Mungkinkah Ini Indonesia

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany*

Mungkinkah ini Indonesia?
Jeritan si miskin dari hati Indonesia?
Tubuh Indonesia yang mengoyak dirinya sendiri?
Do’a dari tangan si miskin Indonesia
Manis-kata perangsang rasa? Dan
Indonesia yang tertegun, berlari-lari
Gemuruh gelombang dan sambutan lonceng
Sajak kehormatan, kebahagiaan-palsu
-mungkin ini Indonesia-
Kau sekarang berdiri di tepi, berhati-hati
Karena yang kau dengar adalah Cinat
Keimanan Cina tanpa kata

Jogja, 2008

Entah

entah apa yang harus kutulis sekarang
belum melihat matahari, belum melihat bulan dan bintang
aku hanya merasakan malam, karena lapar di tepi kerinduan
aku butuh makan, aku butuh dirimu, di sisiku,
karena perut ini sakit sekali
ada satu yang kubutuh, aku butuh makan, makan waktu,
makan kata untuk mengisi ruang perut,

mengapa sedetil ini kau lukai hati malam?

Jogja, 2008

Sebongkah Kesederhanaan

terdiam seperti kata dalam jiwa
entah kenapa semesta begitu rindang
setelah kueja
kulihat dari purba nenek moyang
masih rapi seperti sinar
apa karena kelembutan kata
hingga kerindangan menjadi rumpun

sebongkah kesederhanaan
semesta tampak dingin tanpa dasar

paling sulit kuukir dari bahasa
adalah kemewaktuan kata

musik di atas air
sepertinya kesunyian yang bebas
yang jadi hari-hari jadi kenangan

berpetualang dalam labirin
karena siap dengan luka

Yogyakarta, Desember 2008

Di Balik Bayang


Di hari ini
luka kematian terasa nyeri
dalam sunyi pertemuan

berdarah
oleh pisau kata
saat gambarmu terlukis di mata
jalanan hanya ronsokan menelisik
pada jiwa-jiwa raksasa

Kisah tak lagi reda
sejarah terus terisi asma-asma
kerinduan

Aku bertanya pada siang ini
seperti apa kau disana?
hingga lawan sukma tak terukir jelas
sesak kalimat demi kalimat

Kanvas jelas dalam saran suci
ladang–ladang makna
referensi-referensi beku
mitafor-mitafor debu
di cakrawala dan lembaran-lembaran malam

lalu dimanakah kamu?
hingga dada sesak oleh wajahmu
kerinduan?

Jogjakarta, 09241208

Seperti Ini

seperti ini
senyap hati dan waktu
malam kumuh ayat basah di keningmu
senyum bulan di sini
bersimpuh lara dengan ayat keraguan

berjalan di rancak usang
trotoar basah, lantai kilat
kurangkum segala

Cinta kulihat senja ternyata rindu
tersabda
di musim wabah rindu begini
apa yang harus aku singgahkan
pada hutan di dada ini
menggoreskan tinta kesetiaan
di pundak jilbab-jilbab asamaramu

tapi di mana kamu
mata terbatas ini tak mampu menemuimu
luka tiada
tinggal serumpun sesak mengurai jiwa

Jogjakarta, 0907241208

*) Matroni el-Moezany adalah penyair kelahiran Sumenep 3 Maret 1984, sekarang masih menyesaikan kuliah di fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijga Yogyakarta, sering menulis di media massa baik lokal maupun nasional, seperti Suara Pembaruan, Sindo, Suara Karya, Media Indonesia, Sinar Harapan, Lampung Post, Merapi, Minggu Pagi, Solo Pos, Suara Merdeka, Surabaya Post, Surya, Radar Madura, dll. Aktif dalam Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI), kajian Sarkem Sokrates lingkaran ‘06’, dan komonitas Rumah Tanya Yogyakarta.


Berdomisili: Jl. Gg Parahyangan Pengok PKJA Blok K GK 1/748 Demangan Gondokusuman Yogyakarta, 55221.
Contact person: 081703775741

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani