Mempertanyakan Keistimewaan Kita

Oleh: Matroni el-Moezany*

Kata-kata “kita” sering digunakan banyak penulis dan jurnalis sebagai suatu ucapan untuk memiliki makna positif. Mengatakan “kita” adalah sebagai manusia atau binatang yang merupakan realitas dari kenyataan yang berharga. Tapi apakah ketika “kita” hidup di abab ke-20 bisa mendorong kita untuk melakukan refleksi ulang terhadap hasil dari pemikiran mereka?
Sebagai jembatan awal seperti “kita” sebagai bagain dari bangsa-bangsa primitif yang menunjukkan berbagai macam adat, budaya, nilai, sehingga ada ahli antropologi yang menganggap sebagai bayi yang baru lahir sebagai satu lembar kertas kosong yang kemudian diisi dengan kebudayaan masing-masing. Tentunya faktor lingkungan sangat berperan aktif dalam perkembangan kepribadian sehingga di antara antropologi ada yang mempersoalkan sampai saat ini. Sebab kita menjelma menurut lingkungan yang mempengaruhinya.
Dalam dasawarsa akhir ini telah mengalami perkembangan yang cepat, bukan hanya dalam ilmu-ilmu biologi dan tingkah laku kita, tetapi dalam teknologi kumputer dan yang kadang-kadang dinamakan mesin berfikir (thinking machines). Jika kita tidak memiliki pembeda dengan binatang, dan jika mesin kumputer dapat memecahkan soal-soal yang terlalu sulit bagi “kita” yang menjadi pertanyaan adalah apakah betul “kita” istimewa? Kalau pun ada apa hanya terlihat dari jenis dan tingkat?
Kita telah mencatat bahwa mayoritas saintis memandang “kita” sebagai bagian dari segi fisik dari alam dan sebagai salah satu dari satu juta lebih jenis binatang. Bagaimana “kita” berbeda dari binatang-binatang dalam prilakunya dan apakah yang dapat kita simpulkan dari prilaku tersebut?
Marilah kita sadarkan diri untuk tidak selalu ingin mendominasi diri dalam hidup. Sebab sudah sejak lama diakui oleh para pakar sanitis bahwa hanya “kita” yang memiliki kemampuan untuk berfikir dengan konsep. Kita memiliki konsep tentang seni, filsafat, sains, estetika, dan pandangan keagamaan.
Dengan melihat “kita” sebagai kesadaranmu, maka kita sangat lentur dan dinamis bahkan kita pasti bahagia selamanya. Sebab kebahagian bisa diukur dengan bagaimana kita berpribadi dan bermoral, baik secara vertikal maupn horizontal. Artinya di saat sekarang ini kita perlu menyadari bahwa ada suatu keberagaman yang penting yang selama ini belum dilakukan orang, yaitu mengenai cinta, citra kita dalam melihat realitas kehidupan. Untuk saat ini kita tidak hanya mempertanyakan bagaimana agar kita masuk surga, tapi apakah yang dapat kita peroleh dari menyikapi realitas? Bagaimana kita bisa hidup bersama secara damai dan harmonis? Dapatkah kita menciptakan bentuk baru dari kehidupan untuk melakukan kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu? Saat ini yang diperlukan adalah bagaimana menciptakan perdamaian diri dan rasa terhadap “kita” sebagai proses keberlanjutan yang tidak menentu kapan?
Persoalan-persoalan inilah yang mendorong agar kita menciptakan hubungan kita dan yang lain barubah kearah yang lebih baik. Kita dan segala kreativitasnya ditentukan oleh rasa dan kata. Dalam pandangan ini kita lebih bermakna. Panadangan rasa dan kata lebih luas daripada sekedar fakta aobjektif yang telah diungkapkan oleh sains alam. Sehingga sampai saat ini konsep rasa dan kata masih dipersoalkan. Artinya dalam “kita”, “rasa” dan “kata” adalah seseorang yang jumlah seluruh apa yang terdapat ia katakan pada kami, bukan saja badan dan kekuatan fisiknya, tetapi juga pakaiannya, rumahnya, isteri dan anak-anaknya, nenek moyang, sahabat-sahabatnya, reputasinya dan karya-karynya, tanahnya, kudanya, kapalnya, dan rekeninga banknya.
Itulah serumpun persoalan yang selama ini belum kita sentuh sebagai bahan pertimbangan dalam menyelesaikan problem kehidupan baik di tingkat keluarga apalagi di tingkat bangsa dan negara. Semua pengalaman dan upaya menunjukan adanya “kita” yang tidak pernah tenggelam dalam proses atau kejadian-kejadian yang melintang di depan mata. Oleh karena itu, kekuatan rasa dan kata dalam mengintegrasikan sesuatu, maka “kita” proses dimana kita selalu terlibat.
Sebagai orang yang penuh dengan pengalaman, haruslah memiliki kesararan luas dalam mengamati dan menyikapi. Bukan lantas berfikir sempit seperti roti, tapi kita harus tahu dan sadar bahwa keberagaman itu merupakan makhluk yang juga diciptakan oleh Allah. Jadi kesadaran ini sangat penting untuk selalu dijadikan bahan referensi diri melihat orang lain berbeda, agar kesempitan berfikir ini tidak mengkungkung akal. Sebab kalau kita tidak luas dalam berfikir sudah dipastikan kenyamanan hidup kita pasti selalu terganggu. Mengapa? Menurut Gilbert Ryle akal mempunyai wadahnya sendiri. Dalam kehidupan dalamnya, masing-masing dari kita menghayati kehidupan, orang banyak dapat melihat, mendengar dan mendesak badan orang lain, tetapi mereka itu buta dan tuli terhadap pekerjaan akal orang lain. Inilah suatu realitas yang terjadi di Indonesia baru-baru ini (bom).
Memang sangat sulit untuk menciptakan keluasan diri dalam kehidupan, dari saking kompleksnya kita. Sebagai akhir dari penulisan ini sebaiknya kita renungkan kata-kata James Boswell yang mengatakan bahwa “Tuhan, kami mengerti bahwa kemauan kami adalah bebas, akan tetapi ada kesudahan di atasnya”. Kita sangat ingin bebas-sebebasnya, tapi kita masih memiliki moral dan rasa serta kata untuk saling berdialog dengan orang lain, berdialog dengan agama lain, bahkan kita butuh dialog dengan diri kita.


*Penulis adalah pemerhati sosial-budaya di Yogyakarta, dan tinggal di Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani