Kutemukan Malam Dalam Waktu
Sajak Kampung
di sana ada bahasa
yang melahirkan kita
ada tradisi yang menghias
langkah kita
ada banyak kata
yang membimbing kita
dalam mengarungi waktu
walau tanpa luka
di sana aku sanggakan
untuk mendapatkan maknamu
walau dari halaman tepi
sajak kampung?
Engakaulah aku
Semenep, 2008
Prosa Do’a Dalam Malam
sebelum malam aku berjalan bersama do’a
bergumam menjadi batu
berkata menjadi bara
seperti aku yang berdarah-darah
bertangga-tangga malam itu
pada langit jingga di bulan basah
kita tinggal mencari masa
dimana semua waktu
terkurung bersama luka
terjatuh bersama darah asa
aku pun berlalu bersamanya dalam gelap
dalam lubang masa-rasa
singgahi segala makna-makna
aku seperti perjalanan prosa
dalam buah karya Goenawan Muhammad
mencari baru warna yang ada dalam kata
yang ada dalam rasa
juga dalam kata-kata
Sumenep, 2008
Semesta
sudah lama semesta ini terbuka
untuk menaburkan darah
untuk menaburkan batu
untuk menaburkan kerikil malam
sudah lama semesta ini terluka
untuk menepis sisa sejarah
untuk mengurangi sedih
untuk menghiasi tangis panjang
sudah lama semesta ini berkata
berkata untuk diam
berkata untuk berkarya
berkata untuk bangsa
berkata untuk kita dan
berkata untuk kesunyian
bergitu pun aku yang terbuka untuk semesta
walau tanpa luka dan keterbukaan
karena kita masih saja mengala dalam hal ini
entah semesta?
apakah ia akan terus sedih dan menangis
dalam kekalahan?
Sumenep, 2008
Gelombang Retak
inginku membela langit
yang sepi dari rasa
membela semua beda
dalam renungan bahasa
untuk satu makna baru
terhadap tanda masa yang belum tertangkap masa
tapi ada sebelah makna yang sedikit terungkap
meniti gelombang retak
untuk menaiki syakal kehidupan
Sumenep, 2008
Sepi, Diam, Bukan Tanpa Arti
serumpun datang mencarimu
aku pun tetap melanjutkan perjalanan
yang lelap di ruang lain
mencari kata
mencari bahasa
mencari rasa
mencari masa
juga mencari aku dan engkau
karena aku sudah lama
terlelap oleh kesedihan
Sumenep, 2008
Pesona Malam Puasa
sinar, berlahan menerangi lembaran waktu
kita tinggal sebentar lagi seperti ini?
di kala pesona itu kian rapuh
berganti hari-hari yang terkatup kata
aku berlalu menyamai
seperti malam sebelumnya
bahwa kita hanya merasa gersang
menjalaninya dalam bahasan kosong
di antara cahaya itu aku mati
dalam hidup yang panjang
aku menjadi milikku
dalam kematian
Sumenep, 2008
Dua Kata Tua
berguguran kata tua
melukis darah bisu
di senja hari
semesta ini sudah tak lagi tersenyum lagi
padahal kita sudah merayakan kata-kata
merayakan bahasa
merayakan rasa
merayakan segala
kini tinggal apa?
Sumenep, 2008
Cuma Darah Bukan Kata
cuma darah
yang bisa merindukan aku
bukanlah kata-kata
karena kata-kata bisa menjadi penjara
yang ada dalam ruang kosong, tapi
darah adalah aku
Jogja, 08
Tetap Dalam Air Mata
menangis adalah air mata
yang bisa mensucikan rahasia jiwa
jadi manangislah untuk orang, bangsa
walau kau masih anak-anak
tapi, kau masih merasakan
betapa pedih jiwa bangsa
Jogja, 2008
Tuhan Sedang Egois
seperti sudah lama tuhan
mengurungku dalam lubang hantu
sekarang yang kubutuhkan bukan bunyi kata
tapi, di balik kata
yang berbunyi tak berkesudahan
bercerita di ruang semu
berkata di semesta waktu
tak sepantasnya kau bilang itu
bilang untuk kita
bila sebatas hanya yang kau berikan
padaku
Rumahtanya, Oktober, 2008
Bangsa Kita seperti Tuhan
sudah berlama-lama
kita berada dalam kebohongan
berada dalam lubang tikus
yang saling merebut makanan
hingga
aku datang entah dari mana,
aku ini entah siapa,
aku pergi entah ke mana,
aku akan mati entah kapan,
aku heran bahwa aku bermakna
oh….
mereka tak perduli
pada segalanya
tak perduli
Rumahtanya, Oktober, 2008
Ruas Tak Beratap
setelah sekian malam kulalui
dalam ruas-ruas yang tak beratap
dimana kutemukan ruang itu
kusendiri ketika malam
tak kuasa menemaniku
rumah itu akhirnya turun
menjadi embun
menjadi bahan dalam timbangan maling
aku pun menjauh
untuk mendapat tempat baru
di atas bunga sesren
akhirnya sendiri
menjadi lahan
di persipangan malam
Rumahtanya, 2008
Ketika Berkelindan
Ketika semesta berkelindan
dimana jurang kau simpan?
padahal kau tahu
irama panjang di sebela matamu
mengundang kepergianku
seperti kengerian jiwa
yang tak kau mengerti
adakah kebersuratan kata
mengirimkan bahan rasa
untuk mengulang sejarah
yang hanya ada dalam dirimu
batu-batu pun bernyanyi
tentang kepergianmu
hingga aku menemukan
rasa sebagai jalan terakhir
dalam hidupku
Rumahtanya, Jogja, 2008
Waktu, yang Tak Kumengeri Dari Perempuan
terkadang kau tegas menyuruh
untuk memakan waktu dan rasa waktu, tapi
itu bukanlah sebenarnya, bukan?
inilah sebuah kata
yang kadang lembut dalam malam
terkadang terurai mimpi siang
aku tak mengerti
simpanan kata apa
hingga semesta ini
kekurang kata-kata
untuk menjawab ketakmengertian itu
padahal sudah kusuruh
tilas-tilas mencarimu
di celah kata yang bisu
mencari sesampai rasa
dimana kau tempatkan waktu
ketika malam kau bercerita
pada kesunyian diri
tanpa api, tanpa apa-apa
hanya waktu itu
aku benar-benar tak mengerti
bahwa kau berpuisi padaku
Yogyakarta, 2008
Aku Teringat Padamu, Indonesia
dari awal aku memang tak percaya
bahwa kau masih peduli padaku
indonesia
in
do
ne
si
a
bagiku hanya sia-sia dalam si dan a
bagiku hanya domido dalam do dan ne
bagiku hanya in yang tidak punya rasa
semuanya tidak ada, kosong dalam mata
Jogja-Jakarta, 2008
Sejarah Tertata Dari Jejak Kaki
awal langkah
aku tak menyangka
sejarah tertata dari jejak kaki
hingga kulihat matahari menaungiku
sampai titik tengah taman airmatadarah
di sana terlihat
pahlawan bangsa
pahlawan rasa
pahlawan kata-kata
pahlawan kekosongan
Jakarta, 2008
Kutemukan Malam Dalam Waktu
malam redup
wajah sunyi tak terlihat
hanya wajah sungai keruh
terpantul dalam bahasa pagi
meronai singgah-singgah perjalanan
di ruang waktu asal
kilatan mas di cakrawala itu
berada di atas selangkah kaki
dimana sejarah
terjalan dari utara
dengan sisa kaki
yang begitu bermakna
dalam langkahan sinyal-sinyal pertahanan
banjirkan air matamu, kawan
karena ia tumbuh bermacam-macam
dalam setiap tetes itu
roh yang bergelantungan
seperti buah di atas bunga
Veteran, Jakarta Pusat, 2008
di sana ada bahasa
yang melahirkan kita
ada tradisi yang menghias
langkah kita
ada banyak kata
yang membimbing kita
dalam mengarungi waktu
walau tanpa luka
di sana aku sanggakan
untuk mendapatkan maknamu
walau dari halaman tepi
sajak kampung?
Engakaulah aku
Semenep, 2008
Prosa Do’a Dalam Malam
sebelum malam aku berjalan bersama do’a
bergumam menjadi batu
berkata menjadi bara
seperti aku yang berdarah-darah
bertangga-tangga malam itu
pada langit jingga di bulan basah
kita tinggal mencari masa
dimana semua waktu
terkurung bersama luka
terjatuh bersama darah asa
aku pun berlalu bersamanya dalam gelap
dalam lubang masa-rasa
singgahi segala makna-makna
aku seperti perjalanan prosa
dalam buah karya Goenawan Muhammad
mencari baru warna yang ada dalam kata
yang ada dalam rasa
juga dalam kata-kata
Sumenep, 2008
Semesta
sudah lama semesta ini terbuka
untuk menaburkan darah
untuk menaburkan batu
untuk menaburkan kerikil malam
sudah lama semesta ini terluka
untuk menepis sisa sejarah
untuk mengurangi sedih
untuk menghiasi tangis panjang
sudah lama semesta ini berkata
berkata untuk diam
berkata untuk berkarya
berkata untuk bangsa
berkata untuk kita dan
berkata untuk kesunyian
bergitu pun aku yang terbuka untuk semesta
walau tanpa luka dan keterbukaan
karena kita masih saja mengala dalam hal ini
entah semesta?
apakah ia akan terus sedih dan menangis
dalam kekalahan?
Sumenep, 2008
Gelombang Retak
inginku membela langit
yang sepi dari rasa
membela semua beda
dalam renungan bahasa
untuk satu makna baru
terhadap tanda masa yang belum tertangkap masa
tapi ada sebelah makna yang sedikit terungkap
meniti gelombang retak
untuk menaiki syakal kehidupan
Sumenep, 2008
Sepi, Diam, Bukan Tanpa Arti
serumpun datang mencarimu
aku pun tetap melanjutkan perjalanan
yang lelap di ruang lain
mencari kata
mencari bahasa
mencari rasa
mencari masa
juga mencari aku dan engkau
karena aku sudah lama
terlelap oleh kesedihan
Sumenep, 2008
Pesona Malam Puasa
sinar, berlahan menerangi lembaran waktu
kita tinggal sebentar lagi seperti ini?
di kala pesona itu kian rapuh
berganti hari-hari yang terkatup kata
aku berlalu menyamai
seperti malam sebelumnya
bahwa kita hanya merasa gersang
menjalaninya dalam bahasan kosong
di antara cahaya itu aku mati
dalam hidup yang panjang
aku menjadi milikku
dalam kematian
Sumenep, 2008
Dua Kata Tua
berguguran kata tua
melukis darah bisu
di senja hari
semesta ini sudah tak lagi tersenyum lagi
padahal kita sudah merayakan kata-kata
merayakan bahasa
merayakan rasa
merayakan segala
kini tinggal apa?
Sumenep, 2008
Cuma Darah Bukan Kata
cuma darah
yang bisa merindukan aku
bukanlah kata-kata
karena kata-kata bisa menjadi penjara
yang ada dalam ruang kosong, tapi
darah adalah aku
Jogja, 08
Tetap Dalam Air Mata
menangis adalah air mata
yang bisa mensucikan rahasia jiwa
jadi manangislah untuk orang, bangsa
walau kau masih anak-anak
tapi, kau masih merasakan
betapa pedih jiwa bangsa
Jogja, 2008
Tuhan Sedang Egois
seperti sudah lama tuhan
mengurungku dalam lubang hantu
sekarang yang kubutuhkan bukan bunyi kata
tapi, di balik kata
yang berbunyi tak berkesudahan
bercerita di ruang semu
berkata di semesta waktu
tak sepantasnya kau bilang itu
bilang untuk kita
bila sebatas hanya yang kau berikan
padaku
Rumahtanya, Oktober, 2008
Bangsa Kita seperti Tuhan
sudah berlama-lama
kita berada dalam kebohongan
berada dalam lubang tikus
yang saling merebut makanan
hingga
aku datang entah dari mana,
aku ini entah siapa,
aku pergi entah ke mana,
aku akan mati entah kapan,
aku heran bahwa aku bermakna
oh….
mereka tak perduli
pada segalanya
tak perduli
Rumahtanya, Oktober, 2008
Ruas Tak Beratap
setelah sekian malam kulalui
dalam ruas-ruas yang tak beratap
dimana kutemukan ruang itu
kusendiri ketika malam
tak kuasa menemaniku
rumah itu akhirnya turun
menjadi embun
menjadi bahan dalam timbangan maling
aku pun menjauh
untuk mendapat tempat baru
di atas bunga sesren
akhirnya sendiri
menjadi lahan
di persipangan malam
Rumahtanya, 2008
Ketika Berkelindan
Ketika semesta berkelindan
dimana jurang kau simpan?
padahal kau tahu
irama panjang di sebela matamu
mengundang kepergianku
seperti kengerian jiwa
yang tak kau mengerti
adakah kebersuratan kata
mengirimkan bahan rasa
untuk mengulang sejarah
yang hanya ada dalam dirimu
batu-batu pun bernyanyi
tentang kepergianmu
hingga aku menemukan
rasa sebagai jalan terakhir
dalam hidupku
Rumahtanya, Jogja, 2008
Waktu, yang Tak Kumengeri Dari Perempuan
terkadang kau tegas menyuruh
untuk memakan waktu dan rasa waktu, tapi
itu bukanlah sebenarnya, bukan?
inilah sebuah kata
yang kadang lembut dalam malam
terkadang terurai mimpi siang
aku tak mengerti
simpanan kata apa
hingga semesta ini
kekurang kata-kata
untuk menjawab ketakmengertian itu
padahal sudah kusuruh
tilas-tilas mencarimu
di celah kata yang bisu
mencari sesampai rasa
dimana kau tempatkan waktu
ketika malam kau bercerita
pada kesunyian diri
tanpa api, tanpa apa-apa
hanya waktu itu
aku benar-benar tak mengerti
bahwa kau berpuisi padaku
Yogyakarta, 2008
Aku Teringat Padamu, Indonesia
dari awal aku memang tak percaya
bahwa kau masih peduli padaku
indonesia
in
do
ne
si
a
bagiku hanya sia-sia dalam si dan a
bagiku hanya domido dalam do dan ne
bagiku hanya in yang tidak punya rasa
semuanya tidak ada, kosong dalam mata
Jogja-Jakarta, 2008
Sejarah Tertata Dari Jejak Kaki
awal langkah
aku tak menyangka
sejarah tertata dari jejak kaki
hingga kulihat matahari menaungiku
sampai titik tengah taman airmatadarah
di sana terlihat
pahlawan bangsa
pahlawan rasa
pahlawan kata-kata
pahlawan kekosongan
Jakarta, 2008
Kutemukan Malam Dalam Waktu
malam redup
wajah sunyi tak terlihat
hanya wajah sungai keruh
terpantul dalam bahasa pagi
meronai singgah-singgah perjalanan
di ruang waktu asal
kilatan mas di cakrawala itu
berada di atas selangkah kaki
dimana sejarah
terjalan dari utara
dengan sisa kaki
yang begitu bermakna
dalam langkahan sinyal-sinyal pertahanan
banjirkan air matamu, kawan
karena ia tumbuh bermacam-macam
dalam setiap tetes itu
roh yang bergelantungan
seperti buah di atas bunga
Veteran, Jakarta Pusat, 2008
Komentar