Lesso

Lesso
Oleh: Matroni el-Moezany*

“Kenapa engkau lesso akhir-akhir ini?” Tanya Rizal pelan
“Karena aku sekarang bingung sekaligus males, itu aku melihat gambar-gambar, para penguasa selalu bermasalah dan foto-foto orang yang tidak aku kenal”.
“Dimana kamu lihat”?
“Itu banyak di TV, di tepi jalan dan di rumah-rumah di pajang seperti bintang di atas langit”.
“Lho itu para caleg, yang akan menjadi penguasa negeri ini”
“Kenapa harus begitu, kayak artis saja”
“Enggak itu cuma para calon, sekarang hampir mendekati pemilihan presiden dan wakil presiden, apa kamu tidak tahu”
“Aku memang tidak tahu dan tak ingin tahu”
“Kenapa”?
“Sepertinya itu hanya gambar dan foto dan aku lihat wajah-wajah mereka tidak ada yang cocok menjadi wakil rakyat nanti, kalau mereka nanti terpilih pasti mereka akan menjadi maling”
“Kamu jangan sembarangan berkata seperti itu”
“Kenapa”
“Nanti kamu di hukum”
“Aku kan cuma bilang, kalau mereka itu tidak layak menjadi wakil kita nanti”
“Terus, menurut kamu siapa yang pantas dalam hal ini”
“Aku juga tidak tahu, aku sekarang males, mendengar janji-janji mereka, mendengar kelembutan mereka yang hanya berwaktu, mereka semua saling berkata melangkah untuk perubahan, perubahan apa-apaan, paling-paling hanya kekosongan yang ada, sebab sejak dulu bangsa kita selalu seperti itu, hanya janji”
Kami pun berdiam, hembusan angin dan mesin kereta lewat hanya mengisi keterdiaman aku dan Rizal, sebab kita berdua sudah merasakan hal itu sejak kita tahu warna merah dan hitam. Matahari juga ikut berubah warna karena melihat kami dalam kebingungan, kemalesan melihat keadaan menjadi tidak nyaman, tidak enak. Mulai dari adanya gambar dan foto, sampai kata-kata kosong yang dilemparkan kepada rakyat. Sementara kita berdua adalah orang bodoh yang bisa di bohongi oleh orang-orang pintar seperti mereka.
“Salahmu kenapa milih jadi orang bodoh”
“Bukan, secerdas-cerdasnya kita, kita tetap dibodohi oleh mereka”
“Aku jadi males, memikirkan itu semua, ketakmengertian tidaklah mereka jawab dengan jujur, tapi malah mereka berpesta untuk kepentingan sendiri, sepertinya mereka harus belajar kepada orang bodoh seperti kita, sebab mereka harus belajar dari bawah, sesuatu yang sangat sederhana, mulai dari merasakan rasa, menangis ketika teman kita menangis, lapar ketika melihat rakyat kita lapar, sedih ketika melihat teman kita sedih, itu semua ada dalam duniaku”
“Itu semua kan sudah diteriak-teriakkan oleh calon wakil kita” jawab Rizal pelan.
“Memang siapa yang tidak bisa kalau hanya meneriakkan, ayam, kucing dan tikus juga bisa, tapi masalahnya tidak semudah itu yang kita harapakan, bukan teriakan, tapi bagaimana mereka itu belajar dan melihat keadaan kita saat ini”
“Mereka kan sudah membuktikan, dari diadakannya kampanye ke rumah-rumah warga dan membagikan minyak, beras dan uang”
“Ya, tapi itu cuma sebatas sampai di sana, kita lihat nanti pasti mereka tidak akan mendengarkan kita, kata-kata kita dan teriakan kita, sebab kita hanya orang kecil yang sangat sulit di lihat, sebab tanpa kita menjadi orang penting, omongan kita tidak di anggap apa-apa”
“Terus kita harus bagaimana, menjadi orang besar seperti mereka yang akhirnya juga belajar maling atau menjadi calon maling dulu”
“Aku juga tidak tahu, makanya aku males dengan itu semua, sudah banyak mereka merusak tubuh, mata, dan kaki-kaki bangsa kita, sepertinya aku ingin pindah saja di Amerika atau diamana dan mendirikan partai, di sana lalu menyerang orang-orang selalu bohong dan hanya janji-janji kosong, aku sekarang males”
“Males itu tidak akan menjadi jalan untuk menyelesaikan persoalan bangsa kita, kamu harus semangat dan berpikir kritis”
“Aku sudah tahu itu, tapi aku berpikir sudah males, cepek, karena sudah bertahun-tahun bahkan berabadabad aku berpikir masalah itu, makanya aku tanya padamu, karena aku tidak kuat lagi melihat rakyat kita di bodohi seperti ini”
“Mana buktinya kalau kamu sudah berpikir masalah bangsa”
“Coba baca buku-buku dan opini rakyat yang selalu mengkritik para penguasa yang tidak becus mengurus bangsa dan bahkan surat kabar setiap hati selalu mengkritik hal itu”.
“Roni menunjukkan kepada Rizal tentang tulisan dan ilustrasi dari setumpuk buku dan koran yang menggambarkan orang-orang dan peristiwa-peristiwa termasyhur, seperti keadaan bangsa kita, Rizal bertanya, siapa itu? Apa yang dilakukannya, kamu tahu Ron, katakan”
“Mengapa mereka berlaku buruk terhadap rakyat?” Rizal berkata kepada Roni, ini adalah pengembang amanah rakyat.
Keterdiaman selalu menjadi luah dari kemalesan kita, sebab sebenarnya di sana ada pesan rahasia untuk Rizal, dan baru setelah Rizal aku ajak untuk merenungi keadaan bangsa Rizal menjadi ikut males memikirkan bangsa yang tidak memihak kepada rakyat. Kita berdua menjadi seperti bibir layu keluh untuk membicarakan itu semua. Dan akhirnya kita berdua lapar karena seharian tidak makan. Memang menjadi kebiasan kita berdua tidak makan satu dua hari bahkan sampai tiga hari tidak makan nasi. Kebetulan Roni punya uang lima ribu jadi bisa untuk makan berdua dengan lauk tempe. Alhamdulillah sudah kenyang.
“O, ya Ron, kamu punya pemikiran mengenai bangsa yang tidak memihak kepada rakyat itu dari mana?”
“Baca koran dan buku-buku”
“Aku juga baca koran tidak ada kabar seperti yang kamu pikirkan”
“Berarti kamu belum paham apa itu politik”
“Politik, apa itu politik?”
“Kamu belum tahu”
“Ya, karena selama ini engkau tak memikirkan masalah seperti itu”
“Terus, selama ini apa yang kamu kerjakan di sini, menjadi mahasiswa seharusnya kamu tahu keadaan bangsa dan rakyatnya, bagaimana bisa kamu akan mengerti rakyat kalau kamu di sini hanya main-main”
“Sebenarnya tidak masalah engkau tahu masalah itu, karena hal itu tidak penting, lagian kalau misalnya engkau tahu, pasti akan sebel dengan keadaan bangsa yang tidak karua, lebih baik engkau tidak tahu daripada menyakitkan hati, karena masih banyak melihat orang kelaparan”
Kami pun terdiam, melayani angin yang cepat meramaikan dedaunan. Sesepi senja seperti kemaren ketika kita berdiam diri di tengah sawah. Sedikit terdengar bunyi mobil, motor, dan kapal yang ikut meramaikan sepian kita. Senja pun meranjak sederhana menuai waktu tua, dan mengisi berita kosong, dan bohong. Kemudian Rizal tercengang.
“Mengapa engkau mengatakan kalau ada berita bohong, dimana?
“Banyak di TV di koran dan dimana-mana juga banyak”
“Lho, kabar itu benar adanya” jawab Rizal ngotot
“Memang benar adanya, kayaknya menjanjikan, tapi ketika di lihat di lapangan, kabar itu tidak ada, misalnya kabar kalau bangsa ini akan dimakmurkan dan disejahterakan, kalau aku menjadi pemimpin, katanya, tapi banyak tempat-tempat masyarakat yang digusur oleh pemerintah hanya untuk kepentingan sendiri, bahkan gara-gara di gusur dan ganasnya pemerintah ada bayi yang mati kemaren di Surabaya, apa engkau masih percaya dengan janji-janji bohong seperti itu?”
“Iya sich”
Senja mulai sedikit terlihat, dan kabar pun sudah terlihat di meja perjumpaan antara perjanjian jiwa dan keberlanjutan. Seperi apa?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIOGRAFI PENYAIR MATRONI MUSERANG

Kelebihan Puisi dan Filsafat

Siapakah Pahlawan Hari Ini?