Budaya Sebuah Relevansi Tradisional

Oleh: Matroni el-Moezany*

Belakangan ini seni budaya sudah menjadi barang langka khususnya di Indonesia, buktinya debat wapres dan cawapres sama sekali tidak menyinggung masalah seni dan budaya yang sangat erat dengan rakyat, tapi mereka lebih pada kepentingan material semata. Padahal seniman dan budayawan yang berjuang mati-matian untuk rakyat tentang relevansi dan kepraktisan penerapan konsep “seni-budaya” untuk politik Indonesia saat ini. Setelah mempelajari dengan hati-hati beberapa dokumen sejarah dan materi-materi yang lebih mutakhir dari senibudaya tersebut.
Bagi Seniman, penyair dan budayawan, seni bukan hanya melambangkan perwakilan terbaik kelas bawah layaknya seni tradisional di negara manapun misalnya bagi kaum proletar, buruh, buruh tani, pengrajin. Bagi budayawan seni mewakili mayoritas rakyat kecil Indonesia pada umumnya yang apakah ia pekerja atau wiraswasta hidup termajinalkan. Bahkan eksistensi mereka pun sangat rapuh. Mereka berada di ambang batas kelangsungan hidupnya tapi sebagian terbesar kebutuhan materi, ekonomi, sosial dan politiknya hampir sama sekali tidak terpenuhi. Mayoritas orang Indonesia hidup menderita dan menghadapi resiko eksistensial dari satu saat ke saat lainnya. Inilah rakyat Indonesia yang tidak mampu bahkan untuk menjalani standar hidup minimal sekalipun, serta standar keamanan dan keadilan.
Pada masa sekarang, kita menggambarkan mereka sebagai kelas masyarakat bawah hingga kelas menengah bawah. Dasar budaya ini dibangun atas keyakinan terhadap kebebasan, yang bergandengan tangan dengan tanggungjawab, martabat manusia, keadilan, kesetaraan, kemasyarakatan, kemakmuran dan materi. Mereka berkeinginan menciptakan dan membangun masyarakat yang peduli tanpa diskriminasi, masyarakat yang tidak hanya berorientasi pada kesejahteraan material warganya melainkan juga peduli pada martabat, keragaman (pluralitas) dan kesejahteraan sosial.
Budaya ini mengorientasikan pada kebutuhan “rakyat biasa” atau kelas menengah bawah, yang merupakan mayoritas rakyat bawah mereka masing-masing. Saya sangat menyarankan kepada para ahli strategi budaya di Indonesia untuk mempelajari dan menilik dengan seksama manifesto budaya kita.
Dengan melihat berbagai masalah yang berkaitan dengan budaya, anehnya pemerintah sepertinya tidak peduli terhadap kebudayaan kita sendiri. Realitas selalu membuktikan bahwa yang menjadi moment bagi pemerintah adalah bekerja sama dengan pihak asing, jadi tidak heran kalau Indonesia bukanlah negara yang mandiri, baik dari ekonomi, politik, dan budaya. Kinerja birokrasai pemerintah Indonesia memang sudah tidak pantas untuk dipertahankan, salah satu kasus misalnya masalah hukum, hukum di Indonesia memang menjadi bahan permainan, sebab para pejabat selalu lambat dan dibiarkan saja, tanpa ada keinginan untuk segera cepat selesai, seperti yang menimpa para birokrasi pemerintahan Indonesia.
Budaya sebagai sebuah jembatan silaturrahmi kepada masyarakat di abaikan. Birokrasi pemerintah peduli terhadap rakyat ketika mereka ada maunya, dan itu menjadi tradisi setiap menjelan pemilu di Indonesia. Budaya sudah tidak memiliki makna yang sebenarnya, padahal budaya sebenarnya merupakan sebuah respon terhadap rakyat yang memang membutuhkan respek dari pemerintah. Tapi sekarang sudah terbalik, pedulinya hanya ketika ada maunya untuk menarik simpati rakyat, tapi selain itu tidak ada.
Lalu dimana relevansi budaya terhadap perkembangan budaya yang diteriak-teriakkan. Kalau pun kita ingin mengartikan kemerdekan itu sangat sulit, sebab saat ini rakyat Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Mereka masih memiliki keinginan untuk selalu di bantu oleh kita. Bukannya saya tidak mau bantu, tapi itu tanggungjawab pemimpin. Saya memang seorang pemimpin, tapi apakah saya sama derajatnya pemimpin presiden yang sudah menjadi tanggungjawan untuk bangsanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani