Estetika Sebagai Basis Eksistensi Manusia

Oleh: Matroni el-Moezany*

Seni adalah ekspresi manusia yang memiliki tempat terhormat dalam kehidupan ini tentunya dengan tidak mengesampingkan estetika sebagai ruang. Dalam konteks estetika, seni selalu mengambil peran signifikan. Hampir setiap seni tidak terlepas dari estetik. Kesenian selalu unjuk diri dan berperan sebagai simbol dinamika budaya.
Estetika sebagai filsafat seni, sedikitnya ada tiga tema yang terus menjadi perdebatan sampai saat ini yaitu seniman sebagai subyektivitas dalam karya seni sebagai obyektivitas ketika dia menghasilkan karya dan dipublikasikan baru kemudian ada penilaian seni yang terdapat dalam apresiasi sastra maupun kritik seni.
Seniman sebagai aktor atau subyek yang selalu berkarya dalam filsafat seni klasik sampai Hegel dan Kant di pemikiran Barat dipandang sebagai pencipta seni manakala memiliki inspirasi dari realitas kehidupan setelah mengalami internalisasikan dan pengheningan lalu diekspresikan dalam karya seni. Bila memakai medium kanvas dan warna, umum menyebutnya sebagai lukisan. Bila mediumnya tertulis dan bahasa yang sastrawi, karya itu dinamai karya sastra atau susastra. Apabila memakai bahan kayu, batu, logam atau bahan padat lain dalam sebuah kreasi patung, seni kriya patunglah ia disebut. Lalu bagaimana rupa-rupa medium atau bahan yang melampaui yang tertulis di atas? Orang mengembangkannya dalam seni rupa, bahkan seni instalasi.
Penggolongan seperti ini sangat teknis dan hasil akal sehat biasa. Lalu bagaimana menentukan estetis tidaknya sebuah karya seni kalau dilihat dari kriteria estetika itu sendiri? Di sini mulai muncul beberapa pemikiran yang harus dipahami dalam sejarah filsafat seni dengan pengandaian dari garis lurus alam pikiran sebelum logis, logis-modernis dan yang kini marak, namun masih menjadi perdebatan panjang mengenai perumusan dan siapa yang merumuskannya dalam sejarah waktu dan ruang, yaitu post-modernis.
Arus pemikiran kita yang estetika sebagai tolak ukur dari karya itu sendiri disebut intrinsik (misalnya, sastra yang diapresiasi lewat tema, alur kisah, penokohan, klimaks cerita, padahan) mereka berusaha obyektif menilai sastra dari dalam karya sastra itu tidak berdasar senang atau tidak senang yang subyektif. Sementara, penilaian ekstrinsik(misalnya, sosiologi sastra, berarti menilai sastra dengan ukuran ilmu sosiologi yang dari luar sastra itu sendiri) begitu pun dalam menilai eksistensi estetika seni sehingga subyektivitas penilai, misalnya sosiolog menonjol dalam mengukur karya itu. Artinya mereka belum bisa menilai estetika seni-sastra secara objektif.
Kesulitan menjawab pertanyaan dan memperbaiki adalah kesadaran baru yang semakin berkembang bahwa keindahan, kebenaran, dan kebaikan merupakan hasil dari olah apresiasi dan konstruksi nilai tiap zaman sebagai konstruksi nilai budaya.
Jadi, nantinya akan jelas keindahan sebuah karya sastra-seni akan terlihat dari konstruksi nilai kultural yang menekankan utilitas, yang akan diukur dari implikasi karya itu sendiri. Sedang yang indah menurut konstruksi tradisi tidak membedakan tahap-tahap pralogis dan logis serta menaruh kehidupan itu sendiri sebagai sesuatu yang selalu dirayakan dan dirawat eksistensinya lantaran keindahannya, maka estetika di sini diukur dari apakah ia merusak eko kehidupan atau ia merawat dan memperindah kehidupan itu sendiri.
Konstruksi nilai tolak ukur logis-modernis estetika dalam filsafat seni Barat memuncak dalam titik estetika sebagai barometer harmoni antara yang asri dan yang elok; antara yang inspiratif secara budi dan yang intuitif secara rasa, yang oleh Hegel diacu pada estetika karya-karya seni klasik dan romantik dari konstruksi nilai zamannya, di mana internaliasai, pengheningan dan pengendapan refleksi kesadaran akal budi yang makin sadar diri menaruh spirit atau roh lebih tinggi dari yang material.
Immanuel Kant, menilai barometer penghubung subyektivitas dan obyektivitas estetika dalam karya seni didasarkan pada sublim, yaitu pencapaian seniman dalam karyanya yang sudah diinternalisasikan oleh kesadaran budi hingga formanya tertangkap sublim serta mengatasi materiaalitas.
Pemikiran dan konsep fundamental logis-estetis inilah yang kemudian mempunyai kesulitan membawa ukuran sublimasi itu ke kebenaran atau truth secara filsafat. Sampai hari ini estetika tidak pernah bisa masuk dalam filsafat sistematika logis karena muatan dan kentalnya bobot subyektivitas.
Ketika kehidupan berragam dimensi dan tidak bisa hanya dipilah-pilah dalam filsafat logis sistematis serta kesewenangan menentukan barometr keindahan berdasar logika modernitas dengan kekuasaan logosentrisme direaksi dengan pemikiran postmodernisme yang tidak hanya menolak merumuskan barometer estetika dari sublim-tidaknya, tetapi juga menolak perumusan aliran terhadap dirinya sendiri karena keindahan untuk mereka adalah perayaan masing-masing seniman terhadap kehidupan yang beragam dan penentuan estetikanya selalu in the making.
Untuk keluar dan mencari barometer estetika karya seni pertama-tama kita lewat mengembalikan dikotomi logis dan pralogis kembali ke sebuah rentang kekayaan kehidupan yang sebelum filsafat Barat Socratian sama penghargaannya dengan realitas kekayaan kehidupan di peradaban-peradaban lain yang menyumberkan estetika pada religiositas dan festival perayaan kehidupan untuk diukur seni tidaknya. Maka tidak heran kalau Nietszche bereaksi pada konstruksi melulu budi dan sisi logis Apolonian estetika sejak Socrates untuk dikembalikan ke pasangan kembarnya, yaitu daya gairah dan ledak dahsyat kehidupan yang Dyonisian, di mana seni dan tidak seninya estetika diukur dari pathos dan kehendak untuk mendorong kehidupan dalam will to power.
Kekayaan yang dimiliki tradisi amat beragam dan selalu merayakan kehidupan dalam festival dan upacara religius yang bingkainya memperindah semesta, sebenarnya pencarian burumeter estetika tidak perlu mengalami krisis acuan lantaran ditaruh saja pada ruang luas kehidupan yang di satu sisi merupakan sumber inspirasi para seniman, di sisi lain merupakan ruang bersama yang dihidupi, baik oleh kita semua dan seniman sehingga kriterianya adalah apakah prso-vita, merawat, menumbuhkan pemuliaan kehidupan atau merusaknya. Ungkapan itu setiap hari sudah dan akan terus menjadi acuan kita bersama antara mereka yang mencintai hidup atau membunuh hidup, antara budaya hidup atau budaya mati. Lebih tegas lagi, antara mereka yang tetap berani hidup dan yang sekadar berani mati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani