Marginalisasi Sastra Indonesia

Oleh: Matroni el-Moezany*

Saya sepakat ketika sastra Indonesia termarginalkan, hal ini ada kaitannya dengan bangsa kita yang tidak banyak melihat perkembangsan sastra di tanah air, terutama puisi, jadi tidak heran kalau Berthold Damshauser mengatakan bahwa sastra Indonesia kurang di kenal (Tempo, 27/03/2009). Ini bermula sejak terbentuknya Komisi Indonesia-Jerman. Komisi ini bertujuan memperkenalkan sastra Jerman di Indonesia dan sastra Indonesia di Jerman. Dalam hal ini hanya pihak Jerman yang mewujudkan cita-cita komisi tersebut. Indonesai saat ini masih diam, alias pasif.
Sebenarnya komisi ini dijadikan kesempatan bagi sastrawan Indonesia untuk memperkenalkan kalau sastra kita maju. Tapi anehnya komisi ini tidak diapa-apakan oleh para sastrawan kita. Artinya kalau Berthold sudah banyak menerjemahkan puisi-puisi Jerman di dalam bahasa Indonesia seperti puisi-puisi Nietzche, Zarahustra, Paul Celan, Bertold Brecht dan Goethe mengapa tidak kalau sastra (puisi) Indonesia diterjemahkan dengan bahasa Jerman.
Suatu yang sangat disayangkan ketika ada ladang subur tidak kita jadikan tempat untuk bercocok tanam. Artinya komini itu sebenarnya ladang bagi sastrawan Indonesia. Bahkan kata Berthold baru pertama kali penyair kita sebagai delegasi ke Jerman. Kita tidak hanya memperkenalkan tarian melulu, tapi bagaimana kita memperkenalkan aksara, tentunya bagi insan aksara atau insan kata-kata. Artinya dengan memperkenalkan aksara dunia akan tahu kalau Indonesia memiliki budaya modern, khususnya budaya kata-kata. Dalam hal ini, pemerintah harus ikut andil untuk meneruskan cita-cita insan kata-kata untuk menciptakan masyarakata kata-kata. Biar tidak hanya politik yang berkembang dan di perstakan. Tapi kata-kata harus kita pestakan. Pesta kata-kata.

Seperti Apa Novel Indonesia Saat Ini?
Ketika kita melihat perkembangan sastra Indonesia di Jerman sangat memalukan, mengapa tidak, di sana sastra Indonesia hanya terbit di penerbit-penerbit kecil, dan buku-bukunya tidak ada di tokoh buku. Misalnya terjemahan novel Ayu Utami belum banyak tanggapan. Bahkan Pram tidak di resensi dari segi sastra, tapi lebih kepada sebagai korban politik Orde Baru kata Berthold. Inilah sebuah realitas yang mungkin (teman sastra) belum tahu bahwa sastra kita belum layak untuk kita banggakan. Kita harus benar-benar membujuk pemerintah yang awalnya tidak pernah melirik perkembangan sastra, kini sudah saatnya kita teriakkan kalau sastra juga butuh biaya. Tidak hanya pemilu dan politik.
Indonesia sangat jauh dibandingkan Cina, Jepang, Korea, dan India, yang selalu agresif memperkenalkan sastranya. Sementara Turki dengan sendiri karena Orhan Pamuk meraih nobel. Sastra saja Amerika Latin bahkan best seller. Dengan Vietnam saja, Indonesia masih kalah.
Novel Indonesia misalnya Ayat-Ayat Cinta saya sedikit senang membaca novel ini, karena ada yang mengatakan novel ini layak di nominasikan Nobel karena mengembangkan sastra Islami. Pada halaman 10-20 halaman pertama, novel ini mengalir tanpa kerikil, taapi gaya bahasanya sangat pop.
Yang tidak enak dalam novel ini adalah adanya pragmatisme yang terlihat pada tokoh pemudah Indonesia di Mesir seperti insanulkamil. Dia berpoligami untuk menyelamatkan perempuan Koptik yang mencintainya. Yang tidak enak adalah pesan novel ini adalah bahwa yang bisa masuk sorga hanya orang Islam.
Itulahya sifat ekslusif yang sangat berlebihan, sama sekali tidak sesuai dengan jiwa rakyat Indonesia, sepertinya novel ini melecehkan Tuhan, mengapa tidak? Novel ini membayangkan Tuhan menerima makhluknya berdasarkan semacam KTP. Semoga tidak akan lahir lagi novel-novel yang mengatasnamakan cinta-cintaan. Kalau boleh sebentar lagi saya akan menulis novel Tuhan-Tuhan Cinta. Biar semua novel Indonesia seperti anak mudah yang baru bermain cinta.
Sastra Jerman berkembang sangat memukau sejak ratusan tahun lalu. Puisi Jerman sudah mencapai puncaknya luar biasa oada Goethe dan Nietzche. Di sekolah-sekolah juga diajarkan penulisan esai. Setiap penulis muda di Jerman juga memiliki kemampuan beberapa bahasa. Sementara sastrawan Indonesia kurang menguasai bahasa-bahasa lain. Sastrawan Indonesia berkembang secara otodidak, hal ini diakibatkan oleh ketidakpedulian pemerintah terhadap perkembangan sastra Indonesia, kalau boleh lebih kritis, hal ini sangat tidak menyenangkan, jadi kalau dilihat dari realitas sastra Indonesia mutu Jerman lebih tinggi. Sebab di sana mulai dari penulis muda sudah di didik secara sistematis, dan dihargai oleh negaranyanya, sementara Indonesia bisa di kata tidak ada.
Sebut saja misalnya Departemen Luar Negeri wajib memperkenalkan karya Jerman. Makanya didikanlah Goethe institute. Yang tugasnya adalah menyebarkan kebudayaan Jerman. Saya Indonesia juga perlu membangun Pusat Budaya di Eropa misalnya, dan tentunya sebagai pemimpinya harus budayawan, jangan para birokrat dan diplomat. Cina sudah mulai mendirikan pusat-pusat kosnfusius, dalam hal ini sastra Indonesia sangat penting, tapi kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya marginal. Ini sangat memalukan ketika sastra Indonesia sudah tidak lagi menjadi penyeimbang dalam kesejahteraan bangsa kita.
Akhirnya dengan sendirinya sejak dulu para sastrwana kita berjalan sendiri, tanpa ada yang melihat, tanpa adanya ruang-ruang yang memberikan sumbangsih terhadap keberlanjutan Negara Indonesia, sungguh sangat di sayangkan sastra Indonesia tak lagi ada. Lalu apakah kita akan berpuisi setekah kematian atau tidak sama sekali.



Matroni el-Moezany*)adalah pemerhati sastra dan budaya Kutub Yogyakarta.

tulisan ini di muat di Minggu Pagi pada tanggal 12 April 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura