Mencari Alamat Lewat Sastra

Oleh: Matroni el-Moezany*

Dengan kembali ingin menghidupkan budaya dan sastra di Yogyakarta, Dewan Kebudayaan Yogyakarta (DKK) mengadakan festival sastra yang bertempat di Multiporpus UIN Sunan Kalijaga yang berhubungan dengan fakultas Adab, dengan di hadiri dari berbagai sastrawan, budayawan, dan penyair Jogja.
Tema ini sangat menarik ketika menginjak kepada dialoq terbuka dengan nara sumber Hamdi Salad, Taufuk, Musthafa W Hasyim dan Sholeh UG, mereka sangat semangat untuk bagaimana perkembangan sastra di Jogjam tidak mati, baik dalam percakapan maupun dalam dialog-dialog yang ada di komonitas maupun dalam akademis.
Mereka bersama lembaga kebudayaan Jogja ingin memperjuangkan identitas sastra di tanah air, khususnya di kota Jogja. Sehingga kritik karya sastra yang lahir terhadap realitas merupakan format lain dari sebuah kepedulian sosial, ini bisa dikatakan bahwa sastra yang berusaha menyajikan kegetiran sosial yang dimunculkan di dalamnya merupakan tindak sosial yang menjadi muara kecil dari komitmen sosial seorang sastrawan.
Sastra adalah media proklamasi dalam proses berpikir, yang sedikit banyak akan membuka pintu diri pada konteks budaya secara dinamis serta ritual-ritual sosial yang turut membidani kelahirannya. Sastra yang ditulis adalah materi solid dari tindak sosial yang lahir dari komitmen seorang sastrawan yang dijadikan arsip budaya untuk dijadikan konstituen kecil dari semesta kebudayaan massa. Adalah Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Pramoedya, Rendra, beberapa dari sekian sastrawan yang telah menunjukkan hal tersebut.
Karya sastra puisi misalnya bukan sekadar permainan kata-kata simulatif, bukan pula area manuver stilistika dari seorang penyair, tapi melampaui itu, sastra merupakan pesawahan subur yang dijadikan tempat tumbuhnya realitas ide yang kadang kala tidak diperlakukan adil di dunia realitas empiris. Karena itu kita bertindak yang merupakan bukti nyata dari kometmen sosial seorang penyair dipertaruhkan dalam kondisi yang sebenarnya. Benarkah ide (yang sangat egosentris) itu ada di atas segalanya? Kenapa ide selalu berbenturan dengan “materi” bernama kepentingan praktis di ranah realitas sosial? Tampaknya jawaban atas pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan objektivitas personal.
Jadi, sastra dalam hal ini memberi alamat yang sangat jelas dalam mencari cahaya keberbaktian kepada kebudayaan dan budaya itu sendiri, sehingga tidak terlihat sesat, baik dalam bersastra, berseni, berkata-kata, dan berbudaya, sebab selama ini sastra dan seni selalu mengalami “kesesatan”, baik dalam berpikir, bertindak, inilah sebenarnya yang di sayangkan oleh sastrawan tua.
Padahal sastra sendiri merupakan alat untuk menyimak musik realitas semesta yang selama ini menjadi bahan pewacanaan sastrawan di era 80-an sampai sekarang, sehingga sangat sulit melahirkan generasi sastra dan budaya yang benar-benar lahir dari sana dan ingin membuat banyak dalam memperjuangkan itu semua, lalu kita merefleksikannya dalam bentuk apa pun. Sebab apa pun itu tanpa adanya refleksitas dari seorang pelaku sastra dan budaya nampaknya hanya mengalamu kekosongan (tak ber-roh). Kita haruslah melihat bagaimana sastra menjadi lebih terlihat manja, lembut, dan sensual dalam benak pembaca. Secara tidak langsung wacana kebudayaan menjadi sangat objektiv dan dinamis.
Apa pun bentuk dari karya sastra dan budaya tanpa adanya dukungan dari dirinya sendiri itu seperti tumbuhan yang tak berbuah. Itulah sebabnya mengapa perlu adanya seorang sastrawan dan budayawan yang benar-benar dari rahim sastra, sehingga perkembangsan sastra tidak mandek dalam pengenerasiannya. Sangat di sayangkan ketika belum ada generasi yang benar-benar ingin memperjuangkan sastra, padahal sastra dalam catatan sejarahnya sangat banyak menyumbangkan diri dalam pembentukan dasar sastra dan budaya di tanah air.
Ini bukti nyata di masa itu, bahwa sastrawan dan budayawan pada era itu benar-benar memperjuangkan sastra sebagai bentuk nyata dari pengabdian kita kepada bangsa dan Negara, sekarang belum terlihat sastrawan seperti itu, padahal realitas yang terjadi sudah banyak kejadian pemerkosaan, kejahatan, dan kriminalitas-kriminalitas yang sejenisnya, yang kemudian muncul Tanya mengapa belum ada seorang penyair yang mengangakat realitas bangsa, dan budaya.
Kalau boleh sadar diri, budaya yang ada tanah air kita milik siapa? Ini sama sekali belum terlihat budaya kita yang khas, lah; inilah sebenarnya tugas kita untuk menelaah ulang kemudian memperjuangkannya, walau pun tidak semua yang terjadi di dunia harus diperjuangkan, tapi setidaknya ini menjadi bahan refleski untuk kita ke depan melihat perkembangan sastra dan budaya.
Dengan demikian, ini sepenggal sajak penulis yang mengungkap bagaimana kreativitas, profesionalitas menjadi lahan dalam menyuburkan dan memperjuangkan sastra yang ada di tanah air:
matamu tak bertempat
lagu malam dalam mimpi
meresap diperataran surau-surau waktu
melesat di angkasa jiwa, menjadi istana kata
Dari sajak ini terlihat bahwa agar sastra dan budaya memiliki tempat yang layak, tugas kita adalah bagaimana dalam berkarya memiliki kreativitas sastra, tentunya ini sangat penting daripada ada sastra dan budaya yang tanpa makna apa-apa di ranah publik, walau pun tidak ada sastra dan budaya yang tidak memiliki makna. Tapi setidaknya ini menjadi spirit baru dalam berkarya.



*Pemerhati masalah sastra dan budaya Kutub Yogyakarta, dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

HP: 081703775741

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura