Menguak Spirit Dunia Belum Berakhir

Pendidikan telah dibabtis sebagai salah satu tonggak utama dalam menopang kemajuan bangsa. Maju mundurnya peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari sejauh mana kualitas pendidikan. Bangsa yang meremehkan dan menganaktirikan proses pendidikan nyata-nyata kerapuhan yang akan ditanggung di masa yang akan datang. Keseriusan dalam mengopeni pendidikan banyak bangsa tersebut secara lambat laun akan mempunyai masa depan yang cerah.
Berngkat dari bahasa “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”, itulah kata-kata lama yang seringkali belum kita sadari. Sebab ketika sadar bahwa tidak lulus merupakan kesuksesan yang tertunda, saya yakin keputusasaan tidak akan terjadi. Sebenarnya kalau kita sabar kita akan banyak menemukan hikmah. Dengan sadar kita bertanya terhadap diri kita sendiri mengapa tuhan tidak meluluskan aku dalam ujian nasioanal? Semua pasti ada intervensi Tuhan.
Kita sudah banyak melihat realitas siswa atau siswi gara-gara tidak lulus ujian nasional mereka bunuh diri. Kesadaran memang sangat penting untuk kita tanamkan dalam diri kita. Dulu ketika saya tidak lulus ujian nasional, saya sangat kecewa, kasing sama orang tua yang telah membiayai, tapi akhirnya hanya gara-gara satu jam saya tidak lulus, sementara belajar selama tiga tahun bukan waktu yang singkat, tapi waktu yang sangat lama, sehingga kita butuh semangat untuk belajar. Tapi apa yang terjadi kemudian tuhan tidak mengijinkan saya tidak lulus dalam ujian nasional.
Dalam jiwa saya menangis, kasian orang tua, kecewa sama teman-teman, itu semua yang menghantui kita ketika kita tidak lulus. Tapi apakah dengan menangis kita akan bisa merubah? Sangat tidak mungkin. Jadi yang penting ketika suasana seperti itu, kita butuh kesabaran dan kesadaran penuh terhadap diri kita sendiri dan Tuhan.
Kita harus bisa berfikir dan pintar menyikapi sesuatu yang menimpa diri kita sendiri, karena tanpa kita harus berfikir maka kajadian yang tidak diinginkan kemungkinan besar terjadi terhadap diri kita. Bagaimana pun juga sikap kita sebagai insan pelajar sangat dibutuhkan menyadarkan diri sendiri.

Pengaruh Budaya
Dimanapun dan kapanpun perbincangan pendidikan kerap disandingkan dengan peradaban atau kebudayaan. Pendidikan menjadi entitas yang seakan tidak berdiri sendiri. Ia senantiasa berkelindan dan berdialektika dengan dengan konteks sosial masyarakat dan negara. Standart keberhasilan juga tidak akan pernah lepas dari kontribusi kongkrit pendidikan terhadap proyek kebudayaan dan perhelatan akbar sebuah peradaban.
Tidak heran apabila Ahmad Tafsir mengatakan bahwa sekolah adalah miniatur masyarakat atau masyarakat dalam bentuk mini. Jika orang ingin meneropong masyarakat teroponglah sekolahnya. Bila sekolah penuh disiplin, maka masyarakatnya tak jauh beda, dan jika sekolah penuh dengan penipuan, maka penipuan itu juga terjadi dalam masyarakat. Lembaga pendidikan dalam kontek ini seakan menjadi cermin dari sebuah kehidupan masyarakat.
Lembaga atau institusi pendidikan dapat jadi cermin atau miniatur dari realitas kehidupan masyarakat dan negara secara umum karena institusi pendidikan itu sendri dibangun dengan landasan filosofis yang berangkat dari konteks sosial masyarakat, politik dan kebudayaan tertentu. Lembaga pendidikan muatannya yang terkandung tak hanya pengajaran an sich, tapi di dalam sarat dengan kepentingan-kepentingan, utamanya adalah kepentingan ekonomi dan politis.
Di era modern seperti sekarang, sangat mudah terjadi stress, gila, bunuh diri, hanya karena tidak lulus ujian nasional. Mengapa? Manusia modern tidak lagi membutuhkan proses sebagai sebuah jembatan perjalanan untuk mencapai kesuksesan, tapi sekarang yang penting adalah saya bisa jadi pegawai, PNS dan lain sebagainya, lebih memilih jalan instan.
Artinya pengaruh budaya modern tidak bisa kita hilang dari diri kita. Memang sebuah keniscayaan yang tak bisa di bantah, itu terjadi karena kita tidak bisa menyikapi budaya modern yang datang pada kita. Seburuk apa pun budaya, kalau masih bisa menyikapi, keburukan dari budaya tersebut akan terselesaikan dengan sendirinya.
Kita sebagai makhkluk yang dinamis yang senantiasa bergerak dan berubah. Dia bergerak bukan tanpa tujuan, tapi dia akan membentuk kultur, tatanan sosial, dan peradabannya sendiri. Hanya saja pergerakan dan perubahannya seringkali terjadi ketidakseimbangan antara perubahannya dengan kultur yang dia buat sendiri, sehingga memunculkan dinamika dalam budaya modern. Sebab perubahan diri kita itu tidak terlepas dari pergesekan dan perubahan yang dikerjakan oleh kita sendiri.
Sepuluh tahun terakhir ini banyak siswa bunuh diri dan putus asa terhadap masalah perubahan budaya dan mereka mencoba untuk membuat persepsi-persepsi masa depan dengan melirik pada sejarah masa lampau. Seperti yang dikatakan Albet Camus bahwa untuk melihat dan merubah suatu bangsa kita harus melirik ke belakang yaitu sejarah. Dari salah mestinya kemudian kita sadar untuk mengamati perkembangan perubahan sejarah dan pengaruh budaya.
Semestinya budaya modern ini membikin kita dan masyarakat kita lebih sehat. Bukankah masyarakat yang hidup di tengah keragaman pilihan akan jauh lebih sehat secara sosial ketimbang mereka yang hidup di tengah pemasungan dan keterbatasan (apalagi ketiadaan) pilihan.
Begitulah. Tuturan budaya dari seberang perubahan, termasuk dari kalangan pelajar, ikut memperkaya kita belakangan ini. Realitas ini tak saja menambah panjang deretan fenomena ketidaklulusan dalam memahami kemarin dan hari ini, tetapi juga mengasah kemanusiaan kita dengan caranya sendiri.
Secara pribadi, terus terang saja, kesadaran dan kesabaran menjadi penentu untuk kita jadikan rujukan bagi orang yang benar-benar ingin tahu seperti apa cara dan Rasul dalam merubah dirinya yang memposisikan dirinya secara layak di tengah pergulatan zamannya. Saya lebih suka pendekatan yang menempatkan dir kita sebagai noktah-noktah kecil yang mesti berjuang di tengah pusaran budaya modern yang kadang-kadang tidak sepenuhnya mereka pahami. Bagi saya, pengaruh budaya modern, yang memposisikan kita apa adanya semacam itu, jauh lebih jernih dan menyentuh rasa.


Kesenjangan Pendidikan
Ada beberapa poin yang menjadi indikasi ihwal kesenjangan pendidikan dengan konteks realitas sosial. Pertama, produk kebijakan yang tidak berpijak terhadap konteks sosiologi dan antropologis masyarakat Indonesia. Banyak produk kebijakan politik pemerintah yang tidak semestinya digulirkan dan dijadikan sebagai kebijakan nasional. Yang cukup menjadi kebijakan kontroversial hingga kini adalah Ujian Nasional (UN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Selama ini paradigma Depdiknas melihat pendidikan nasional secara kasat mata pada wilayah-wilayah perkotaan yang bangunan gedungnya sudah mantereng. Sekolah yang ada dipedesaan tak dianggap sebagai bagian dari pendidikan nasional. Tak heran kalau kemudian dalam perjalananya Depdiknas menggulirkan kebijakan yang kerapkali kontras dengan kondisi kalangan sekolah dipedesaan.
Dapat dibayangkan, seandainya Depdiknas tahu dan merasakan bagaimana nasipnya sekolah-sekolah pedesaan yang dalam UN kemarin terengah-engah untuk hanya mencapai target. Banyak sekolah yang gurunya kurang perofesional, fasilitas dan infrastrukturnya pas-pasan, disamaratakan target pencapaian nilainya dengan mereka sekolah yang elit, guru profesional dan fasilitasnya memadai.
Disamping itu juga Depdiknas kurang jeli dalam memahami fenomena kian banyaknya siswa yang tidak lulus. Disangka itu bentuk perkembangan pendidikan pada arah yang lebih baik. Padahal itu adalah pertanda buruk bagi masa depan iklim pendidikan. Banyak siswa-siswi kita yang berkomplot dengan gurunya untuk membocorkan soal demi sebuah prestasi atau nama baik sebuah lembaga. disangkannya telah mewakili untuk memotret siswa secara keseluruhan .
Kasus curang dalam pelaksanaan UN tiap tahun terus membanjir. Meski pemerintah telah membentuk tim investigasi, tapi kecurangan tetap terjadi. Anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara (Sumut) menggerebek SMA Negeri 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang, Siang itu sejumlah guru tepergok sedang membetulkan lembar jawaban siswa peserta UN.
Begitu juga kasus di Solo yang dihebohkan oleh penemuan empat telepon seluler yang diaktifkan saat ujian. Padahal, sesuai dengan prosedur operasional standar, siswa dan pengawas tak diperkenankan membawa alat komuniasi itu. Memang tidak ditemukan secara jelas, tapi hal tersebut sudah menandaskan hilangnya etika siswa. Belum lagi beberapa kecurangan yang tidak terdeteksi oleh tim investigasi lantaran berkompromi atau memang tertutup sangat rapat.
Kebijakan yang tidak kalah arogannya juga BHP. Mulai awal ini memang menua kontroversi tapi pemerintah tetap tidak mengacuhkan. “Lebih baik saya berkhianat pada pemerintah dari pada berkhianat pada ki Hajar Dewantara” Ungkap Ki Wurwadi, ketua III Majelis Luhur Taman Siswa dalam seminar BHP di Yogyakarta (30/12/08). Taman Siswa adalah salah satu lembaga pendidikan swasta yang menolak secara tegas terhadap BHP. Bagi Ki Wurwadi UU BHP banyak yang bertentangan dengan spirit perjuangan pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani