Nyanyian Biasa

aku menyerah pada semesta
dalam lempeng api di tepi matamu
berharap di tepian jerit yang menganga
kau anggap belian rapuh
hingga udara sampai dengan sempurna
di dekapan sang penebus dosa
itu mungkin hanya nyanyian biasa
yang kebetulan terdengar oleh waktu, tapi
pada sebuah rasa, hanya sedikit masa
belum terimah, dirinya disakiti
siang itu
ya, hanya siang saja,
aku berharap pada matahari
sementara lapar masih menemuiku
lantaran pagi tak lagi ada
untuk mengisi ruang kosong dalam kata

lalu,
aku berjalan, menghitung detik
agar reruntuhan menjadi nasi
untuk kumakan dalamdalam, tapi
aku hanya makan kata dan rasa
hingga semesta ini sesak
dengan orangorang?

salam,
aku sampaikan pada siang ini
se-air saja

lamunan terus mengisi
lantaran bunga hanya berdiam dalam malam
sering aku berharap ia datang siang ini
untuk tidur bersama di alunan alun-alun
hingga terlihat wajah asing di suram maram

lagu indah tak lagi pusing
hanya sebatas ruang
belum ada dalam diriku
“kau diam dalamdalam”

Kutub, 2008
Pada Sebuah Senja

pada sebuah senjua
sudah siap kopimik
untuk kuseduh dalam semesta
senja pun ikut merasa kehausan jiwa

perkata berlalu dalam air manis
berharap pada malam nanti ada

gubahan selaksa kalam
di masjid terhias oleh langit
tergambar di cakrawala
pelan-pelan mengeja, hingga lahirlah bangunan kuno
untuk saham perjalanan ke dunia puisi

Yogyakarta, 2008

Kita Masih Ada

kita masih ada di alam ini
alam yang penuh luka, airmata, derita
aku lihat sungguh enak kita
merasa tiada yang mengganggu diperjalanan,
walau ada lampu merah, kau tak berhenti
karena kau punya pangkat untuk menundukkan waktu
sementara aku kau tinggalkan di tepi lihatmu
padahal kau tahu lampu itu untuk kita berhenti
karena patuh pada hukum, tapi aku-kita tiada tahu
apa hukum itu, seperti apa wajah hukum?

selama ini kita hanya bertanya, bahkan kita tak pernah bertanya
entah karena waktu sudah sesak dengan uang
semesta sudah tidak ada yang memegang

semakin hari kita tambah berani saja pada semesta
karena kekurangan asa jiwa,
mungkin karena ada tahi lalat di tubuhmu
sehingga kita tidak dengar jeritan-jeritan
sungguh, sangat sungguh kita ini

Yogyakarta, 2008
Malam

hidupku selalu malam
siang pun juga malam
puisiku mati dalam malam
perjalananku kosong, karena malam
jiwa malam
ibadahku juga malam
waktu pun ikut malam
semua malam

akan kubunuh malam itu

Yogyakarta, 2008

Negeri Gila

negeri apa ini?
segala sesuatunya seperti kosong dari kepedulian
apa negeri ini sudah tidak memilik raja?

aku berpuluh-puluh tahun hidup seperti ini
masih saja malam hanya berteman lampu-lampu redup
negeri ini benar-benar jauh dari matahari bahkan bulan pun jarang terbit
apa ini karena kau tidak berkata pada semesta kata
atau kita sudah tidak peduli lagi pada rasa

sungguh kasihan
pada waktu kalau tak berwaktu lagi
padahal aku masih punya banyak perlu
untuk berpuisi dalam dalam
dan memikirkan negeri gila ini

Yogyakarta, 2008

Pagi Itu, Cerah, Tercerah

pagi itu, cerah, tercerah, tapi
tanpa rasa, tanpa jiwa dan tanpa kata
hanya kosong, hampa
karena semesta hanya diam
dan matahari membisu di terik siang

Yogyakarta, 2008

Di Antara Dua Musim

bisakah pagi tetap indah
sedangkan mentari tak lagi menyapa

masihkah malam memberi tenang
sedang rembulan tak lagi menampakkan wujudnya

kuingin segera berlari pada maura waktu
karena beban tak lagi kuasa kubawa
kaki yang kujejakkan pada semesta yang dulu
kuyakin mulikku
kini asing
tinggalkan aku dalam sunyi
ku menjerit dalam hening yang membisu
tiada jawaban
ku selalu bertanya

kapankah semua akan usai

terimah kasih kau telah datang malam ini, tapi
aku mohon jangan pernah beri kau jejak
jika hanya untuk berlari
cukup perih oleh waktu
yang memberiku candu
dan kutak sanggup
jika harus mengulangi

Jakarta, 2008
Cincin ST Licin

seperti biasanya
bulan malam ini bersinar
menyinari orang yang bekerja untuk agustusan, tapi
ku tak membisu untuk bertanya pada bulan ini
seperti apa keindahanmu
hingga banyak orang menghiasimu
dengan bendera merah putih

hari kemerdekaan, katanya
hari yang bersejarah, lalu?

aku pun berlalu dalam sepi
memberi jejak untuk kau singgahi
sekarang dan selamanya

terimah kasih kau telah memberi aku baju
untuk merayakan kemenanganku hari ini, tapi
aku mohon jangan beri aku jejak
untuk melupakan sejarahmu
cukup puisi memberi
jawaban atas semuanya
karena aku tak biasa mengurai kata
di atas nasi berdasi

Yogyakarta, 2008

Percakapan Senja

semenjak malam seakan tiada
aku pun rebah dalam silau bulan
yang juga silau dengan air mata
seperti aku yang menangis
dipersinggahan kata

aku terus berjalan
menyusuri senja-senja yang kusam
menaiki gubahan-gubahan
menikmati puisi malam

aku terus menulis puisi
untuk jiwa dan semesta ini
karena aku hidup dengan puisi
lapar dengan puisi
bahkan mati pun
aku juga dengan puisi

aku melangkah seperti kehidupan
berjalan seperti waktu
berpuisi seperti lagu
yang semuanya rebah
dalam rumpun senja-senja-an
Yogyakarta, 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura