Hilangnya Nilai Etis dan Religius Politik

Oleh: Matroni el-Moezany n Dwi Lestari*

Para elite politik pada saat ini sibuk mencari simpati dan dukungan. Mulai riuhnya suara-suara menuju pilpres menjadikan berbagai macam isu menyeruak diangkat ke permukaan. Pada titik ini, dalam dunia politik, persahabatan dan permusuhan dalam waktu sesaat menjadi sangat rentan terjadi, bahkan pada titik seperti ini pula, sabotase-sabotase nilai keagamaan bisa terjadi.
Akhir-akhir ini, urusan jilbab masuk ke politik adalah keniscayaan. Seakan inilah drama yang memang menarik untuk ditonton. Budaya saling menjatuhkan dalam kampanye pilpres seakan-akan menjadikan kawan berubah menjadi lawan. Seakan tiada yang bisa dipercaya semua bisa berubah dalam seketika.
Menyeruaknya isu jilbab ke dalam ranah perpolitikan, mengisayratkan bahwa para elit politik telah berusaha untuk menyabotase nilai-nilai agama untuk diperdagangkan. Apakah benar, politik harus ditempuh dengan suatu pencampuradukkan nilai-nilai yang itu sebenarnya jauh panggang dari pada api. Sungguh naif memang isu jilbab pun menjadi konsumtif bagi calon presiden dan wakil presiden untuk memojokkan dan menjatuhkan lawan. Tentu semua itu demi mencapai kekuasaan. Fenomena perpolitikan yang seperti saat inilah yang harus kita kritisi.
Kini para elite partai yang ingin berkuasa, memakai topeng dalam rangka mencari simpati, mereka tidak sadar telah menyabotase nilai-nilai keagamaan, menggunakan intrik-intrik, strategi ilmu politik bertopeng. Dalam ilmu politik bertopeng tersebut, yang menjadi motivasi hanyalah hasrat untuk mencapai kesenangan dalam kekuasaan. Para elite politik yang seperti ini, menurut Soren Kierkegaard, hanya menggunakan nilai-nilai estetikus dan melupakan nilai-nilai etis dan religius.
Orang yang berada dalam ranah estetis, menurut Kirkegaard, adalah manusia paling rendah yang sangat pragmatis. Mereka yang hidup dalam dunia estetikus adalah mereka yang hanya menuruti hawa nafsunya dan melupakan rasionalisasi yang menjadi polisis sebuah keinginan dan nilai-nilai yang dibangun dari pengetahuan agama, ideologi, tradisi, adat, pemikiran, dan lain-lain yang datang dari luar (super ego).
Dari sini muncul topeng-topeng politik yang banyak dipakai para elite partai politik untuk mencapai kekuasaan. Suara rakyat hanya dijadikan dagangan oleh elite partai untuk mencapai kekuasaan yang akan mereka nikmati. Dan demi mendapatkan suara rakyat mereka menyabotase niali esoteris dan eksoteris agama. Dengan demikian, secara tidak langsung elite partai telah mengajarkan politik yang tidak semestinya. Mereka lupa akan makna dan tujuan dari perpolitikan itu sendiri.
Sebagian besar elite politik pada saat ini telah terperangkap dalam dunia estetikus Kierkegaard. Demi kekuasaan, mereka lupa terhadap eksistensinya dan ideologi yang dibangun bersama dengan masyarakat yang menaruh harapan dan kepercayaan besar kepadanya.
Jika kita sadar akan hakikat filsafat politik, dimana politik pada dasarnya adalah untuk menjunjung harkat dan martabat manusia, politik dilakukan untuk menuju kesatuan dan kedamaian. Maka sabotase dan topeng-topeng politik tidak akan dilakukuan. Aristoteles melukiskan hubungan antara etika dan politik dalam buku Ethica nicomacean bahwa politik pada dasarnya adalah etika pada tingkat yang lebih besar. Politik haruslah merupakan upaya yang mulia, karena yang dituju adalah untuk kemuliaan. Dan untuk itu etika adalah sebuah pengantar, di sana ada nilai-nilai kebaikan, kebajikan, keadilan, kemanusiaan.
Ternyata, sampai saat ini politik yang berkembang lebih dipahami sebagai tindakan strategis, seperti pada konsep Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Max Weber (1864-1920), atau Carl Schmitt (1888-1985). Tindakan politis dianggap sebagai sebentuk pemaksaan kehendak oleh penguasa terhadap obyek kekuasaannya dengan cara apapun, tindakan politis lebih diartikan sebagai pencapaian kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, sikap-sikap manipulatif menjadi lumrah di dalamnya. Pemegang kedaulatan adalah siapapun yang mampu menentukan dalam keadaan darurat, sehingga situasi kacau-balau dan hiruk-pikuk politik selalu dibuat penguasa demi melanggengkan kekuasaannya, perbenturn nilai menjadi penyedapnya. Sementara itu para pelaku politik menjadi maklum dianggap tak ubahnya sebagai penyamun. Dalam kesadaran sebagai penyamun itu, homo homini lupus, bellum omnium contra omnes, clash of civilizations menjadi bagian dari leksikon mereka dalam berpolitik.
Jika politik masih dinilai demikian, maka kancah politik akhirnya tetap dianggap atau dinilai kotor, negatif, jauh dari kemajuan dan kesejahteraan..
Bagi masyarakat, apabila melihat elitnya saling fitnah dan hasut tentu mereka juga akan ikut-ikutan. Elit adalah contoh. Elit adalah panutan. Sehingga apabila elit memberikan tontonan yang tanpa nilai maka hal ini akan merusak tatanan sosial masyarakat.
Deskripsi di atas tentu mengernyitkan dahi setiap kita untuk kemudian bertanya: sedemikian bengiskah dan sedemikian kotorkah segala hal yang menyangkut politik di Indonesia itu?
Di dunia politik Indonesia, kita melihat fenomena tersebut sangat menyedihkan. Seakan kebohongan, fitnah, saling jegal dan sifat-sifat jelek lainnya menjadi hal yang lumrah. Bahkan dianggap sebagai bumbu agar bisa jadi lebih enak dan dipilih oleh pembeli (dalam hal ini rakyat). Politik seakan kehilangan nilai. Padahal tanpa nilai, tentunya politik akan sangat merusak tatanan kehidupan.





*Penulis adalah Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani