Indonesia dan Puisi

Oleh: Matroni el-Moezany*

Setiap penyair tidak akan pernah lepas dari kata. Bahkan siapa pun anda tidak akan lepas dari rumpunan kata. Sebab kata-kata merupakan sebuah masyarakat besar, lebih besar dari masyarakat dunia. Mengapa? Kata-kata yang menjadikan semesta ini ada, dan dengan kata kita menjadi besar yang di akui dunia. Itu tiada lain kalau tanpa kata, hanya dengan kata. Apalagi dalam dunia puisi, kata-kata sangat ditekankan untuk mengolah dan meramu agar tercipta ladang sebuah bunga yaitu bunga kata yang indah.
Sastrawan menjadi di kaya dengan kata. Kekuatan kata menjadi penentu utama dalam dunia puisi. Tidak semua orang suka puisi, sebab puisi adalah dunia realitas yang dispekulatifkan dengan kata walau lahir juga dari realitas sosial. Artinya lahirnya kata dalam puisi berangkat dari realitas yang di internalisasikan, baru kemudian di eksplor. Jadi sangat sulit bagi orang-orang yang belum terbiasa meramu kata dalam jiwa.
Meramu kata sama seperti kita meramu jamu. Bagaimana agar jamu mujarab, yaitu dengan berbagai macam ragam yang tercampur dalam satu takaran, sehingga terbuat menjadi jamu. Puisi juga demikian, kita mencari sebanyak mungkin kata-kata kemudian kita ramu menjadi puisi. Memang butuh keseriusan dan konsistensi yang benar-benar diperjuangkan. Artinya tidak serta merta kita menulis tanpa kita memikirkan roh dari puisi tersebut. Setiap huruf dalam puisi pastinya memiliki makna tersendiri bahkan satu huruf saja sudah banyak menampung beragam rasa dan makna untuk di sampaikan kepada audeins.
Itulah kelebihan puisi ketimbang yang lain. Puisi bisa menjadi prinsip hidup sang kreator, tapi puisi bisa menjadikan kreator gila. Tergantung kita meminej. Sebab puisi sangat luwes dan lembut. Seorang pengarang puisi jiwanya pasti lembut, dan memeliki kepribadian yang kuat. Tidak mudah orang bisa mempengaruhi penulis puisi, sebab menulis puisi adalah dunia kebebasan disiplin, sopan dan bermoral. Menulis puisi tidak sama dengan berjihad melawan melawan teroris. Tapi berjihad melawan kata-kata dengan perangkat imajinasi.
Puisi sebuah dunia seperti yang kita lihat ini, tapi bedanya hanya terletak di metafisis akal. Artinya penyair akan berusaha mencari kata yang tidak ada di dunia yang kita lihat, tapi penyair akan selalu mencari kata di luar materi. Seperti gelombang misalnya, gelombang akan menjadi matahari ketika sang penyait berkeinginan memiliki matahari lewat gelombang. Sulit memang, kadang ketika kita membaca puisi, kita bertemu dengan kata-kata yang sangata sederhana, tapi maksud dan roh yang di dalam kata-kata tersebut membentuk dunia dan makna yang tak terbatas.
Jadi tidak heran kalau perkembangan puisi di Indonesia sepuluh terakhir ini kurang dimenati banyak orang. Memang seperti itu puisi, sebab puisi butuh tidak butuh banyak orang, tapi bagaimana puisi ada dan berkualitas. Apakah puisi tidak memiliki dampak terhadap masyarakat? Seperti yang saya katakan di atas bahwa puisi lahir dari realitas sosial, realitas jiwa, dan realitas politik jadi dampak terhadap masyarakat itu pasti. Sebab dalam puisi kita pasti menemukan banyak dunia, seperti dunia realitas, dunia jiwa, dunia politik, dunia kekerasan, dunia orang kelaparan, dan dunia kemiskinan, semuanya ada dalam dunia puisi, persis sama dengan Indonesia.
Bedanya dengan Indonesia, kalau puisi lebih bagaimana memberi terhadap masyarakat, tapi kalau Indonesia bagaimana kita bisa berjanji terhadapa masyarakat. Jadi antara puisi dan Indonesia sangat jauh berbeda, jadi tidak heran kalau para pemimpin negara tidak pernah berjanji untuk sastra atau puisi, bukannya Jusul Kallah pernah membaca puisi? Dia hanya membaca belum tentu dia tahu apa keinginan puisi yang dia bacakan.
Indonesia boleh bangga dengan Chairil Anwar, WS Rendra, Taufiq Izmail, Sutardji Caulsum Bakhri, Gus Mus, dan penyair-penyair Indonesia yang lain, tapi apakah dengan kita melihat kebelakang kita akan sama seperti mereka? Saya yakin tidak mungkin, sebab Indonesia lebih mementingkan dirinya daripada turun ke bawa untuk memberi. Saya sudah turun, katanya, tapi pemimpin kita turun ke rakyat ketika menjelang pemilu saja habis itu sudah habis pula rakyat.
Mengapa kemudian, puisi di Indonesia termarjinalkan selama ini? Alasannya sudah jelas bahwa pemerintah sangat-kurang apreseatif terhadap perkembangan puisi di Indonesia. Apakah karena di MPR, di DPR, dan para birokrat kita tidak ada yang bisa menulis puisi? Kalau memang benar seperti itu Indonesia, jangan harap kita akan menjadi lebih baik ke depan. Bukanya dunia puisi menjadi penentu utama dalam menyelesaikan masalah rakyat, tapi setidaknya puisi menjadi dasar awal untuk menjadi seorang pemimpin rakyat.
Di Indonesia yang benar-benar tahu persis keragaman kehidupan rakyat hanya penyair, dan rakyat sendiri. Pemimin kita hanya sibuk bekerja untuk rakyat asing. Sementara rakyatnya sendiri diabaikan. Buktinya sudah terjadi, jadi saya tidak harus menampilkan masalah rakyat, pemimpin pasti tahu sendiri apa yang di maui rakyat sekarang? Kalau masih butuh bukti pargilah engkau ke pasar, lalu engkau beli dagangan mereka atau pergilah engkau ke sawah lalu bajaklah sawah.
Begitulah keadaan Indonesia dan puisi kita saat ini. Entah kapan itu akan terhenti, kita hanya bisa berharap, tanpa ada usaha, walau pun kita usaha, usaha kita di sia-siakan oleh pemimpin kita sendiri, sekarang kita hanya bertanya apa maksud pemimpin kita sehingga membongkar usaha-usaha rakyat. Sementara puisi tetap hidup seperti penulisnya, walau hanya menghasilkan gaji hanya cukup untuk makan sehari. Buat apa puisi kalau tidak meyakani masyarakat.



*Penyair yang masih gelisah dengan dirinya sendiri karena kelaparan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani