Semata Wayang


kita bertabir kebohongan panjang

kau biarkan kata semata benda

untuk mengungkap hatimu dan kamatian

tapi dimana kau campur rasa erat

dalam dirimu

apakah kau telah matang

kata sebagai cincin keabadian

kitab penyair, kitab vagina dan kitab dalam buku

akan selamanya tegak

di tengah tumpukan jerami

di pintu kedua mataku

kitab di surau-surau

yang beragam di balik cermin

kitab itu menjauh

pagi memukul langit

dengan aksara malam

di lembaran-lembaran panggung masa depan

kuingat namamu, di dasar pagi

memabukkan waktu

menyihir matahari biar bingung

dalam perjalanan sampai senja mati

di atas tempat duduk kayu

kutulis apa yang dikatakan oleh matahari

kepada aku

nyanyian-nyanyian kemewaktuan

damai rasa

berbaring matahari melukis tubuhku

damai masih aku rasa

sampai mentari tuai pelukan angin

di antara wajah-wajah kata dan langkah-langkahku

Jogja, 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura