Sebuah Nama Yang Belum Terbaca

Seperti biasa kata orang bahwa kita bisa makan, bisa bohong
Karena kita sudah kembung kebanyakan makan orang

Pada volume ini kita bisa keraskan puisi kita
Sebagai perlawanan kepada kepala kita sendiri
Sebagai jembatan untuk merusak diri

Engkau sebenarnya bukanlah aku
Yang bisa berkaca pada waktu bahwa kita akan terus berjalan
Menjalani kata-kata kita sebagai lahan kebakaran jiwa
Semangat yang tak terlupakan dalam semesta

Mungkinkah sesepi pagi bisa aku rampas dari bibir matahari
Padahal lapar masih mengusik jarum memanah dari jauh

Seringkali gelisah karena matahari
Selalu tak menguraikan keinginan para penyair
Untuk mengisahkan sejarah lapar menjerit terlalu sakit

Aku pun pelan-pelan pergi menemui malam
Mungkin di sana aku menemukan sisa makanan dari bibirmu
Untuk aku semaikan seperti puisi di meja makan
Yang bertuliskan aku sudah makan, tapi aku masih lapar

Jogja,14 Mei 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani