Ritual Nyadran, Penganut Islam Bonokeling

Oleh: Matroni el-Moezany*

Di desa Pekuncen kecamatan Jatilawang, kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, terdapat tradisi atau ritual unik yang dilakukan oleh umat Islam Kepercayaan hasil ajaran Kyai Bonokeling. Ritual tersebut disebut nyadran, yang maknanya membersihkan diri memasuki bulan yang suci (ramadhan).
Sepuluh hari menjelang bulan ramadhan, desa Pekuncen tidak seperti biasanya. Penduduknya yang jumlahnya lima ribuan jiwa terlihat tidak lagi menyibukan diri di ladang, di kebun atau di sawah. Mereka bersiap menyambut datangnya para tamu dari luar desa yang juga akan menyemarakkan nyadran. Umumnya, mereka datang dari wilayah Cilacap. Ada yang dari Adipala, Kroya. Orang-orang tersebut rela berjalan kaki sejauh kurang lebih 30 kilometer dari tempat tinggalnya hingga desa Pekuncen, dimana makam Kyai Bonokeling tempat melakukan ritual nyadran ini. Yang laki-laki berbusana hitam dengan sarung menutupi kaki, dan juga mengenakan blankon (penutup kepala kas Jawa). Sementara yang perempuan berkebaya, lengkap dengan kainnya. Busana inilah yang terus mereka pakai selama acara nyadran berlangsung.
Mereka yang datang dari daerah luar Pekuncen yang ingin merayakan ritual nyadran tersebut, juga disyaratkan membawa barang-barang. Kaum laki-laki memikul bawaannya seberat lebih dari 10 kilogram dan perempuan mengendongnya dengan kain. Seperti perempuan Jawa umumnya bila membawa barang.
Isi bawaan mereka. berupa kebutuhan pokok. Ada kue, beras, cabai, aneka sayuran, telur, ayam bahkan ada kambing. Barang-barang ini adalah wujud rasa syukur mereka atas limpahan rejeki (rizki) dan nanti akan direlakan untuk berpindah tangah. Barang-barang tersebut dibawa dengan antrian yang sangat teratur. Mereka beriringan, tanpa saling mendahului. Itu adat yang harus dipatuhi.
Desa Kali Urip adalah perbatasan Cilacap dan Banyumas yang dijadikan tempat peristirahatan terakhir, sebelum sampai di Pekuncen. Di desa perbatasan ini mereka disambut warga Pekuncen. Tokoh adat desa tetangga duduk di tenda khusus yang telah disiapkan. Sambil menanti tamu lainnya, para penjemput dari Pekuncen melakukan sungkeman kepada tokoh adat desa tetangga. Ini menjadi pertanda para tamu dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Pekuncen. Juru kunci memiliki peran besar disetiap acara adat di Pekuncen. Rumahnya padat dipenuhi tamu. Demikian pula rumah 5 kyai Pedogol, sang pembantu kyai juru kunci.
Tidak jauh dari rumah kyai juru kunci, ada sebuah bangunan yang sering disebut sebagai tempat pasemuan. Disinilah salah satu tempat yang biasa dipakai ketika adat digelar di Pekuncen. Kyai Juru Kunci, Kyai Pedogol, dan Kyai Lurah duduk bersila. Mereka menunggu para tamu yang akan caos atau sungkem untuk meminta keselamatan dari Sang Pencipta melalui kyai dan izin mengikuti acara nyadran.
Kaum perempuan mendapat giliran caos lebih dahulu. Mendahulukan perempuan, bukan karena lemah tapi hal itu merupakan sebuah penghormatan. Satu persatu menghadap para kyai. Sejumlah keinginan disampaikan. Kemudian para kyai melengkapi dengan doa yang terucap.
Kyai juru kunci adalah imam dan ketua tokoh adat. Ialah yang menjadi sumber ajaran, karena ajaran Kyai Bonokeling disampaikan hanya secara lisan dan berlangsung hingga kini. Apa yang terucap dari sang imam, itulah yang harus dipatuhi. Kepemimpinan kyai juru kunci diwariskan secara turun temurun dan haruslah keturunan langsung dari Kyai Bonokeling.
Di Pasemuan kaum laki-laki berkumpul. Mereka melantunkan puji-pujian. Serangkaian doa juga dipanjatkan kepada Sang Maha Kuasa. Dan ini pertanda nyadran sudah dimulai. Asap dupa yang erat dengan setiap ritual adat di Pekuncen mengepul di Pasemuan malam itu.Tidak cuma asap yang pekat, aromanya pun menyengat hidung dan lantunan puji-pujian, doa terus terdengar. Bagi penganut Islam Kepercayaan di Pekuncen, nyadran adalah ritual tahunan yang harus diikuti.
Ajaran Islam Kepercayaan yang mengikuti Kyai Bonokeling di Pekuncen ini memang berbeda dengan ajaran Islam. Mereka tidak menjalankan sholat 5 waktu. Mereka hanya melakukan salat yakni berbuat baik, memberi ketauladan kepada sesama manusia, menghormati yang tua dan memuja nenek moyang. Tetapi mereka tetap mempercayai adanya Tuhan.
Ketika malam sudah larut dan berbagai ritual pembukaan sudah dilaksanakan, saatnya salah satu ritus yang ditunggu yakni ritus turun jimat. Maksudnya mengeluarkan jimat yang selama ini tersimpan rapi dibungkus kain putih dan diletakkan ditempat yang khusus. Selain hanya dijalankan sewindu atau 8 tahun sekali, ritus ini juga diyakini bisa memberikan berkah bila menyaksikannya. Sebelum ritus ini dimulai para tokoh adat membuat sesaji berupa makanan yang akan dimasukkan kedalam peti.Saat jimat benda pusaka diturunkan dari tempatnya. Mantra terus dibacakan dipimpin oleh kyai juru kunci. Benda pusaka ini berupa gentang atau lonceng sapi.
Warga Pekuncen dan penganut Islam Kepercayaan ini begitu hikmad mengikuti ritus ini. Keyakinan mendapat berkah dengan menyaksikan ritus turun jimat ini membuat mereka rela berdesakan untuk tidak melewatinya. Rasa letih dan lelah terkalahkan oleh keyakinan mereka, meski tetap harus membuka mata hingga pukul 5 pagi itu
Ketika sudah selesi kaum laki-laki memulai hari dengan menyiapkan bahan makanan untuk disantap nanti di Makam Kyai Bonokeling usai nyadran. Ada yang menyembelih kambing dan ayam dibawa hidup-hidup dari desa asalnya dan dari Pekuncen sendiri. Ada yang menyiapkan tumpeng yang terbuat dari daun pisang. Ada yang meracik bumbu, memeras santan dan memasak. Bahan baku utama adalah daging ayam dan kambing.Kaum lelaki yang bekerja tak jauh dari tempat Pasemuan ini seakan telah mengetahui tugasnya masing-masing tanpa dikomando.
Saat sebagian laki-laki menyiapkan masakannya, sebagian lainnya dengan para tokoh adat membersihkan komplek Makam Kyai Bonokeling. Sepanjang persiapan menuju acara nyadran, di Makam Kyai Bonokeling, kaum laki-laki yang bekerja. Kaum perempuannya diistimewakan. Mereka hanya cukup mempersiapkan dirinya untuk mengikuti nyadran.. kaum perempuan memakai busana kasnya, menggunakan kemben, lengkap dengan selendang kain putih dan yang bercorak batik yang dililitkan di leher.
Kain putih dan batik yang melilit di leher ini bukan tanpa makna. Hal tersebut menujukkan siapa yang mengenakannya. Atau menunjukkan mereka keturunan siapa. Kaum prianya mengenakan penutup kepala kas Jawa. Sarung batik dan beskap. Pakaian mereka benar-benar menunjukkan orang Jawa.
Adat yang mengatur dan aturan adat di Pekuncen, tidak ada yang tertulis. Semuanya serba lisan. Sehingga begitu besar peran seorang kyai juru kunci yang kini di emban oleh Mejasari.
Antrian panjang mengikuti arah jalan menuju komplek makam yang tidak hanya ditempati oleh Makam Kyai Bonokeling. Ada juga Makam Eyang Bagus dan juga makam Embah Kyai Gunu termasuk juga makam keturunan Kyai Bonokeling. Tak terlihat saling srobot. Semua mengikuti antrian.
Para penganut Islam Kepercayaan ajaran Kyai Bonokeling ini mengikuti ritus nyadran tanpa menggunakan alas kaki. Itu adalah aturan yang harus ditaati untuk mengikuti ritual di Makam Kyai Bonokeling ini. Filosofinya adalah agar seluruh tubuh dapat menyatu dengan alam. Sebuah kandungan makna yang mungkin tak terpikirkan oleh kita.
Memasuki komplek makam, semua penganut ajaran ini berkumpul untuk mengambil air atau berwudhu. Cara mereka berwudhu berbeda dengan wudhu yang biasa dilakukan umat muslim saat akan menunaikan sholat. Mereka hanya berkumur, membasuh muka dan mencuci kaki, cukup itu.
Sebelum naik ke atas makam, mereka terlihat melakukan penghormatan. Sebelum masuk kedalam kamar mereka juga berdoa di depan tembok yang bercelah yang menghadap langsung ke makam Kyai Bonokeling. Serangkaian penghormatan dan doa kepada Sang Pencipta melalui Kyai Bonokeling leluhur mereka semuanya harus dilalui.
Penghormatan kepada leluhur ini juga ditunjukkan dengan cara berjalan mereka saat memasuki komplek makam. Nyata benar penghormatan atas Kyai Bonokeling. Baru menjelang malam, semua telah mendapat giliran memanjatkan doanya..
Meski lelah, semua umat tetap duduk rapi, tidak sedikitpun beranjak. Keyakinan mereka, nyadran memberikan berkah hidup dan kebersihan hati. Sambil menanti doa dan puji-pujian tetap dikumandangkan dengan dipimpin sang juru kunci. Semua yang hadir di tempat keramat ini berharap mereka mendapat lindungan dari leluhur dan nenek moyangnya.
Makanan yang dimasak oleh kaum laki-laki disajikan. Nasi, daging kambing dan daging ayam yang diolah dihidangkan. Semua makan bersama. Acara makan bersama ini menjadi penutup acara nyadran.
Para pengikut ajaran Kyai Bonokeling ini berharap mereka beroleh berkah dan kebersihan hati khususnya memasuki bulan suci. Mereka juga akan berpuasa. Puasanya disebut Puasa siri atau Lengser peri Puasa mereka berbeda karena hanya dijalankan hingga saat matahari bergeser yakni sekitar pukul 1 siang. Satu harapan mereka bahwa mereka telah beroleh berkah dan tinggal menjalani hidup sehari-hari termasuk di bulan suci.


*Penulis adalah peneliti pada Institute for Social Empowerment Yogyakarta, pemerhati budaya, tinggal di Yogyakarta, sekarang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura