Sesobek Puisi Untuk Ibu

kujamah ibu dikejauhan jiwa
berpuisi di madura
menyerbu putus asa di sawah

kuingat di hari kemarin
pentas tani
yang berjudul tembakau gila
yang naskahnya tak terlihat
dan jiwa kita telanjang

pentas itu berlangsung
tanpa panggung
melainkan berlansung di atas puisiku
keringat berkeringat

pentas yang bermain nyawa
bercumbu dengan mereka
bersedih pada tuhan
kita yang amat lugu dan tiada tahu
pikiran terjatuh
tanpa ada makna
kita yang polos, pemaaf
kini surat keputusan berkeliaran
menjamuh dalam sumbang bisu
yang tidak ditentukan oleh kata
melainkan dengan do’a

lalu ibu tergabung dalam ruang sepi
menunggu janji kata

Madura, 2008

Mripat Terbuka

kebisuan panjang
mengingatkan pada senyum rahasia
kukatakan lewat kesunyian
dengan isyarat dan tanda tanya
yang menyelesaikan malam dan siang
ini bukan pakaian pesta
yang terjamah
oleh puisi

Sumenep, 2008

Surat Buat Petani di Madura

sehabis azan kau jejakkan kaki
di perut bumi yang berkeringat
menapaki sesuatu yang jauh
dengan raga kau guyurkan segala rasa
untuk mencapai klimaks inginmu
yang ada di cakrawala

kau mencari ada

kau percaya bahwa klimaksmu itu ada di sana
di tepi tanah dan tubuh semesta

Sumenep, 09, 06, 2008

Pada Matamu

pada matamu rumpun gelisah di rancak daun-daun
memanggil hujan

pada matamu reroncean mengurai rambutmu
menyebarkan bunga musim panas

pada matamu angin meminta jalan
untuk bersama dalam sunyi

pada matamu kuurai segala yang kuimpikan
agar menjadi impian

lalu sejenak makna di haluan matamu
ada yang tak terlihat untuk kusanding
di perjalanan nanti

aku hanya bisa melihat pada matamu
yang telah terurai dengan rapi
hingga diam pun ada

Sumenep, 2008

Keringat Api di Bulan Juni

setelah selesai kuurai inti keringat ini
jadi aku:
itu desis keringat tubuh
atau bunyi seru jiwa terbuang
kepada seorang tani yang tersedu
kau puisikan dengan sedih
semesta ini menangis karena pesta pertanian
tapi di pagi yang segar
kau bangun dengan tubuh yang menduga
bisa menerka tak ada malam yang menjadi semu
di bawah sorot matahari
di bawah kilau pilu angin-angin
kau mual, sakit sepanjang malam
mengenang di atas putian bulan Agustus
di lembar almanak panen raya
kau dingin, tak tahan, lesuh, sakit miskin
jadi keringat api
yang menyimpang benih barah kehidupan
tuhan kuselamatkan
terbakar di atas api yang besar
terbang jadi cakrawala
tak sanggup menggenggam dingin tangan
yang gemetar di tepi remang pagi
malam selanjutnya
setelah inti keringat padam
sisa basah menyala penuh tanya
tak paham nyawa siapa yang kini menyambutnya
bau cinta dan bunyi angin
mengepungmu di tepi sawah
remang serupa bayang, kau dengar sajak
parau di miskin seolah keluh pada malam
“kasih, kata-kata itu keringat,
benih keringat yang memanaskan ”
lalu di bawah matahari muram kitakita
kau lihat pelan-pelan, beda air atau keringat api
inilah yang tak terlihat oleh penguasa
oleh apa, dan bagaimana
serta pada siapa

Sumenep, Juni, 2008
Ada Bulan di Matamu

kulihat ada bulan di matamu
berpuisi mengisi cakrawala
mengiang seperti cahaya kelaparan
kutak kuasa melihat
akhirnya kusuguhi ia huruf
agar bisa menjadi bahasa
untuk mengeja semesta

di lain hari kau datang menemuiku
di bawah rumpun kata
ternyata kau bisu
untuk menata huruf-huruf itu
kutunjukkan jalan

jalan itu adalah derita dan rasa

Sumenep, 2008

Di Ruang Lain

di ruang lain
kau temui waktu
untuk mengisi ruangmu
yang tak terjamah

di ruang lain lagi
kau suruh waktu
untuk mememani rasa
yang akan hilang bersamamu

tapi, di ruang lain yang sama
kau ajak aku bersama-sama
dalam ruang waktu yang sama pula
di sana seakan terjalin sesuatu yang jauh dari ruang
entah, aku tak mengerti maksud tuhan
Sumenep, 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura