Politik, Hukum dan Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany*

Dengan semangat demokrasi, politik dipestakan hanya dengan kata-kata dan berpesta politik dengan janji-janji, sehingga melahirkan bangsa seperti Indonesia. Jangan sampai mereka terjaga. Kita tidak membawa apa-apa kecuali kepentingan. Kita tidak membawa pemikiran atau pun bunga-bunga indah kecuali serumpun rencana-rencana kecil yang senantiasa tertunda untuk kita kabarkan kepada masyarakat.
Sebentar lagi, pada tanggal 8 Juli 2009 maupun sesudah Indonesia dan budayawan diundang untuk melihat dan beropini oleh dirinya sendiri untuk menyumbangkan satu pendapat yang bertopik politik, hukum dan budaya yang melanda bangsa Indonesia.
Saya berdebar dan ngilu menerima undangan untuk mencontreng lagi. Betapa besar dan mulia kepekaan pemerintah di negeri ini, bukan tanpa faedah mereka menyabar undangan. Tapi apa guna pemerintah bagi masyarakat yang saya yakin perlu dan lebih urgen berupa nasi, beras, minyak goreng, gorengan, pakaian, sabun, selimut, dan tenda, ketimbang sekadar politik dan hukum paling hebat pun? Mungkinkah masyarakat dan budaya di negeri ini akan tulus mengucapkan, "budayawan, terima kasih banyak untuk karya-karyanya. Kami tidak lagi menderita karena engkau. Tapi apa mau dikata bila politik dan hukum di Indonesia itu telah melahirkan ratusan politikus-politikus dan hukum-hukum bersama yang entah memihak atau tidak terhadap masyarakat.
Setelah politik dan hukum berlalu dengan gurat duka yang tidak terperikan, banyak orang tergugah hati berbuat untuk rakyat, dan budaya kita sehingga lahir nama-nama lama datang lagi dan nama-nama baru pun nongol di media massa maupun di TV melalui "janji-janji dan kata-kata” politik. Apakah bila semakin banyak hukum dan bertambah besar politik yang ditimbulkannya akan melahirkan kian banyak budaya? Entahlah. Terpujikah atau kejikah pemimpin bangsa Indonesia?.
Tunggu dulu. Setelah politik, hukum dan budaya meruntuhkan sendi-sendi masyarakat di negeri ini, merenggut ribuan hingga ratusan ribu jiwa, dan beritanya menyesaki media massa, banyak orang yang jauh dari budaya pun merajalela memikirkan politik demi menyuarakan solidaritas dan keprihatinannya, bahkan politik, hukum dan budaya ada yang bisa dan sempat memikirkan rakyat. Sungguh peristiwa hukum dan kebudayaan yang menggetarkan. Politik telah menjelma ilham kolektif yang menakjubkan. Begitu banyaknya hukum hingga pemerintah mengaku kewalahan menampung ratusan perkara untuk sebiji fenomena masyarakat.
Apakah semua orang bisa menjadi pemimpin setelah dilanda kesedihan? Apakah pemimpin bertugas menyuarakan penderitaan? Saya ingat pernyataan Sutan Takdir Alisyahbana (STA), "Dalam dada tiap-tiap manusia berdebur darah penyair. Kemalangan nasib, kecewa, perasaan rindu di rantau, anak nelayan di tengah lautan, tidak putus-putusnya diratapi. Perasaan ketakjuban memandang kebesaran alam, perasaan kasihan kepada golongan manusia, perasaan agama, perasaan kebangsaan, perasaan yang dibangkitkan oleh cita-cita dan pengharapan dan berpuluh macam perasaan yang lain, dapat membangkitkan gelora dalam sukma penyair. Pada hakekatnya rayuan pungguk, nyanyian kekasih, cumbuan kembang dan tangisan hati yang sedih itu hanyalah perhiasan kesusasteraan...".
Penilaian STA itu kini mungkin masih benar, barangkali juga kini perlu dievaluasi kembali. Yang jelas saya bangga karena masih ada fenomena yang menunjukkan bahwa politik hari ini menunjukkan solidaritas kemanusiaan ketika bangsa kita dituduh tidak peka terhadap realitas. Saya percaya masyarakat kita memiliki trauma kolektif sebagai bangsa. Trauma penjajahan, peperangan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan dan kelaparan.
Tapi mengapa konflik berdarah di Poso, Ambon, Papua, dan Sambas, Irian jaya, serta wabah flu burung, ledakan bom teroris, demo mahasiswa yang tidak puas terhadap kenerja pemerintah, dan tragedi-tragedi lain di Indonesia tidak mampu menggalang ekspresi solidaritas pemimpin kita sebagaimana yang dijanjikan pemerintah. Apakah jumlah korban jiwa dan bendanya kurang spektakuler sehingga kurang menggetarkan mekanisme kesadaran ataupun kurang memprovokasi kepekaan jiwa pemimpin?.
Fenomena ini pengikat emosi bersama yang kuat. Maka tanpa diminta siapa-siapa, ketika negara belum berbuat apa-apa untuk membantu korban kelaparan, kemiskinan dan harga-harga yang naik sebagaimana baris janji-janji yang segera tumpah dari ujung pena politik setelah terdengar kabar pilpres yang menelan ratusan, ribuan, dan ratusan ribu uang.
Fenomena janji untuk tragedi yang melanda Indonesia merupakan efek dari sebuah kepekaan dari ikatan emosi yang kuat dan terprovokasi janji-janji, walau kita tahu dalam konteks perpolitikan, tetek-bengek kadar kepekaan maupun solidaritas sosial bukan penentu utama dalam hukum, dan meski kita juga mengerti betapa luhur menyuarakan keprihatinan kemanusiaan dengan cara berjanji ataupun menyumbangkan nasi atau gorengan.
Tapi ramainya politik "menyambut" pilpres nanti merupakan kebajikan namun bukanlah jaminan menghasilkan capaian hukum dan budaya yang bagus. Kebebasan ekspresi menyuarakan keprihatinan melalui hukum dan mutu prestasi dalam politik adalah dua perkara yang berbeda, sebagaimana siapa saja boleh menyanyi di tempat umum tanpa perlu menimbang mutu vokalnya, tapi untuk bisa menyanyi di pentas dunia kita membutuhkan fasilitas yang lengkap dan kalau perlu minta bantuan terhadap negara asing.
Kepekaan terhadap realitas rakyat memang penting agar politik, hukum dan budaya juga mampu menjadi benda kebudayaan yang sanggup merekam tanda zaman dan roh suatu realitas. Kesadaran budaya untuk bisa berbuat yang relevan dan substansial jangan terlalaikan dengan cara tetap waspada pada godaan provokasi dari fenomena yang mengguncangkan dan merobek-robek batin rakyat Indonesia.
Sebab selama ini, di dalam rasa dan keluhuran pemertintah yang ingin menyuarakan keprihatinan kemanusiaan yang tertimpa kemiskinan dan kelaparan serta ketidakmampun membeli harga barang melonjak, masih banyak hukum yang tampak ingin gagah atau suci sehingga lupa motif yang luhur pun bisa membuat hukum terjatuh sebagai semata teriakan-teriakan, rintihan-rintihan, dan ratapan-ratapan sebagaimana dikatakan puisi Sapardi Djoko Damono itu untuk kita sombongkan kepada mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani