Meggha’ Peleper, Tradisi Pengantin yang Kian Punah

Oleh: Matroni el-Moezany*

Ada banyak nilai kearifan dalam tradisi yang terkandung di daerah seperti pulau Madura yang terkenal dengan keras, dan stereotipe negatif dan sampai saat ini masih belum hilang. Bahkan stereotipe itu sudah dijadikan sebagai tradisi bagi masyarakat Madura. Padahal kalau kita lebih cermat dan melihat secara menyeluruh realitas tersebut memang ada, tapi itu pun kita masih harus melihat dari setiap kabupaten yang ada di Madura. Sebab dari satu kabupaten dengan kabupaten yang lain memiliki budaya dan karakter tersendiri. Bahkan saru desa pun sangat beda dari cara bicara dan tingkat kekerasannya. Jadi untuk melihat salah satu tradisi yang sarat dengan nilai-nilai moral (sopan santun) sangat banyak, dan itu tidak pernah tersentuh oleh masyarakat luar Madura.
Salah satunya adalah tradisi “Meggha’ Peleper” dalam acara pengantin yang dilakukan saat rombongan pengantin laki-laki hendak masuk ke halaman rumah pengantin perempuan. Di pintu gerbang halaman rumah pengantin perempuan itulah sudah dipasang tali pengikat dari benang sebagai tanda larangan bagi siapa saja yang ingin masuk ke dalam pekarangan atau halaman rumah tersebut.
Dalam catatan sejarah Madura, tali tersebut yang terbuat dari benang itu sebagai simbol keperawanan si gadis yang ingin dinikahi oleh calon suaminya. Tradisi semacam ini memang hanya berlaku bagi pasangan pengantin yang belum pernah menikah atau masih gadis (perawan).
Mengapa kemudian tradisi ini selalu ditunggu-ditunggu oleh masyarakat Madura, mereka yakin bahwa ada hikmah filosofinya tersendiri. Jadi sisi filosofinya, “Meggha’ Peleper’ atau memutus benang di pintu gerbang halaman rumah pegantin perempuan itu bisa dikatakan sebagai simbol hilangnya keperawanan sang gadis nantinya setelah akad nikah dan resmi menjadi pasangan suami istri.
Benang atau peleper akan diputus oleh pihak pengantin perempuan dengan syarat-syarat yang diajukan oleh pengantin perempuan, jika pihak pengantin laki-laki bisa menjawab semua pertanyaan dari pihak pengantin perempuan dan bisa memenangkan perang tanding dengan pihak pengantin perempuan. Pertanyaan yang disampaikan pihak pengantin perempuan itu berupa parikan atau sejenis pantun yang berkaitan erat dengan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah sang pengantin perempuan itu.
Sementara perang tanding yang dilakukan pihak pengantin laki-laki dengan pihak pengantin perempuan dimaksudkan bahwa yang berhak menjadi suami si gadis itu merupakan laki-laki yang kuat dan tangguh dalam menjaga dan melindungi istri. Kuat dalam artian di sini sangat luas. Baik fisik, ataupun ekonomi. Sebab tradisi bagi perempuan Madura, laki-laki sebagai pelindung, sekaligus tulang punggung ekonomi keluarga.
Saya menilai, punahnya tradisi “Meggha’ Peleper” ini di Madura itu karena beberapa hal. Antara lain, karena pengaruh budaya luar yang mulai masuk dan menguasi tradisi lokal dan budaya yang lain ada di Madura. Kedua karena tidak ingin sibuk dan ingin yang lebih instan serta praktis dalam pelaksanaan lamaran pengantin.
Sebab tradisi “Meggha’ Peleper” sangat sulit, jelimet dan ruwet, sehingga lambat laun ditinggalkan. Karena dengan adanya sesuatu atau budaya yang praktis, jadi tradisi ini sudah mulai di tinggalkan. Sebenarnya budaya luar tidak selamanya menjadi memicu dalam perkembangan budaya lokal, artinya bisa menjadi perusak dan menjadi budaya lokal tersingkir.
Kendati demikian, kita berharap, tardisi yang pernah ada dan merupakan kekayaan budaya Madura perlu dikembangkan kembali sebagai pendidikan bagi generasi muda Madura saat ini. Kalau kita kaji dan ditelaah kembali tentang tradisi “Meggha’ Peleper” ini sebenarnya sangat baik dan mengandung nilai filosofis yang sangat mendalam, serta mencerminkan watak dan karakter masyarakat Madura. Tidak hanya tradisi ini, semua tradisi lokal yang ada di Madura merupakan cermin dan karakter dari masyarakat Madura, jadi sangat di sayangkan kalau misanya tradisi “Meggha’ Peleper” sudah dipelihara dan dilestarikan sebagai basis eksistensi kekayaan budaya lokal.
Dengan melihat realitas tradisi “Meggha’ Peleper” yang sudah diambang kepunahan, maka Pekan Seni Budaya Madura (PSBM) sebagai basis yang konsen dalam budaya Madura kita berharap agar selalu dan menjaga eksistensi budaya Madura sebagai eksistensi estetik artistik kearifan lokal yang memiliki sejarah panjang dalam pembentukan karakter tradisi masyarakat Madura.
PSBM sebagai merupakan embrio dari kegairahan berkesenian dan berkebudayaan. Ini berarti pula, eksistensi kesenian tradisi dari keempat wilayah kabupaten di Pulau Madura, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan, tidak saja menjadi bagian dari ritual seni budaya ansich namun harus jauh memiliki arti dalam pengembangan potensi daerah.
PSBM sebagai media untuk menggali potensi Madura secara utuh dan menyeluruh dalam mengaktualisasikan tradisi dan etika-moral yang telah dilakukan masyarakat Madura sejak dahulu hingga sekarang. Sangat disayangkan kalau kita tidak bisa menjaganya dengan baik dan mengesampingkan perjuangan nenek moyang kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani