Sastra Kita Dimata Kita

Oleh: Matroni el-Moezany*

Akhir-akhir ini sastra sudah tidak dipandang penting oleh pemimpin Indonesia, beberapa bukti jelas adalah ketika para kandidat pemimpin Indonesia menyampaikan visi dan misi kepemimpinan sama sekali tidak menyinggung seperti apa perkembangan sastra kita saat ini dan nantinya ke depan, para pemimpin kita lebih pada janji dan upaya perkembangan daya saing sementara di bidang yang lain belum tersentuh apalagi perkembangan sastra.
Ngomongnya adalah pengabdian pada masyarakat. Saya sebagai pribadi tidak akan pernah memilih pemimpin Indonesia sebelum para pemimpin bangsa benar-benar terbukti mengabdi kepada masyarakat. Artinya bukan saya yang harus mengabdi pertama kali kepada Negara, tapi harus Negara yang mengabdi pertaman kali kepada masyarakat, baru kemudian rakyat. Sekarang terbalik masyarakat di suruh untuk mengabdi kepada Negara, sementara Negara tidak mengabdi kepada masyarakat.
Itulah realitas bangsa. Sastra dalam hal ini sangat memiliki peran penting untuk membujuk rakyat agar lebih sensitif melihat para kandidat pemimpin, sebab tanpa ada kecerdasan rasa dalam diri kita, rakyat akan selalu di minta untuk mengabdi untuk Negara. Selama Negara belum mengabdi kepada rakyat, diharapkan agar rakyat jangan memilih pemimpin yang belum terbukti pengabdiannya kepada kita. Sebab itu akan membuat Indonesia semakin panas, maukah anda dibakar dengan kelicikan pemimpin kita?
Peran sastra untuk melihat realitas rakyat sungguh terlihat jelas. Artinya dalam sastra kita menemukan sebuah dunia dimana masyarakat dan Negara sama-sama hidup bersama, makan bersama, lapar bersama, berjuang bersama, melihat keadaan rakyat bersama. Sementara dunia politik sangat panas dan kering. Jadi selama mereka berpanas-panasan saya yakin Indonesia selamanya tidak akan menemukan pemimpin yang benar-benar mengabdi kepada rakyatnya.
Sastra memang tidak ada dimata pemimpin Indonesia. Tapi bagi para masyarakat sensitifitas, bumi Indonesia menjadi lembab dan sejuk, dengan sastra bumi Indonesia semakin dingin, dengan sastra pemimpin akan memiliki kepekaan dalam melihat rakyatnya. Sebab menurut Hamdi Salad sastra adalah mata air bangsa. Jadi tidak heran kalau pemimpin kita sudah tidak suka melihat perkembangan sastra di Indonesia, karena kalau berpolitik dengan menggunakan sastra dia akan kalah, padahal kalau kita tahu bahwa sastra merupakan penyejuk sekaligus modal yang bermoral bagi seorang pemimpin apalagi seoarang pemimpin Negara sangat penting untuk memiliki jiwa sastra.
Sastra di mata Indonesia termarjinalkan dan mati. Mengapa demikian, sebab selama ini yang ada hanya pesta politik dan demokrasi, tapi tidak dengan sastra, kalau pun ada hanya sebagian kecil taman Budaya yang ada di Indonesia, itupun kita bantingan untuk mengadakan acara pesta sastra. Kalau pemimpin bangsa berpesta mengambil uang Negara, sementara sastrawan berpesta mengambil uang saku, ini sungguh ironis sekali. Mengapa Indonesia seperti itu. Misalnya Temu Penyair Muda Indonesia nanti pada bulan Agustus 2009 yang diletakkan di Bangka Belitung, ketua panitianya harus pontang-panting mencari dana untuk acara tersebut. Coba kalau pemimpin Indonesia ingin mengadakan acara, sudah tidak diragukan lagi pasti lebih mewah daripada pesta sastra.
Mengapa ini terjadi di Indonesia? Alasanya karena pemimpin kita kurang cerdas dalam memaknai dasar pembangunan Indonesia yaitu pancasila. Pancasila sekarang hanya tinggal nama, padahal kalau kita memaknai pancasila secara cerdas kita akan menemukan cara memimpin bangsa, atau sudah tahu maknanya, tapi belum tahu isinya, sebab kalau hanya makna kita hanya berhenti di ranah literlek, tapi kalau sudah isinya Indonesia akan terlihat makmur, baik perkembangan sastra, seni, agama, budaya, politik, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat, artinya kalau pemimpin kita sudah tahu betul dan berguru kepada pancasila Indonesia tidak akan seperti ini.
Dalam pancasila tersimpan sastra yang luar biasa. Di lihat dari kata-katanya yang indah, di lihat dari pesannya, sungguh luar biasa. Di lihat dari isinya sangat luar biasa, artinya para pemimpin tidak harus Dr, Prof dan titl apa pun, cukup hanya berguru kepada pancasila, Indonesia akan makmur, sejahtera dan cerdas. Sayangnya belum ada pemimpin Indonesia yang mau berguru kepada pancasila, pancasila hanya sebagai lambang dan simbol belaka, padahal yang namanya lambang dan simbol dibutuhkan pemaknaan yang mendalam.
Begitupun dengan sastra, sastra juga penuh dengan lambang dan simbol sama seperti pancasila. Artinya kita butuh kecerdasan rasa dalam memaknai kata-kata. Sebab tidak mudah kita melihat realitas kalau kita belum turun dimana realitas itu ada dan berkembang. Sebenarnya Indonesia adalah Negara sastra. Jadi kalau pemimpin belum tahu bagaimana memaknai kata-kata, ya, harus sadar diri untuk tidak menjadi pemimpin, kan, begitu, sebab Negara yang berkualitas kalau pemimpinnya juga memiliki petensi untuk hal itu, tidak lantas sudah pengalaman dan keturunan pahlawan pantas menjadi pemimpin. Tidak. Tapi kita lebih arif mencari pemimpin bangsa kita ke depan.
Perkembangan sastra itu hanya terlihat dari event-event yang diadakan oleh para sastrawan sendiri, pemerintah tidak ikut campur dalam acara tersebut, bahkan pemerintah tidak tahu-manahu seperti sastra kita saat ini. Apakah sastrawan perlu untuk mengundang presiden agar presiden tahu bahwa sastra juga penting dalam perkembangan Negara, biar tidak hanya demokrasi dan politik, tapi juga sastra.


*Penulis adalah pekerja sastra dan pemerhati sastra Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani