Tak

Seperti Senja

seperti senja
aku pun lelah
seharian meratapi kata
untuk kusuguhkan pada puisi
lalu, tidur bersama malam, tapi

puisi yang kusandangkan
tak lepas dari kejaran waktu
untuk terus mengisi ruang kosong di matamu

keresahan seperti senja
penderitaan juga seperti senja
aku tak kuasa mengeja puisi manja
sementara aku tetap terus mengisi semesta
walau jiwa ini rasanya terurai oleh lancip
sinar matahari yang tak kubayangakan sebelumnya

pisau, tajam, katamu, tapi
tak setajam puisiku pada semesta
yang menusuk-nusuk tuhan
pada tumbuhan yang masih segar
pada luka babad-babad lalu

sepertinya luka sejarah
masih seperti senja
yang belum usai kau selesaikan hanya dengan kata, tapi
juga dengan langkah-langkah perputaran keresahan
dan ramuan rasa, sebab tidak mudah
untuk menghilangkan sinar yang masih dalam ratapan mata

Yogyakarta, 2008

Menjelang Pagi

sepertinya kutertidur di sore hari, tapi
bayang-bayang di atas gubahan semesta
masih tertata rapi

apakah karena aku belum makan
hingga jiwa ini terasa penuh resah
dan kata-kata tak terurai seperti biasanya
padahal sebentar lagi
pagi akan segara berangkat
menemui matahari

dalam keadaan bagaimana pun
aku tetap harus menghirup udara pagi
karena itu tidak bisa kulalui
dengan jalan apa-apa

meskipun dengan tangga
meskipun dengan jembatan emas, tapi
hanya jalan dan diam
aku bisa menemui segalanya
walau tuhan sekalipun

Yogyakarta, 2008

Seperti Biasa I

seperti biasa
matahari bersinar
orang-orang pada ke kantor
mahasiswa mulai berorasi perubahan, tapi

ada satu yang tak pernah berubah
“perubahan itu sendiri”
karena kita hanya bisa menyentuh kata
tidak sampai pada rasa
padahal itu lebih dekat kita

Yogyakarta, 2008

Seperti Biasa II

seperti biasa
aku tetap menulis puisi
para ahli melihat budaya
melihat ekonomi, tapi
aku tetap lapar

mengapa?

aku bertanya
sungguh bertanya, tapi
tak seorang di semesta ini menjawab
padahal semesta itu sangat pandai
dalam berkata
dalam berorasi

haruskah kubertanya
pada waktu yang tak berwaktu
pada kata yang tak berkata

demikian keadaan kita hari ini

Yogyakarta, 2008
Di Antara Dua Musim II

aku terkubur dikedalaman matamu
menyakasikan hianat
yang kau katakan pada bunga di sana
sementara kau tak melihat
aku berdiri di tepi sana
mamandangi percakapanmu
dengan matahari lain

aku memang tak bisa
membujuk langkahmu
yang selalu di banjiri
kebimbangan rasa dan kata

karena di haluan yang lain
aku tiada
untuk masa waktu lalu
sepertinya awan tebal masih menyelimuti perjalananmu
untuk mengarungi malammalam

Yogyakarta, 2008

Seperti Perjalanan

seperti perjalanan
aku berlari mencari luka
luka yang dulu mengajari
untuk mengairi airmata di depan bibir

kini sudah mulai redah
entah karena puisi
atau kerena luka sendiri

aku yang meluka
dari perkataan semesta
adalah sesemu pilu di dada
hingga keteruraian menjadi rasa
yang melekat di tepi sana

Yogyakarta, 2008

Tak

Tak ada
Tak luka
Tak resah
Tak berwaktu
Tak selesai
Tak merdeka
Tak berkata
Tak......?
Tak.......................tak..................tak
Tak semua ada, itu ada
Tak semua luka, itu luka
Tak semua resah, itu resah
Tak semua berwaktu, itu waktu
Tak semua selesai, itu selesai
Tak semua merdeka, itu merdeka
Tak semua berkata, itu kata
Tak.......................tak.....................tak

Entah?......entah................entah?
Yogyakarta, 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura