Sinergitas Budaya, Masihkah Jogja Relevan dengan Budaya Lain

Oleh: Matroni el-Moezany*

Sebagai wujud rasa cinta kepada Yogyakarta sebagai kota budaya, seni dan pendidikan, kebetulan saya adalah pendatang ke daerah istiemewa ini dan sampai saat ini masih diterimah di kota ini dan saya kira Jogja adalah kota yang selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar, berdagang dan mengolah seni. Kota istimewa Yogyakarta selain sebagai wadah pengembangan pendidikan, budaya dan seni. Buktinya bangunan asrama-asrama mahasiswa dari penjuru Indonesia terlihat di kota Istimewa ini.
Dalam hal ini, Kota multikultural seperti jogja tidak benar jika diopinikan sebagai kota yang enggan untuk menerimah budaya asing, artinya keistimewaan kota Jogja juga terlilhat dari inklusifitas dirinya dalam menerimah budaya luar, seni luar dan pendidikan luar. Yogyakarta yang memiliki suasana yang tenang, keramahan orisinil, dan alunan indah bahasa kromo inggil yang muncul dari mulut masyarakat Jogja tersebut setiap diajak berbicara. Sebuah keadaan yang akan semakin sulit ditemukan diluar wilayah Yogyakarta.
Yogyakarta telah lama dikenal sebagai kota seni, budaya dan pendidikan. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai sentral dalam memegang peranan penting sebagai pusat dan sumber kebudayaan yang dimiliki oleh kota Yogyakarta. Namun predikat sebagai kota budaya bukan tidak mungkin terpengaruh oleh budaya luar. Kebudayaan yang diagung-agungkan dan menjadi trade mark Yogyakarta ternyata lambat laun mulai tergeser akibat arus globalisasi yang semakin kencang berhembus.
Dalam peta Pariwisata Indonesia, Yogyakarta termasuk salah satu favorit tujuan para wisatawan (baik Mancanegara maupun domestik). Setiap musim liburan tiba, kita dapati jalan-jalan di kota kita ini terasa semakin sesak dengan wisatawan yang berkunjung. Salah satu yang diunggulkan Yogyakarta sebagai ujung tombak pariwisata adalah wisata budaya. Menurut E.B Taylor (1982), kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang terkandung didalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat manusia sebagai anggota suatu masyarakat.
Realitas memang selalu bergerak. Generasi muda sebagai harapan kita dalam memegang peranan penting demi eksistensi kebudayaan. Namun kecenderungan yang terjadi di Yogyakarta dewasa ini adalah semakin menipisnya perhatian atau minat generasi muda dalam hal pelestarian kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari pola dan gaya hidup generasi muda Yogyakarta yang sudah semakin hari semakin jauh meninggalkan identitas ke”Jogjaan”nya. Memang tidak dapat disalahkan apabila para generasi muda, khususnya remaja, di kota Jogjakarta lebih mengakrabi budaya pop ketimbang budaya warisan leluhur yang bersahaja dan lembut.
Peran media sangat besar memperngaruhi orientasi budaya bagi kalangan muda. Muncul istilah generasi MTV yang mengacu pada budaya dan gaya hidup yang penuh dengan hura-hura, glamour dan kekayaan yang tidak rasional. Remaja dengan tingkat emosi dan pemahaman yang masih kurang cukup atau labil secara mentah-mentah menduplikasi apa-apa yang mereka lihat melalui televisi pada kehidupan sehari-hari, baik dalam budayanya dan terlebih dalam dandanannya sehari-hari. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Lambat laun tradisi dan budaya asli Yogyakarta yang anggun dan bersahaja itu bakal tergusur dan akan benar-benar lenyap dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jogja sendiri.
Contoh sederhana adalah masalah penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar sehari-hari mulai tergusur dengan bahasa Indonesia, yang sebenarnya juga bukan murni bahasa Indonesia, karena banyak mengandung sisipan dan istilah-istilah yang populer dengan bahasa gaul. Tidak heran lagi kalau bahasa jawa yang memiliki tingkatan-tingkatan seperti kromo inggil, kromo alus, sampai ngoko mulai jarang bisa kita dengarkan dari mulut seorang remaja yang berbicara kepada orang tuanya, atau seorang adik kepada kakaknya.
Dari segi tradisi, telah lama kita tahu bahwa THR Yogyakarta telah menjadi Purawisata yang mengandalkan musik pop sebagai acara pokoknya, yang mana dangdut jelas-jelas bukan merupakan budaya asli dari Yogyakarta. Kadang muncul keinginan untuk dapat menyaksikan pertunjukan kethoprak atau wayang orang seperti yang secara rutin masih dipentaskan di taman Sriwedari Solo. Bisa dipastikan dengan realitas seperti ini semakin banyak generasi muda asli Yogyakarta yang buta akan kesenian wayang kulit, kethoprak, wayang orang, dan tari-tarian asli peninggalan kebudayaan Yogyakarta, dikarenakan tidak ada lagi tempat yang secara kontinyu menyajikan kesenian-kesenian tradisional tersebut.
Tradisi Sekaten yang merupakan tradisi peninggalan leluhur juga menuai kontroversi setiap perayaannya. Sekaten dituding sudah bukan lagi milik rakyat, karena kental dengan aroma komersialisme yang mengalahkan nuansa tradisinya sendiri. Sungguh kasihan generasi penerus di Jogjakarta. Suatu saat mungkin mereka hanya bisa mendapatkan informasi tentang sejarah tradisi dan kebudayaan kota mereka sendiri melalui buku pelajaran.
Pemerintah Propinsi DIY seharusnya sadar betapa pentingnya melestarikan tradisi dan kebudayaan asli daerah. Pelestarian budaya dan tradisi Jogja bukanlah semata-mata tanggung jawab Keraton, namun juga tanggung jawab kita semua sebagai warga Jogja yang harus didukung sepenuhnya oleh Pemprop DIY.
Pelestarian sebuah kebudayaan adalah sebuah tindakan yang harus dilakukan secara terus menerus, bukannya terputus. Mungkin ada baiknya apabila pemerintah membangun semacam pusat kebudayaan, yang secara rutin menampilkan budaya-budaya asli Yogyakarta, seperti tarian, kethoprak, wayang orang dan wayang kulit. Tidak hanya cukup mendata grup-grup kesenian tradisional saja, tetapi juga memberi pembinaan yang serius terhadap kebudayaan-kebudayaan Yogyakarta yang sudah diambang kepunahan, seperti nggamel dan macapatan.

Pengaruh Budaya Luar
Ketika realitas yang terjadi di kota Yogyakarta seperti itu, lantas siapa yang akan disalahkan? Sebenarnya tidak ada yang harus kita salahkan, kalau masih ada orang yang bertanggungjawab untuk selalu menjadi eksistensi budaya. Masalah hanya bagaimana kita menjaga dan sadar bahwa budaya asli sangat penting sebagai budaya yang memang memiliki nilai kearifan dan menjadi karakter masyarakat Yogyakarta.
Jogja sebagai Kota Pariwisata Berbasis Budaya ini memang menampung orang-orang dari penjuru dunia. Sehingga tidak heran lambat laun tradisi lokal Jogja semakin menjauh sebab masyarakat Jogja ketika berbicara kepada wisatawan asing akan berkata dengan bahasa Indonesia atau bahasa ingris, ini sudah jelas bahwa pengaruh budaya luar menjadi salah penyebab tersingkirinya budaya lokal Jogja semakin hari semakin terkikis. Apa yang dicita-citakan oleh Sri Paku Alam IX, bahwa tata nilai budaya yogyakarta, serta wahana penguatan jati diri daerah menuju daerah istimewa yogyakarta sebagai pusat budaya terkemuka tahun 2030 mendatang sudah terkikis oleh cara perfikir pencerahan masyarakat Jogja.
Sekitar 220 tahun yang lalu, Immanuel Kant pernah menulis sebuah risalah kecil yang berjudul “Apa Itu Pencerahan?”. Atau dalam bahasa Jerman, aufklarung. Risalah itu merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilontarkan banyak intelektual pada masa itu.
Menurut Kant, pencerahan adalah bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan. Sedangkan ketidakmatangan sendiri adalah “ketidakmampuan kita menggunakan penalaran pribadi” dan keinginan untuk selalu merujuk dan menggunakan pendapat orang lain atau mereduksi budaya orang lain. Manusia menjadi tidak matang bukan karena dia tidak mau berpikir, tapi karena dia takut menggunakan pemahamannya sendiri.
Jadi sangat jelas bahwa ketika dalam suatu masyarakat tidak memiliki prinsip dan identitas yang kuat, maka kita akan cenderung melirik kepada orang lain atau kita cendrung tidak belajar untuk mandiri, kita akan selalu tergantung kepada orang lain. Pesan yang disampaikan oleh “pencerahan” di atas adalah bagaimana kita melihat identitas kita sendiri sebagai basis eksistensi kita sendiri. Bukan lantas eksistensi kita berada di tangan orang lain, itu pemikiran yang kurang benar.
Selama kita masih bergantung kepada pemahaman orang lain, selama itu pula kita tidak akan pernah matang bahkan kita akan mengalami kematian. Sebenarnya kita kurang berani untuk menggunakan budaya kita sendiri, yang kemudian kita kurang PD terhadap identitas kita sendiri. Agar budaya kita tidak terpengaruh oleh budaya luar, sangat mudah yaitu bagaimana kita berani untuk untuk menjaga dan mengaplikasikan identitas kita sendiri sebagai wujud rasa cinta kepada budaya sendiri.
Disini kita memerlukan kedewasaan dan kematangan. Orang yang selalu menganggap orang lain lebih besar dan lebih otoritatif dari dirinya, kita tidak akan pernah bisa dewasa dan tidak akan pernah bisa matang. Hal-hal baru ditemukan bukan dengan mengulang-ngulang pendapat lama, tapi bagaimana mencari sendiri pendapat baru secara kreatif. Pengulang-ulangan pendapat orang lain tidak akan membawa seseorang ke mana-mana, kecuali ke masa silam itu sendiri yang menjadi rujukannya.


Kebutuhan Diskusi Ulang dan Kesadaran Untuk Menjaga
Dengan melihat realitas yang terjadi dan pengaruh budaya luar yang semakin kuat, maka, untuk mewujudkan keinginan dan harapan, diharapkan kota Jogja menjadi lebih inspiratif sehingga dapat dilakukan lebih banyak dan lebih intens di seluruh kabupaten atau kota di DIY. Harapan besarnya adalah bagaimana nilai-nilai budaya jogja dapat meresap dalam kehidupan dan bisa menjadi warna baru bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Kebutuhan diskusi ulang budaya Jogja agar titik temu dan titik temu dari kelemahan menjadi sangat terang sehingga kita akan lebih mudah menyelesaikan. Untuk itu didasarkan kepada masyarakat Jogja. Dari hasil diskusi ini dapat diaharapkan Yogyakarta bisa menciptakan solusi bagi masalah global melalui kearifan nilai-nilai luhur budaya jogja. Dalam kaitan ini, dipandang perlu adanya reintreperasi kekikinan tentang budaya jogja, agar mampu memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan budaya Jogja.
Dengan diskusi dan dialog diharapkan menjadi titik awal ide-ide dialog selanjutnya dalam menjaga eksistensi budaya, dan tentunya menjadi inspirasi ide-ide dialog di lingkup kabupaten dan kota. Dalam dialog-dialog budaya nantinya tidak berhenti hanya memaknai dengan bertanya, apa itu? tetapi juga bagaimana mengaktualisasi nilai-nilai yang ada di dalamnya dengan mencari jawaban untuk apa bagi pengkayaan kehidupan kita.sehari-hari.
Bahwa para pendahulu kita telah berhasil membangun bangsa. Namun untuk membangun karakter bangsa butuh kesabaran dan konsistensi, maka kewajiban kita adalah membangkitkan lagi semangat upaya-upaya itu melalui internalisasi nilai-nilai modern. Sebab jika tidak, menguatnya proses materialisasi akan menimbulkan dehumanisasi. Perkembangan ekonomi yang kurang diimbangi pembangunan karakter, hal itu akan mengakibatkan gegar dan krisis yang berujung pada melemahnya ketahanan budaya. Kelemahan tersebut tercermin dalam kelemahan menyikapi dinamika perubahan dan pesatnya perkembangan budaya global. Hal itu akan menimbulkan krisis identitas dengan melemahnya norma-norma lama dan belum terkonsolidasinya norma-norma baru.
Sehingga tidak heran kalau nantinya akan mengakibatkan sikap ambivalensi dan disorientasi nilai, dan jika ditambah dengan maraknya eforia kebebasan, menyuburkan tindakan serba boleh dalam tata kehidupan masyarakat. Apabila hal tersebut berlebihan terjadi, selain akan menyulitkan upaya memasukkan gerak langkah pembangunan, juga cenderung memicu konflik dalam kehidupan. Krisis budaya pun terjadi karena kultur yang dikembangkan belum selaras dengan budaya lokal yang belum mewujudkan keselarasan dalam kehidupan. Budaya jogja diharapkan menjadi katalisator dalam mengadopsi nilai-nilai terbesar yang baik dan menjadi filter budaya-budaya negatif global, tanpa sikap adaptif kritis, maka budaya negatif seperti konsumtif, individualis hedonis akan lebih cepat berkembangnya daripada budaya-budaya seperti demokrasi, transparansi dan akuntabilatas.
Lewat dialog atau diskusi kebudayaan ini diharapkan menjadi inti adanya suatu usaha masyarakat untuk melakukan pemeliharaan dan meneruskan, pelestarian warisan budaya jogja. Dan dengan menggunakan media, dapat dilakukan secara cepat untuk membuat generasi muda tahu dan tertarik terhadap budayanya. Tujuan dialog ini adalah bagaimana kita berupaya untuk mengangkat kearifan jogja sebagai elemen perekat menuju terwujudnya jati diri bangsa yang unggul. Oleh karena itu, mengkategorikan antara pembangunan bidang kebudayaan dan bidang lain perlu untuk diwujudkan.
Bukankah stakeholders juga pernah mengatakan bahwa pembangunan yang mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai lokal akan menjadi fatal, karena kurang memperhatikan dimensi sosial budaya yang menjadi bingkainya, oleh sebab itu supaya menggali, menguji, dan sosialisasi, serta futurisasi nilai luhur perlu terus untuk dilakukan. Kearifan lokal perlu direvitalisasi dan diataptasikan dengan nilai modern, sehingga menjadi ikatan integratif yang kuat untuk menumbuhkan kebersamaan dan kreativitas, dan mampu mendorong kerja sama dalam wujud tindakan solidaritas, dan kerjasama.
Sebagai penutup dari esai ini sebagai bahan renungan bersama kita lihat dalam orasi budaya Prof. Damardjati Supadjar, dengan judul Babad Giyanti: Makna dan Aktualisai, hal yang dapat kita jadikan pelajaran adalah kata kunci yang diberikan problem setting dan problem solving dalam seputaran peristiwa perjanjian Giyanti. Dalam hal ini, problem settingnya, saat ini kita menghadapi berbagai persoalan global. Problem solvingnya yaitu Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai tempat yang pantas dan prayoga sebagai tempat suri tauladan, inilah sebagai problem solvingnya. Kemudian, konsep ibukota (yang ibukotanya itu Desa) itu harus virgin dari residu kehidupan. Yogyakarta mestinya menjadi pusat spiritual kultural.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani