Menyikapi Pernikahan Dini

Oleh: Matroni el-Moezany*

Akhir-akhir ini banyak para pakar baik spikolog, perlindungan anak yang mempersoalkan pernikahan di bawa umur. Penulis di sini sangat heran, kenapa hanya persoalan pernikahan dini yang memang sudah sah menurut agama dan menurut tradisi bahkan budaya dipersoalkan, apakah ada persoalan lain atau memang Indonesia ini tidak cerdas sehingga anak kecil dipersoalkan atau bahkan Undang-Undang kita tidak relevan lagi untuk kita perjuangkan, MUI sampai-sampai tidak bisa melihat konteks budaya yang semakin hari semakin pesat?
Inilah yang menjadi pertanyaan besar dan perlu kita sadari bahwa Indonesia saat ini masih belum siap untuk meneriakkan Demokrasi. Pernikahan dini sebenarnya apa yang salah. Saya lihat di sana tidak ada sama sekali permasalahan yang harus banyak orang harus angkat bicara, itu hanya perjalanan indah yang belum kita ketahui sebelumnya. Saya kira untuk mempermasalahkan Syekh Puji sebagai terdakwa terlebih dahulu kita mengoriksi ulang Undang-Undang kita, sebab Undang-Undang tersebut di buat pada saat itu karena konteks realitas pada saat itu, sekarang konteksnya sangat jauh berbeda.
Sebab, adanya perlindungan anak berlaku ketika sebuah perlindungan dini di bawah umur itu jelas-jelas akan mengakibatkan buruk terhadap anak tersebut, tapi Ulfa sebagai istri Syekh Puji selama ini tidak mengalami apa-apa, lantas masalahnya apa? Sehingga aparat pemirintah memeriksa orang tua Ulfa, karena ekonomi misalnya itu hal biasa, ekonomi ini memang penyakit Indonesia sejak dulu. Dalam hal ini, kita sebagai warga mengaku cerdas tentunya kita tidak perlu mempermasalahkan hanya pernikahan dini, karena masih banyak untuk teriakkan ketimbanga hanya mengurusi masalah yang sebenarnya tidak bermasalah.
Kalau masalahnya adalah ekonomi, itu wajar-wajar saja, memang siapa yang mau hidupnya miskin? Masalahnya adalah bagaimana kita menciptakan undang-undang yang kontekstual bukan undang-udangan yang konservatif seperti undang-undang Indonesia, akhirnya dampaknya seperti itu, selalu mempermasalahkan masalah keluarganya orang, menganggu keluarga orang. Apa mereka tidak sadar bahwa mereka mempermasalahkan pernikahan itu sangat menganggu, coba andai saja keluarga kita di ganggu bagaimana sikap kita, tentunya marah. Syekh Puji juga demikian.
Ulfa sendiri tidak mau menjadi janda, lantas apa lagi yang harus kita permasalahkan antara syekh Puji dan Ulfa, tidak ada. Sebenya yang bermasalah adalah hokum Negara yang tidak memihak pada rakyat, ini sangat jelas buktinya, itu tadi undang-undang yang tidak kontekstual. Dari kemudian, kita sebagai orang yang mengaku cerdas dan kritis tentunya harus mengkritisi hokum bukan malah mempermasalahkan orang yang sah menikah.
Syekh Puji juga nyantai saja, karena dirinya tidak bermasalah baik terhadap hukum maupun agama, baik agama Hindu, Buhda, Kristen dan agama-agama lain yang ada dunia. Kalau agama sudah tidak mempermasahkan pernikahan yang sah kenapa kita sebagai manusia sok pintar mempermasahkan keluarga orang lain?. Lalu kemana Al-Qur’an kita simpan, sudah saatnya kita kembali kepada kitab, karena dalam masalah ini al-Qur’an tidak melarang.
Kalau lebih halus menelaah proses hokum yang dijatuhkan kepada Syekh Puji dan keluarga Ulfa memang sangat harus lebih kritis memandang hokum bangsa karena selama ini hokum bangsa kita hanya di buat main-main oleh aparat pemerintahan, mereka seakan-akan dengan menjadi aparat pemerintah tidak memiliki rasa tanggungjawab terhadap rakyat. Buktinya nyata banyak para aparat dan spikolog yang mengumentari masalah pernikahan dini.
Sebenarnya harapan penulis tidak banyak, tapi bagaimana kita kritis-kontektual memaknai hokum dan bagaimana proses hokum itu sendiri. Dalam hal ini adalah pakar-pakar lebih melihat kondisi masyarakat, mulai dari kemiskinan, pendidikan, dan kriminalitas, anehnya mereka hanya mengurusi masalah yang sebenarnya tidak bermasalah.
Dalam hal ini, kita harus bertanya kepada mereka bahwa apa maksud dan tujuan mereka menganggu keluarga orang lain? Dan kalau misalnya bersalah apa salah mereka sehingga terdakwa mau di hokum, salah kepada hokum wong hokum bangsa kita sekarang sangat jauh tidak berpihak pada kita, sungguh sangat kurang cerdas bangsa kita.
Penulis bukan berpihak pada terdakwa, tapi di sini berdiri untuk menyadarkan hokum kita yang semena-mena mengganggu orang banyak, sehingga Ulama’ bangsa ikut tidak cerdas, salah hanya satu kurangnya melihat luasnya samudera, mulai dari petani, pekerja, dan orang-orang desa, ya MUI enak duduk di ruang ber-AC, dan makan tinggal menunggu gaji. Sedang kita sebagai petani sama sekali tidak dilihat sebagai orang yang menyumbang terhadap kelangsungan bangsa.
Di sini kita membutuhkan orang-orang yang hanya cerdas untuk menjadi pemimpin Negara dan bangsa, tidak harus ulama atau politikus bahkan siapa pun, yang penting cerdas dalam memandang luasnya realitas itu saja sudah cukup untuk menjadi pemimpin rakyat ke depan. Ini dibutuhkan karena bangsa kita sangat haus akan kecerdasan para rakyat dan pemimpin.


*Penulis adalah orang biasa, selalu biasa dan hidup dengan kebiasaan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura