Indonesia dan Masyarakat Miskin

Oleh: Matroni el-Moezany*

Mengapa Indonesia selalu disandingkan dengan kemiskinan? Itulah sejenak tema di atas kita mengartikan, tapi bagaimana kalau kita benar-benar tahu watak pemimpin kita dan bagaimana kinerja para birokrat Indonesia saat ini? Mungkin akan mengerti apa maksud dan tujuan dari tema di atas. Mari kita melihat realitas publik dasawarsa akhir-akhir ini apa yang terjadi.
Ketika kita melihat teroris, kemiskinan, BBM naik, harga bahan pokok naik, kebutuhan rakyat dipermainkan, anak-anak telantar, pendidikan mahal, penggusuran rumah rakyat, pembangunan mall-mall besar, terjadinya bom, kekurangan air bersih, domokrasi kacau, politik shok, hukum seperti mainan, pengangguran, dan ketiadaan rasa kamanusiaan, itu pasti Indonesia. Dunia sudah tahu, kalau Indonesia seperti itu. Kemudian apa Indonesia? Apakah Indonesia? Apakah Indonesia sebuah Negara? Atau Indonesia hanya sekumpulan orang-orang kecil yang tidak memiliki pendidikan cukup? Atau apa?
Pertanyaan tersebut yang terus-menerus mengganggu pikiran pengamat-pengamat luar dan kita, hingga hari ini. Keyakinan satu dan keyakinan lainnya, demokrasi, otoritarianisme, pembangunan, konflik, gaya hidup, kemiskinan, semua meletup secara bersamaan di negeri yang memuat tiga zona waktu ini. Dengan keadaan yang demikian berlapis-lapis seperti keju, bagaimanakah upaya ilmu pengetahuan memahami Indonesia dan khususnya kita? Pertanyaannya, apakah ia akan mampu berusaha untuk memahami Indonesia ataukah ia akan menyeragamkannya dengan imeg manusia dan masyarakat teori yang mengawang-ngawan?
Itulah serumpun kompleksitas bangsa Indonesia sejak dulu sampai kini. Jangan hanya melihat yang terlihat karena banyak sekali yang tidak terlihat di sekeliling yang kelihatan, katanya, tapi apakah Indonesia tidak terlihat, bisa saja seperti itu, sebab Indonesia memang kurang peduli terhadap rakyatnya. Tetapi semua itu bisa juga menggambarkan kehidupan masyarakat secara umum. Kita dengar ketika ada seorang bayi yang mati karena kelaparan, saat itu mungkin si ibu bayi dan bayinya merasakan kesunyian dan kesendirian di tengah banyaknya orang dan gelombang kata-kata dari pemerintah Indonesia. Kita dengar beberapa pedagang kecil yang menangis dan meratapi gerobaknya yang dirusak saat itu. Dia merasa sendirian dan sunyi di tengah banyaknya orang atau ketika petani penggarap kemudian terusir dari tanahnya karena penggusuran tidak bisa berbuat apapun karena merasa sendiri. Dia berharap dimana pemimpin Indonesia, ko’ teganya membiarkan aku sendirian di sini?
Pertanyaanya adalah siapa yang membuat bayi-bayi kita kelaparan, siapa yang membuat gerobak-gerobak itu rusak dan tanah-tanah ini-itu digusur? Akan sama jawabannya dengan di pabrik dan tempat rakyat kita bekerja dan membangun rumah, ada masalah upah murah, jam kerja panjang, kehidupan apa adanya, tempat tidak layak huni, dan hilangnya kesejahteraan. Fenomena itu pasti ada kekuatan yang membuat itu sebab tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Jika siang rakyat kita menjelaskan yang menjadi sumber masalah adalah pemilik yang serakah, tentu pula yang membuat kesengsaraan di masyarakat adalah orang-orang serakah yang merasa memiliki negeri ini sehingga dengan seenaknya sendiri menggusur tanah rakyat, merusak gerobak para pedagang kecil serta menaikkan harga BBM.
Lalu ke mana korban-korban yang lain? Kenapa mereka tidak saling peduli dan kenapa pula mereka malah berantem sendiri memperebutkan minyak murah, beras murah dan saling bacok ketika rebutan BLT, bahkan ada yang mati, siapa yang salah? Kalau kita tanyakan pada polisi dan hukum Indonesia, pastilah yang bacok-bacokan yang salah, yang rebutan yang salah, karena mengganggu ketertiban umum. Sepintas melihat itu adalah jawaban yang benar, tetapi yang tidak kelihatan di situ adalah apa dan siapa yang membuat mereka berebut dan saling bacok itulah sumber masalah yang sampai detik ini Indonesia belum tahu.
Kita perlu jawaban dan realisasi dari seoarang penyair, budayawan dan seniman, kalau pemerintah dan politikus tidak mau untuk merealiasikan. Sebagai seoarang penyair jujur saja, saya tidak akan pernah menyalahkan orang-orang miskin, yang berebut dan bacok-bacokan karena mereka ingin bertahan hidup. Orang miskin masih rendah kesadarannya. Pendapat yang sering terdengar dan lazim tapi sebenarnya sangat salah karena hari ini masyarakat benar-benar sadar telah tertindas buktinya adalah banyak pemuda-pemuda lulus sekolah mengantri di pabrik, di kantor, di perguruan tinggi karena sadar tidak ada tempat untuk mendapatkan makan lagi di negeri ini sehingga dengan keterpaksaan mereka masuk pabrik meski tahu akan dibayar murah. Kemudian buruh-buruh yang sudah bekerja ingin keluar dari pabrik karena sadar penindasan di dalam pabrik itu pasti terjadi.
Masyarakat miskin lainnya sadar bahwa susah mendapat tempat dan makan. Mereka tidak mau lagi masuk pabrik karena semakin mahal biaya dan tetap sama penindasannya, sehingga dengan sadarnya telah ditindas. Tetapi mereka merasa tidak ada teman dan sepi, maka banyak yang memutuskan untuk pindah dari kehidupan di dunia (bunuh diri). Bagi saya itu adalah dasar menyadari yang telah dimiliki oleh masyarakat miskin. Masalahnya menyadari tersebut tidak terakomodir dan cenderung dibawa ke arah yang kontra produktif artinya sadar telah ditindas tetapi tidak mau melawan dari ketertindasan malah memilih lari.
Kelihatan sangat jelas solusi yang mereka pilih adalah suatu kesalahan tetapi yang tidak kelihatan di kasus ini adalah mengapa mereka memilih solusi itu? Kita seharusnya mencoba untuk mengerti bagaimana cara mereka mencari solusi yang tepat saat tingkat pendidikannya rendah bahkan ada yang sama sekali tidak sekolah. Bagaimana mereka bisa berpikir mencari solusi saat mereka semakin terpinggirkan kejepit dan kelaparan yang semakin tidak bisa ditahan.

Dimana Letak Keberpihakannya Kepada Rakyat Miskin?
Tetapi jika kita kembali melihat yang kelihatan bahwa sebenarnya tidak semua orang di Indonesia miskin dan tidak berpendidikan, tengoklah di kampus-kampus banyak mahasiswa, tetapi ke mana mereka? Untuk apa mereka sekolah, tentu itulah yang tidak kelihatan dan hanya mereka yang tahu. Maksudnya, hari ini memang banyak kaum intelek yang tetap punya pilihan untuk bersama rakyat miskin melawan penindasan. Tetapi berapa jumlah mereka dan sampai kapan mereka-mereka bersama rakyat miskin? Sampai tamat kuliah atau sampai mendapatkan tempat yang nyaman? Saya tidak akan pernah mau mendengar jawaban dari pertanyaan itu meskipun saya sendiri yang melontarkan pertanyaan itu karena konsistensi dalam perjuangan tidak cukup hanya diucapkan.
Sebagai catatan akhir dari penulis ini, alangkah kita sadarkan diri untuk mereflekasikan pendapat Ernesto “Che” Guevara “Siapa yang tergetar hatinya melihat penindasan, maka kau adalah kawanku". Sebenarnya hanya terletak pada diri kita sendiri solusi yang bisa menyebabkan Indonesia didefinikan sebagai bangsa yang makmur, bangsa yang benar-benar memiliki rasa kerakyatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani