Menyikapi Mentalitas Cagub Jatim

Oleh: Matroni el-Moezany*

Mengapa Khofifah tidak siap kalah? Inilah pertanyaan yang selalu menjadi buah bibir masyarakat Jatim. Ketidaksiapan menjalani kekalahan itu merupakan delimatis, tapi orang yang memiliki visi yang jelas tentunya kekalahan merupakan kemenangan yang tertunda, tapi kenyataan ini berubah. Khofifah yang nyatanya sudah kalah malah dia belum puas, ini sebenarnya menandakan bahwa dirinya dalam mencalonkan Gubernur tidak mementingkan rakyat, tapi mementingkan dirinya sendiri, kalau pun KPU Jatim itu bermasalah itu bukan urusan kita tapi urusan pemerintah untuk ditindak hukum.

Saya sebagai rakyat Jatim merasa malu ketika ada Cagub mengalami “kegilaan” atas dirinya sendiri, sehingga Khofifah lupa kepada masyarakat yang secara tidak langsung dibodohi. Saya kira orang yang mencalonkan apa pun mestinya memiliki jiwa yang siap kalah. Tidak malah seperti itu. Itu masih persoalan yang dihadapi sendiri oleh Khofifah. Belum lagi persoalan finansial yang menghabiskan miliaran rupiah.

Sebenarnya kalau memang dia tidak siap kalah, lalu, apa tujuan mencalonkan Cagub? Sungguh sangat memalukan ketika Jatim yang mayoritas NU hanya gara-gara uang tidak siap kalah, dimana jiwa kelapangdadaan dalam menhadapi kenyataan yang sudah terjadi.

Bukanya saya sebagai pribadi orang dari KAJI, tidak! Saya sebagai rakyat Jatim merasa disibukkan dengan ketidakjelasan ini, artinya rakyat sudah di sulitkan dari berbagai kebutuhan, Khofifah malah seernaknya sendiri memikirkan dirinya sendiri yang tidak memiliki mental siap kalah, apakah seperti itu mental rakyat Jatim ketika mengalami kekalahan?

Padahal kalau kita sadari mental seperti itulah yang membuat orang bisa bunuh-membunuh antara tetangga, dan teman. Jadi tidak salah kalau misalnya mental Khofifah seperti “anak SMA” yang masih mudah yang gencar-gencarnya emosinya tidak bisa di kontrol, padahal realitas demikian. Apa orang seperti Khofifa tidak berfikir biaya yang dikeluarkan untuk biaya sangat banyak, padahal masih banyak rakyat Jatim yang masih kekurangan.

Sebenarnya pengaduan seperti itu tidak mencerminkan kedewasaan dalam menyikapi realitas, kemudian apa pantas kalau seorang calon Gubernur mengadu hanya persoalan uang, saya itu masalah uang, mengapa? Andai saja Khofifa bertujuan sosialis-humanis dalam mencalonkan saya kira tidak akan seperti itu, sebab orang yang tidak merasa puas dengan realitas ia akan tetap bertahan dengan keegoannya sendiri.

Lantas apa yang menjadi pertimbangan dalam artian tujuan mencalonkan diri? Sehingga adanya kejadian itu ada mental yang kurang mapan untuk di gali dalam mementingkan masyarakat daripada kepentingan sendiri. Akhirnya yang terjadi adalah sebuah ketidakpuasan melawan realitas. Artinya ketika ada sebuah ketidakpuasan itu berarti bukan orang yang memperjuangkan hak rakyat yang seharusnya menjadi pertimbangan besar daripada mengadu kepada “ayah negeri”. Apa sih artinya pengaduan seorang anak dewasa (kalau dewasa) kalau belum tidak apa-apa, tapi yang terjadi di Jatim adalah ketidakdewasaan. Ketidakwasaan di sini bukanlah hal yang biasa tapi sangat langka.

Di negara demokrasi seperti ini kok masih ada orang tua mengadu kepada ayah hanya persoalan publik. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Kalau sudah demikian, ini artinya memalukan rakyat Jatim yang katanya mayoritas NU (islami), ini sekaligus mencoreng nama baik institusi keagamaan. Dalam institusi kok ada ketidakdewasaan dalam menjalankan struktur organisasi, jadi tidak heran kalau sangat terlihat ketika ada calon Gubernur Jatim mengadu seperti itu. Lalu dimana letak kedewasaan Jatim sebagai pulau yang penuh kharisme para kiai?.

Ulama mempunyai peranan penting di bidang politik sebagaimana peranan raja di bidang keagamaan. Dengan kata lain, ulama memegang peranan penting dan strategis dalam menentukan aspek-aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk dalam struktur politik dunia yang dewasa ini tidak lagi menunjukkan independensinya.

Hal ini diperparah pula oleh tidak lagi efektifnya pengaruh para tokoh agama dan para pemegang kekuasaan dan politik di berbagai kawasan dunia. Sehingga ketidakdewasaan tidak bisa dicegah lagi. Seperti kata Donald Eugene Smith (1985): ''Ada dua senjata efektif pengendalian sosial (social control) untuk mendamaikan suatu masyarakat yang tengah bergolak, yaitu agama dan pemerintah.

Sebagai kata akhir kita renungkan kata Musa Asy’arie bahwa seharusnya kita dan pemerintah sebagai makhluk yang berpikir tentunya harus tahu tentang hidup dan tahu tentang dirinya dalam hidup serta tahu dirinya dalam hidup, maka kita akan menemukan kehidupan yang sejati karena kehidupan tanpa kesejatian diri merupakan kesia-siaan belaka. Sebab fenomena permanen dalam kehidupan adalah kehilangan kesejatian diri. Apakah Indonesia juga kehilangan kesejatian?. Tidak akan, kalau pemasyarakatan di Indonesia benar-benar dirayakan oleh pemerintah dan kita.

Harapan penulis adalah bagaimana kejadian itu jangan sampai terulang lagi. Dalam hal ini diperlukan adalah kedewasaan diri dan kedewasaan dalam berpikir yang lebih membudaya. Sebab intervensi budaya tidak bisa dielakkan dalam setiap daerah. Dan bagaimana mempertahankan budaya daerah kita agar tetap aman tanpa ada celah yang memabukkan. Budaya di sini juga harus memiliki jiwa dewasa, sebab tanpa adanya kedewasaan dalam sektor apapun kita akan sama dengan anak-anak yang asyik bermain dengan motor-motoran.

Matroni el-Moezany*) Peneliti pada Center For Fhilosophy Islamic Education UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

CP. 081703775741

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura