Sastra, Politik dan Sosial

Oleh: Matroni el-Moezany*
Manikebu sebenarnya tak pernah menampik pentingnya politik, tak serta-merta menerima paham: ”humanisme universal” dan menafikan ”Realisme Sosialis”. Baru sekarang terbuka pintu untuk mengetahui, dengan sikap yang lebih lapang, perdebatan tentang seni dan revolusi berlangsung di mana-mana dan tak ada satu suara yang bisa membungkam suara lain.
Itulah gambaran politik seni, sementara seni merupakan ekspresi kreatif dari renungan seniman terhadap kehidupan masyarakat. Maka, yang lahir kemudian bias bersifat hiburan, pencerahan, komentar atas situasi, rangkuman, potret keadaan, karikatur, simbolisme, ekspresi atau tragis dengan mini kata pertunjukan.
Semua bentuk ekspresi seni itu tidak memaksa orang lain untuk mendukungnya. Sang sastrawan dengan ruang batin kreatifnya artinya kemerdekaan berekspresi dengan mencari idiom mengola imajinasi menjadi kreasi dalam proses penciptaan yang diungkapkan dalam pertunjukan, karya drama, tari, serta wahana-wahana ekspresif lain.
Oleh karenanya sastrawan di satu pihak mengekspresikan imajinasi dirinya, renungannya mengenai kehidupan, di sisi yang lain lebih jauh melangkah ingin menawarkan kerikil di danau tenang yang lalu membuat, pendar gelombang di atas air danau itu, semakin banyak yang menjatuhkan kerikil, maka semakin gelombang-gelombang itu menjadi banyak dan ketenangan danau di guncang-bangun.
Politik juga tidak ingin ketinggalan dalam hal apa pun di Indonesia, politik ingin memenangkan kepentingan dan kehendak tertentu dengan segala macam cara dalam mempengaruhi kita (sosial), sehingga keinginan politik bagaiaman tercapai. Politik dalam catatan sejarah kebudayaan mana pun, biasa memakai ekspresi seni sebagai jembatan atau alat tujuan politik dalam mencari dukungan, bisa propaganda kita, bisa juga propaganda pendidikan bahkan politik ingin menyetir sendiri dan mengalahkan kesadaran masyarakat demi politik penguasa.
Realitas ini sampai saat ini masih terlihat di tengan-tengah kita, apalagi saat ini moment pemilihan umum legislatif. Mulai dari memberikan beras, minyak goreng dan lain-lainya, ini hanya untuk mencapai tujuan politik yang sesaat. Saya sastrawan harus turun tangan walau sejak dulu sastrawan memang berpolitik dari Manekebu, dan Lekra, walau pun saat ini di antara keduanya rekonsiliasi.
Kalau dulu yang melepaskan tali pengikat sastra kita seperti kata Saut Situmorang adalah Chairil Anwar adalah mata kanan sastra Indonesia, maka Pramoedya Ananta toer adalah mata kiri sastra Indonesia. Maka, lengkaplah sudah sastra Indonesia memiliki sepasang mata, yang luas oleh masyarakat sastra dunia. Kita muda jadilah penerus jejak teman mereka agar terus hidup seribu tahu lagi.
Kalau semangat bersastra seperti itu, maka sastrawan sekarang berusaha bagaimana membuat mata kanan dan mata kiri sastra Indonesia, sehingga tidak terlihat perkembagan sastra hanya dulu, tapi bagaimana sekarang itu terjadi lagi, bahkan kita harus lebih dari mereka. Masalahnya sekarang dunia sastra terlihat kering, ini terlihat dari komonitas dialog kampus yang tidak enak lagi, sehingga kebebasan berfikir sudah terbunuh oleh system kampun yang sudah menjadi penguasa.
Di era sekarang kampus Indonesia sangat jauh berbeda, kalau tahun 70-an mereka semangat untuk mengeluarkan perasaan dan uneg-unegnya, sekarang kita di tuntut untuk berada di ruang kuliah mendengarkan dosen, walau dosen yang mengajar tidak bermutu. Sehingga kekeringan gerakan mahasiswa yang agresif dan komersialisasi kampus sudah menjadi penjara, lalu seni pun ikut kering seiring dengan perkembangan kampus yang malai tarik-menarik demi kepentingan penguasa.
Dengan situasi yang tidak mendukung, di pasungnya kebebasan intelektuan, spirit kebebasan berkurang dan politik demokrasi liberal, maka dampak transformasi sosial menjadi sangat terlihat jelas. Sehingga budaya pragmatisme menjadi salah satu tonggak dan jembatan bagi penguasa. Sementara sastra yang memiliki ruang mengekspresikan kebebesan imajinasinya menjadi formal dan tidak kondusif.
Dengan melihat fenomena tersebut, akankah wacana seperti di atas ada sentuhan realitas? Sehingga yang namanya intelektual yang katanya mempertahankan prinsip sekarang sudah kandas oleh ketidakhadiran ruang rasa dalam setiap hukum dan politik. Sebab kegagalan intelektual adalam hilangnya ruang rasa. Sehingga dengan lahirnya formalitas-formalitas seperti kita menjadi intelektuan alternative, artinya kaum intelektual hanya pasif. Tidak ada daya untuk bergerak, baik bergerak melalui gerakan mahasiswa, maupun bergeraka dengan seni, dan sastra, baik dengan kata-kata maupun ekspresi tubuh (teater).
Melihat penjara intelektuan, pemenjaraan kebebasan, dan terkurasnya daya kritis inilah perkembangan pendidikan, seni dan sastra tak lagi memiliki satu daya dan kekuatan untuk mendobrak formalitas politik yang saat ini selalu ingin di depan dan tak mau ketinggalan. Lalu, dengan spirit apa lagi kita akan mencari kesuburan intelektual dan seni menjadi salah satu kelembutan pragmatis dalam menangani sosial-kultural yang semakin hari semakin terus pesat perkembangannya.
Dengan melihat konteks demikian, maka selayaknya kita selalu mencari dan memahami dari berbagai aspek tapi dengan tidak melupan sastra sebagai ruang rasa yang paling ampuh dalam menyelesaikan fenomena tersebut. Sebab tidak gampang menurunkan hujan dari atas lagit, walau musim hujan sekalipun, dari sinilah kita memerlukan jejak rasa dan sastra sebagai pangliman politik dan panglima penguasan. Semoga dengan ini sastra, politik dan sosial saling mengisi dalam ruang yang sama dengan mengikutsertakan rasa di dalamnya.

*Penulis adalah pekerja sastra dan seni Kutub Yogyakarta.

tulisan ini di muat di Batam Post pada tanggal 5 April 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura