Kalimat Yang Tak Pernah Mati di Ujung Senja

Oleh: Matrony el-Moezany*

Aku mencari matahari? Kata sang guru, aku akan menemukannya di tempat-tempat yang kumuh, di atas para pengemis yang menengadah, di dalam malam yang berirama dan alunan gitar para pengamen yang meminta-minta, atau di atas pijakan tongkat tunanetra, lalu apakah sumber-sumber pengetahuan untuk tahu matahari itu? kau akan menemukannya dalam perut malam yang meneriakkan kelaparan dalam perkumpulan orang-orang yang hidup dalam kesusahan, dan dalam pelacuran para elitis, dalam pertengkaran para perebut kursi kekuasaan, dalam hotel-hotel, atau di rumah-rumah, juga terpetak-petak dan kemiskinan.
Aku mencari semua itu, Siapa yang menulis semua kata-kata dan kalimat-kalimat itu? Aku menemukan begitu saja dalam arungan perkelanaan ini, ketika aku menuju jalan kembali, rumah atau apa saja atau yang lain, pena yang menuliskan itu tampaknya masih basah, lembab, lembut, sejuk dan baru, belum tersentuh oleh debu-debu yang melintang di angkasa, sepasang kakiku berbijak seakan menyuruh untuk mengambilnya, kebodohan yang membuat tak mengerti, ketika sambil berjalan memperhatikan banyak kerangka, waktu dan tulisan dalam benak dan kertas, juga terpikir, untuk mengira tulisan itu dapat memberi pencerahan dan matahari padaku atau dapat memancing reaksi seluruh isi jiwa, terutama setelah terjadi pergeseran atau pergolakan dalam dada dan jiwa dalam pencarian matahari.
Dari manakah pengetahuan yang benar datang? Betitulah yang selalu meringsut daya khayal. Ketika pikiran menyentuh dua kata yang saling mempengaruhi, seketika tersentak sendiri, bagaimanakah untuk mengetahui dan kenapa? Masalah sama sekali di luar jangkauan pikiran yang bodoh, aku akui bahwa sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh dan itu semua tidak membodohkan bila masalah-masalah yang muncul dalam jiwa, tetapi masalah pergolakan dan pergeseran selalu saja “aku” yang ada dalam masalah itu, dan itu merupakan pencarian yang tak bisa disampahkan, masalahnya berada di tengah-tengah pergolakan dan pergeseran dengan berbagai masalah yang selalu menghantui perasaan.
Aku seorang pencari matahari, namaku Kadam, apa dan siapa aku? Mungkin ada yang bertanya, namun kuakui itu belum waktunya untuk menceritakan siapa aku yang sesungguhnya, ketika aku membaca lagi kata-kata dan kalimat-kalimat itu yang muncul sesuatu tanya dan rasa ragu dalam hati, karena tidak pernah menjumpai kalimat, misalnya matahari akan kau temui di dalam keraguan, di semak-semak kelana, di kamar-kamar persinggahan orang-orang bijak, di tempat para tuan dengan kelebihan pengalaman yang dapat menentukan tegaknya suatu kebijaksanaan dan bersinarnya matahari.
Tadi kuakui, aku sangat jauh dalam mencapai matahari, tapi pikiranku di rangsang oleh kata-kata dan kalimat-kalimat itu untuk menambah beberapa kalimat lagi, tapi kenapa kalimat tidak menyinggung orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan matahari yang sungguh-sungguh benar dalam perjalanan pikiran, dan menyinggung para tuan dengan kelebihan pengalaman yang dapat berbuat apa saja untuk menaklukan keraguan, di sana akan menemukan matahari.
Sekarang pikiran sudah mengkaji, kenapa orang atau mungkin juga suatu kelompok kemudian menebarkan pencerahan-pencerahan seperti itu, mencerahkan suatu yang menyentuh perasaan, orang-orang yang mengaku sebagai orang pencari matahari dari sebuah ruang dan waktu yang bernama "pencarian" matahari sejati, matahari akan ditemukan di lubuk-lubuk jiwa para pengemis yang menengadah, dan di tengah tadahan tangan orang-orang peminta-minta, sebuah optimis dan semangat yang sangat mengharukan, terutama setelah terjadi keinginan untuk mengetahui matahari yang tersimpan di balik tirai-tirai pintu.
Adakah sifat dasar pengetahuan itu? Saat pikiranku mengusung dua kata, aku tersentak diri, kenapa? Kerisauan itu sama sekali tidak aku sadari dalam kesadaran, sekarang pikiranku, kenapa orang atau seseorang dapat menebarkan yang menyinggung perasaan orang yang tidak sadar akan kepribadian, orang yang mengaku sebagai orang yang dapat menebarkan kata-kata yang menyinggung perasaan adalah sebuah penghinaan, begitu hinakah aku? Aku akan menemukan di gubuk-gubuk para pemulung di Malioboro atau tadahan tangan para peminta-minta itu, namun bisakah menemukan penghina itu? Suatu kegelapan lain yang melintas dalam pikiran yang tidak bisa diselesaikan sendiri pada saat ini, betapa sulitnya penegakan hukum ditataran orang yang sungguh bodoh ini, mencari matahari merupakan tugasku, namun tugas itu hampir tidak pernah terselesaikan.
Aku sekarang ada di rumah, aku tinggal dengan seorang pembantu laki-laki setengah baya, dia tadinya seorang pedagang asongan di Malioboro yang mejelajahi setiap daerah dan pelosok-pelosok Jogjakarta mengais-ngais tong-tong sampah mencari barang bekas, kusapa dia, dia menyambut sapaan itu dengan penuh tanda tanya dan kecurigaan yang terpancar di atas pundaknya, walau aku menjelaskan, aku ingin mengajaknya tinggal di rumahku, sebenarnya aku ingin dia pergi dari hadapanku, tapi karena aku kasihan padanya karena melihat keberadaan yang begitu kumuh dan fisik yang sudah agak lusuh dengan beban barang bekas yang disandang di karungnya, aku mengatakan bahwa niat mengajak tinggal bersama semata-mata ingin berguru, juga kujelaskan, dia tidak akan di bebani pekerjaan yang berat, kamu Cuma akan dijadikan pembantu untuk mencari matahari, akhirnya dia mau untuk tinggal bersama sampai saat ini, dia mengajari macam ilmu yang belum pernah aku ketahui, selama aku belajar diperguruan tinggi, terutama bagaimana menerima telepon, dan apa manfaatnya, dia tidak pernah sekolah atau belajar dinama-mana.
Ketika sampai di rumah, sang guru demikian aku panggil, aku mengenal nama yang baru aku kenal, atau nama yang telah aku kenal, dan akhirnya aku putuskan menjumpai nama yang baru aku kenal, suatu kejutan juga bagi aku, kata sang guru, Adakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran atau di luar waktu kita dan kalau ada adakah kita dapat mengetahui? Pertanyaan ini sangat membutuhkan jawaban yang memang harus sestematis dalam mengarungi jawaban itu, memang sudah mengenal pergulatan-pergulatan dalam dunia pencerahan yang bisa seseorang mengenal dan mengetahui sebuah ilmu yang langka, terutama dalam kalangan para tuan yang disebutkan dalam ilmu yang tertera dalam kalimat-kalimat yang tuan berikan.

***

Aku sampai ke tempat yang dijanjikan sang guru, aku tidak kenal sekitar sembilan malam, setengah jam yang dijanjikan oleh sang guru aku datang lebih awal datang ke tempat itu, aku sengaja datang ke tempat itu untuk mengetahui tempat itu, sebuah gubuk tua yang terbuat dari atap jerami, beberapa sudut di lobi gubuk itu penuh dengan tumbuhan putri malu untuk menghias tubuh gubuk tua itu, ketika menyebut tubuh, tanpa kusadari memperhatikan diriku, termasuk dalam golongan tubuh apa sebenarnya aku ini? Aku tahu ada sejumlah tubuh di gubuk tua itu yang di hias karena banyak memperjuagnkan keindahan hak-hak tubuh tumbuhan di gubuk tua itu, aku berteriak di tempat itu di tengah jalan atau dimana saja, kembalikan hak aku yang engkau simpan di balik keagunganmu sebagai orang dari sekian banyak yang bodoh, tidak akan lahir dan tahu dari mana datang sebuah pencerahan dan sinar matahari.
Ketika aku tergoda rangsangan pikiran itu, seorang laki-laki mendekatiku, dia nampaknya sudah mengenal aku, ternyata dia adalah sang guru itu, laki-laki tua yang cukup sempurna di depanku duduk, laki-laki itu cukup rapi tampaknya, dia serasi dari atas ke bawah.
“Saudara Dukardi?” sapa dengan sangat santun.
“Benar” jawabku, aku menatap aku menatap wajahnya sambil bertanya dalam hati apakah laki-laki ini benar-benar ingin berjanji untuk menemuiku dengan aku di sini.
“Saya Gunaji yang pernah menelponmu saat kau ada di rumah temanmu” laki-laki itu memperkenalkan dirinya.
“Tuan mencari saya?” tanyaku.
“Saudara tidak keberatan?”
“Tidak”
“Tidak enak ngobrol sambil berdiri. Bagimana kalau kita minum dulu di gubuk ini”, Tawar Dukardi.
“Terserah Tuan”
Kami pun menuju gubuk, kami ngobrol dengan asik apa-apa yang menjadi pengalaman dia, sekarang Gunaji memperhatikan aku setengah nanar, kesanku, tentu saja aku tidak tahu, kenapa Gunaji memperhatikan aku seperti itu.
“Dari mana Tuan tahu alamat saya?” tanyaku
Tanyaku itu mengangetkan Gunaji, langsung dia cepat-cepat memperbaiki sikapnya.
“Sudara cukup di kenal”
“Lalu?” pancingku.
“Masalah selanjutnya, kita akan membicarakan di kamar saya, saudara tidak keberatan?” tawar gunaji.
Kami menuju satu gubuk itu, tempatnya cukup indah, ada hiasan bunga dan berbagai bunga-bunga sesren yang cukup manarik, ada gambar langit dan awan putih yang masih cerah, ada secercah tangis dan serumpun rerumputan.
“Saya mendengar saudara senang pada pandangan yang kayak ini,” puji Gunaji, kesanku pujian itu jujur.
“Saya tidak perlu, saya mengatakan siapa” elak Gunaji.
“Saya orang bodoh, karena itu berusaha untuk ngobrol dengan tuan,” akuiku.
“Kesan saya, Saudara bukan orang bodoh”
“Saya sudah berada di hadapan tuan, dan tuan meminta agar menjumpai tuan di sini, saya akan melemparkan pada tuan kebodohan saya pada tuan dengan jujur,” tantangku.
Aku menantang Gunaji, wajah itu memperlihatkan keraguan, tak tahu apa yang dipikirkannya, biasanya seorang laki-laki begitu melihat sesuatu yang belum kenal di depannya, dia terus mempereteli segala apa yang belum dia ketahui, kemudian melemparkan keraguannya dengan jujur, pengalaman ini selalu kualami, tapi kenapa Gunaji ragu.
Sekarang aku menantang dia, aku mulai mempereteli segala apa yang aku inginkan dari tuan, namun ketika jujur terakhir siap kulemparkan dari jiwa dan hatiku, Gunaji dengan tangkas menjawab kejujuran Dukardi, kemudian dengan cekatan dia mempertegas kembali kejujurannya, dia melakukan tanpa mengucapkan sesuatu, juga aku yang diam saja diiringi tanda tanya dengan matahari yang sesungguhnya.
“Tuan telah mempermainkan saya” tuduhku.
“Apa madsudmu?”
“Setelah melihat kebodohan saya tidak seindah matahari yang sinarnya ada pada matahari itu, dengan cepat tuan melemparkan kembali bodoh saya” kataku.
“Sungguh bukan itu, kebodohan saudara indah dan sangat menawan, tapi tiba-tiba saja saya menganggap saudara bukan orang yang bodoh, saudara orang yang pintar, karena itu tidak layak saya melemparkan kejujuranku kepada saudara” akui gunaji.
“Atau mungkin karena tuan tiba-tiba sadar?” pancingku.
“Sadar karena saudara bukan orang bodoh”
“Bukan, bloon itu tidak enak”
“Sudahlah, mari kuantar saudara pulang” tawar Guanji.
“Terimah kasih, saya bisa menemukan sendiri jalan, walau tuan tidak mau untuk membangi pengetahuan tuan padaku”
“Bagaimana dengan waktu yang telah kita buang percuma ini?” tanya Gunaji.
“Madsud tuan mau membayar kayak orang sekolah?” tebakku.
“Kalau saudara bersedia”
“Tidak, terimah kasih, saya menerima imbalan kalau terjadi transaksi, padahal kita tidak melakukan apa-apa” aku mengingatkan.
“Saya makin yakin saudara bukan orang bodoh”
“Itu hanya dugaan tuan saya memang bodoh, saya kelihatan sopan dan mengucapkan kata-kata dengan baik hanya kebetulan, pengalaman dan pergaulan telah mendidik saya” kataku.
“Saya percaya, mari saya antarkan saudara pulang, kumohon jangan di tolak, permintaan ini,” akui Gunaji.
Aku memang bersedia diantar pulang, aku yakin Gunaji benar-benar tulus, tak baik menolak ketulusan orang, kataku dalam hati.
Dalam perjalanan kami hanya diam saja, hatiku sebenarnya mengharapkan Gunaji menceritakan siapa dia sebenarnya, kenapa dia mencari aku seorang yang bodoh, untuk membagi pengalamannya, walau tidak melakukannya, tidak kepada orang yang genius, suatu yang cukup aneh sebenarnya, pengalamanku mencatat bahwa tak seorangpun yang mengurungkan kebodohan kalau sudah berhadapan dengan aku, melampiaskan segalanya, kadang-kadang bikin pusing.
“Ini rumahku, kataku ketika kami sudah sampai” mampir dulu?” tawarku.
“Terimah kasih, mungkin lain kali, saya sudah tahu rumahmu” kata Gunaji.
“Ya, rumah seorang yang kosong akan bintik-bintik pencerahan” kataku.
“Ya, saya tahu, itu pengakuanmu”
Kemudian Gunaji memacu langkah kakinya dengan mataku mengiringi kepergiannya. Sambil berkata:
Suatu yang tidak mungkin, kalau kita merana dalam kata-kata

Yogyakarta, 2007

*Penyair

Cerpen ini Menjadi Nomintor dalam lomba cerpen pelajar-mahasiswa Nasional di STAIN Porwokerto

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura