mancing dari saudara-saudaranya yang lain. Kadang dia mancing dapat ikan satu dua kadang lima. Pada suatu hari, Lin di ajak temannya mancing ke sebuah tempat dimana ada selokan yang banyak ikannya. Tapi pada waktu itu Lin hanya dapat dua. Dari pagi sampai sore. Itu suatu yang tidak pantas, bagi orang mancing dari pagi sampai sore hanya dapat dua. Dan itu memang terjadi pada diri Lin. Nasib.
Lalu dengan rasa kesal dan capek. Dia lalu pulang dengan keadaan takut pada ibu karena tidak pamit pada saat mau berangkat mancing. Sampai di rumah ikan itu diberikan pada ibu. Ibu menerimanya. Lin makan. Setelah selesai makan. Tiba-tiba ibu melemparkan perolehan ikan di depan Lin.
Ni, kerjakan! Dengan nada keras ibu melemparkan ikan perolehan Lin yang masih dalam kriksek biru.
“Lin menangis”, sedih. Tertekan
Lalu ibu mengambil batang nyiur. Dan dipukulkan pada Lin. Lin lari dan dikejar sama Ibu. Lin lari terbirit-birit dengan mengeluarkan air mata. Menangis. Hanya dengan memakai sarung, Lin lari sampai dua hari Lin tidak pulang. Ibu menyesal. Ibu mencarinya kemana-mana, tapi tidak ditemukan. Ternyata Lin berada di tempat biasanya, yaitu di bawah tumbuhan kalampok. Di sungai Bai. Dia diam sendiri. Dan tetap menanti suatu entah itu apa. Dengan mata merah dan tubuh merah. Habis menangis. Diam menjadi teman. Lin terus memikirkan dirinya. Mau pulang ibu sudah marah. Akhirnya Lin memilih untuk tidur. Waktu hari sudah sore.
Malam sudah tiba. Lin belum bangun dari tidurnya. Ibu semakin cemas dan menyesal karena telah memukul Lin. Malam semakin larut. Lin pun juga belum datang, padahal sudah dua hari ibu mencarinya. Ibu tidak bisa tidur. Ibu hanya ada di atas ranjang bambu, tapi tidak bisa tidur, hanya air mata yang mengalir, membasahi ranjang bambu itu. Sampai separuh malam Lin belum juga bangun. Ibu semakin berat, tertekan, dan terseduh. Menangis, menangis dan menangis selalu.
Kira-kira jam tiga dini. Lin merasa bahwa ini masih sore, lalu Lin duduk lagi menanti lagi. Entah sampai kapan Lin menanti sesuatu yang tak pasti. Seperti Indonesia yang mengimpikan negaranya makmur, tapi dia hanya diam, tak berani bertindak.
Lin, masih merasa malam belum begitu larut. Keterdiaman merupakan teman bagi kehidupan Lin. Terhenyak! Lin bangun dari tempat duduk. Apa benar malam ini masih larut, dengan nada sedih Lin bertanya. Kulihar ke kiri dan ke kanan, hanya gelas, sepi, biasanya, jam-jam segini masih banyak orang mandi, kenapa sekarang tidak ada. Baru Lin merasa bahwa malam sudah larut dan hampir jam tiga.
“Lin diam dan berpikir”
Lin, dengan rasa sedih memilih untuk tidak pulang, Lin lalu tidur lagi, tiba-tiba Lin bangun matahari sudah menghiasi daun nyiur yang melambai di sebela timur, jam berapa sekarang, ko’ matahari begitu indah dan sangat terang, Lin bertanya pada dirinya sendiri. Dia belum melihat di sungai sudah banyak orang yang mandi dan nyuci sambil berenang.
Lin, ingat waktu kecil, di kala melihat orang di sungai berenang, dengan air yang begitu jernih, jauh dari kotoran sampah dan pabrik, sungguh aku sangat bersyukur, karena dengan air sungai Bai ini aku bisa hidup dan ingat perjalanan masa kecilnya, Lin berkata lirih dalam hati. Masa mudah adalah masa di mana kita bisa menciptakan peradaban dalam benak kita, sebab hanya dengan satu sebab yaitu sungai Bai aku bisa memberi pemahaman akan sebuah perjalanan.
“Perjalanan seperti air”, kata Lin, karena air selalu patuh pada dirinya sendiri tanpa ada yang mengatur, mau bertindak seperti apa, mau masuk ke lubang seperti apa, tak seorang pun yang menghalangi dirinya, air itu bebas, seperti kata-kataku dalam puisi juga bebas.
“Lalu?”, mengapa orang yang ada di dunia ini banyak yang terkekang hanya karena agama, karena takut, karena takut gajinya di potong, karena takut jabatannya turun dan akhirnya mereka ini tidak memikirkan orang-orang seperti aku”, kata Lin pelan. Sungguh tidak jernih dunia ini, seperti air sungai Bai ini, Lin terus berpikir, keadaan dunia yang semakin hari semakin tidak karuan, tanpa moral, tanpa kata, terbukti teman kecilku saja tidak nyapa di kala lewat di depanku. Aku juga tidak mengerti, mengapa dunia yang indah ini sudah terisi orang-orang seperti itu, apa karena aku yang salah, atau aku tidak memiliki baju yang sebagus mereka-mereka itu sehingga aku tidak diakui lagi di dunia ini, Lin dengan rasa purau terseduh dan sedih melihat ini semua karena menimpa dirinya.
“Tuhan”, apakah engkau sudah peduli lagi pada diriku dan alam ini, sehinga engkau ciptakan orang-orang yang tak bermoral, Lin merunduk sambil tercurah air matanya, aku sudah tidak kuat lagi Tuhan melihat ini semua. Apa yang harus aku perbuat untuk mereka? Agar mereka peduli padaku yang hina ini, air mata Lin belum juga kering, lalu pelan-pelan Lin melangkahkan kakinya, mengikuti kata hati, kira-kira satu kilo Lin berjalan, Lin diam dan duduk di atas batu, batu yang memang tempat orang-orang datang dari sungai Bai itu.
Lin duduk di atas batu, tak ada senyum, tak ada kata, dan tak ada angin, sepi, sunyi, hanya suara langkah kaki di depannya lewat, Lin ingin rasanya pulang, entah? Ibu masih marah, Lin terus berpikir, apakah aku pulang atau duduk di sini, sudah bertanya-tanya hati Lin dengan perasaann cemas dan galau serta risau. Akhirnya Lin kembali lagi ke tepi Sungai Bai di bawah kalampok untuk menanti sesuatu yang tak pasti kata orang, tapi penantian yang tak pasti bagi Lin itu akan pasti, entah dengan alasan apa Lin berkata seperti itu, bahwa sesuatu yang tak pasti akan pasti bagi diri Lin.
Kepastian itu bisa pasti kalau orang itu selalu berpikir positif dan selalu bersifat moral dalam menghadapi kendala dunia. Sebab tanpa adanya hal tersebut bagi Lin sangat mustahil kepastian itu akan pasti dan bisa menjadi impian. Jadi, kalau orang belum bisa melakukan hal tersebut jangan harap bisa mencapai puncak kepastian, kepastian itu ada kalau kita juga ada, ada dalam keadaan, ada dalam ketiadaan, begitulah Lin berpikir selama dia dalam keadaan sedih, tapi Lin belum bisa mendapatkan kepastian yang cocok untuk diri Lin dan orang lain, sebab aku kata Lin, duduk di tepi sungai Bai di bawah buah Kalampok itu semata-mata untuk aku dan orang lain entah kamu?
Lin banyak melihat orang-orang sudah mandi, ternyata hari sudah siang, Lin, teringat akan Ibu, lalu, Lin diam, kakinya sudah tidak sabar lagi untuk melangkah, Lin pun ikuti langkah kakinya, Lin terus berjalan, setelah terlihat rumah sendiri, Lin, lalu duduk di bawah buah siwalan, karena masih ingat ibu waktu marah dan memukulku, Lin, diam, sambil mengambil bunga rumput sambil dilambai-lambaikan dengan mulutnya, karena masih ragu, apakah ibu masih marah atau tidak, Lin terus dihantui perasaan.
Matahari sudah senja, angin pun mulai dingin, jangrik-jangrik berbunyi semua, lampu pun di belakang rumah sudah menyala, apa yang aku lakukan, Lin berkata pelan, karena masih menunggu kepastian yang belum juga jelas, suara adikku sudah terdengar di masjid, adzan magrib, aku sungguh merasa sedih, sebab selama satu tahun masjid di belakang rumahku aku menjadi tukang adzan, tapi mengapa sekarang aku kalah pada adikku?, mungkin itu sebuah kepastian, yang selama ini membuatku sedih karena tidak pamit kepada ibu.
Hanya kata “pamit” orang akan sedih dan resah, Lin pun tetap diam dalam penantian, ya, penantian. Entah apa, siapa. Atau............................?


Sumber: koran Merapi, 16 Agustus 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani