Agama dan Budaya hanya Hiasan

Oleh: Matroni el-Moezany*

Bangsa kita harus kembali ke jati diri kemajemukannya. Karena, ajaran agama dan budaya hanya dijadikan hiasan saja, tetapi harus menjadi cara hidup yang menuntun kita untuk memahami dan mengerti sesamanya. Sebab bangsa kita adalah bangsa yang mejemuk. Karena itulah jati diri kita. Dengan memahami keberagaman itu, kita bisa hidup lebih damai.
Dalam bangsa yang majemuk seperti ini, seharusnya pendidikan dipahami dalam arti luas, yang tak terbatas kepada pendidikan formal. Forum-forum keagamaan, seperti pengajian dan kongregasi, harus juga diakui sebagai sebuah pendidikan masyarakat. Dengan cara seperti agama dan budaya tak hanya menjadi hiasan, tetapi juga menjadi cara hidup.
Di tengah perlunya penghormatan terhadap kemajemukan itu, ada kecenderungan pejabat negeri ini berupaya memperbesar peran negara terhadap agama dan budaya. Dan di dalam menggeluti kebudayaan modern masa kini, kita membutuhkan sebuah gambaran yang jelas atau katakanlah sebuah “peta” paling tidak “tipe ideal” dalam istilah Max Weber, peta yang kita butuhkan adalah peta yang menggambarkan mengenai kebudayaan kita sendiri (local), dihadapan kebudayaan manusia secara holistik-uneversal. Sementara budaya hadir dengan wajah yang muram dan suram di tengah gejolak globalisasi yang merasuki bangsa tercinta ini. Lantas bagaimana agar budaya kita tidak lagi sakit “shock”.
Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi agama dan budaya pragmatis, nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi harmoni, keluhuran, dan lainnya, cenderung tersingkir, tergusur. Sebab nilai-nilai tradisi itu di pandang relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Demikian pula dengan hujatan yang lahir dari kebudayaan tradisi.
Banyak filsuf atau sosiolog yang telah mencoba menggambarkan “peta” tersebut, misalnya filsuf positivistik Auguste Comte, menggambarkan perubahan dari masyarakat agama ke masyarakat metafisik hingga kepada masyarakat positif yang berkambang pesat pada saat sekarang ini. Selain itu juga, filsuf Belanda , CA Van Peursen yang dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1993) secara panjang lebar membahas modernisasi dengan tipe “fungsionalnya” sebagai puncak perubahan dari masyarakat yang bersifat “kebudayaan ontologis” di abad pertengahan.
Pembagian peta-peta kebudayaan tersebut memberi epistemologi, bahwa dalam setiap kebudayaan pada dasarnya ada titik kuat sekaligus titik lemahnya. Titik lemah pada tahap mitis dalam bagan CA Van Peursen misalnya ditemukannya praktek-praktek magis yang mencoba mendamaikan semua proses sosial alamiah yang terjadi di dalam budaya dan agama.
Pada kebudayaan, ontologis cenderung substansialisme-lah yang terjadi. Manusia melihat sesuatu hanya dari segi hakikatnya saja. Dalam kebudayaan mitis manusia terpaku oleh realitas bahwa sesuatu itu ada, sedang setiap subyek dan objek atau manusia dan dunia saling berpartisipasi.
Sedang dalam kebudayaan ontologis menusia mengambil jarak terhadap dunia. Manusia ontologis, kalau istilah ini boleh dipakai berusaha menemukan hubungan yang tepat antara dirinya sendiri, daya-daya kekuatan agama dan budaya di sekitarnya. Maka terciptalah sesuatu bentuk hubungan yang melibatkan akal dalam arti harfiah, akal hendak mengerti seluruh hakikat dari yang ada.
Semua dekontruksi ini penting untuk memperoleh kembali kejelasan akan kebudayaan kita dan masyarakat yang hendak merencanakan, dan yang hendak membuat kita terus harus mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita bangun sendiri. Dengan strategi dekontruksi ini diharapkan kita dapat secara kritis mengevaluasi hasil-hasil kerja kebudayaan kita itu. Sehingga pembebasan sebagai idea awal dari modernisasi tetap bisa direalisir dan tetap menjadi elan vital. Zaman ini justru ketika kita makin menyadari ada yang salah dalam kebudayaan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani