Amarah Cinta Dalam Seni

Oleh: Matroni el-Moezany*

Kita sudah banyak melihat realitas yang diakibatkan oleh cinta, yaitu tangis, pembunuhan, bunuh diri, dan tsress hanya karena cinta seoarang perempuan. Artinya dalam hal ini kita belum bisa atau belum mampu untuk bertindak kritis dalam menyikapi hal tersebut. Di sini seni perlu intervensi dalam menyesaikan problem itu. Sebab hanya seni yang bisa mengatasi itu semua.
Saya kira kalau itu dipandang dari kacamata seni, tangis, bunuh diri, pembunuhan dan rasa stress itu tidak akan terjadi. Jadi kalau kita dilahirkan dari rahim seni maka, saya yakin setetes air mata tidak akan jatuh membasahi pipi hanya karena putus dengan perempuan.
Saya sebagai pribadi menolak realitas semacam itu, karena kalau kita melihat semesta masih banyak ruang-ruang lain untuk kita singgahi dalam menyikapinya. Sebab rasionalisasinya tidak jelas, masa’ hanya karena putus cinta atau di tolak cinta kita putus asa. Bukannya saya memandang itu semua harus rasional, tapi setidak ada rasa kritis dalam diri untuk tidak berbuat naif seperti itu.
Anehnya, yang melakukan itu bukan orang tidak berpendidikan, tapi ini terjadi pada orang-orang pelajar, karena mereka merasa gagah dengan melawan orang ketiga dengen kekerasan, apa tidak ada jalan lain untuk mengatasi. Padahal kita semua tahu bahwa banyak jalan menuju rumah. Lagi-lagi mereka belum sadar, menyadari, lalu belum ada kesadaran yang holistik dari lingkungan maupun dari dalam diri kita sendiri.
Bahasa universal seperti “kalau pacar saya di ambil orang menimal saya harus kasih pelaran atau paling tidak dia harus berurusan dengan pihak ketiga” sebenarnya kata-kata ini tidak layak bagi pelajar, artinya di sini kita perlu kritis melihat kejadian baik yang menimpa diri kita maupun pacar kita. Kalau memang pacar kita di ganggu orang dan pacar kita mau, kanapa kita harus marah, lebih baik kita musyawarah dengan mengatakan putus dengan pacar kita, karena sudah melenceng dari koridor yang kita sepakati.
Bukan saya tidak mengerti perasaan, bukan saya tidak tahu apa cinta sejati, tapi cinta itu sendiri tidak memiliki unsur-unsur kejelekan, kalau pun ada keburukan bukan salah cinta, tapi salah orang kenapa harus cinta yang dipermasalahkan, kenapa tidak diri kita yang disalahkan dalam menyikapi cinta itu sendiri. Sebab tangis, dan lainnya itu merupakan kemewaktuwan kita dalam melanjutkan pengembaran selanjutnya.
Kedewasaan pikiran juga dituntut untuk intervensi dalam menyikapi, kita akan terbakar kalau tidak bisa memainkan api, kita juga akan basah kalau tidak bisa memainkan air. Artinya apa, kalau kita bertindak emosional dalam menyikapi akibatnya tidak akan kemana-mana pasti kembali pada diri kita, kenapa? Karena kita belum dewasa dalam menyikapi. Berpikir kritis dan berjiwa seni kita akan luas dada kita dalam menyikapi masalah kecil.
Kalau masalah putus pacar itu hanya masalah kecil, artinya seni di sini akan menolong kita untuk melihat ke samping agar tidak bertindak anarkis dan bodoh dalam melangkah. Bagaimana kalau orang tidak mengerti seni, dan bagaimana peran seni sebenarnya? Gampang. Wong seni aja tidak repot kenapa kita harus repot. Kita tahu sifat seni itu indah, lembut, sejuk, lah, di sini sebenarnya kita menyikapi itu semua harus dengan musyawarah, dengan kesejukan bukan kemaraha, harus lembut menyikapi masalah yang menimpa kita. Tidak sulit kan?.
Suatu contoh saya punya pacar, tentunya saya memiliki cinta dan sayang, tapi cinta dan sayang saya memiliki batas dalam ruang dan waktu. Artinya selagi pacar saya itu masih menerimah keterbatasan cinta dan kesayangan saya akan tetap (tidak putus), tapi sebaliknya kalau pacar saya tidak menerima, ya kita harus terima dia dengan lapang dada, tidak lantas kita putus asa, tidak!
Lagi-lagi itu bukan salah cinta, sebab cinta berasal dari cahaya menuju cahaya kata Sholeh UG, seperti misalnya Kahlil Gibran dia memaknai cinta itu sangat seni sekali, tidak lantas dia mati bunuh diri, tapi bagaimana cinta dikelola sebaik mungkin untuk di eksplor dengan kata-kata seni.
Saya yakin kalau orang memiliki jiwa seni, korupsi, dan koruptor di Indonesia tidak akan terjadi. Sebab seni merupakan sebuah samudera yang sangat luas. Samudera di sini bukanlah lautan yang luas, tapi samudera merupakan samudera itu sendiri, artinya samudera yang ada dalam jiwa kita, karena samudera yang dalam jiwa itu tidak akan ada batasnya.
Dengan demikian, suatu yang tidak mungkin kalau kita merana dalam kata-kata, seni di sini bukan hanya miliki orang seniman, tapi setiap kita memiliki seni, lah dari itu bagaimana kita mengelola seni itu dalam diri kita.
Sekali lagi saya harapkan kepada setiap kita, jangan sampai airmata kita mengalir hanya kerena perempuan atau karena di tinggal perempuan sebab itu akan sia-sia, lebih baik kita menangis karena kita putus dari jiwa, putus dari rasa dan putus dari kata-kata.

*) Matroni el-Moezany adalah penyair tinggal di Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani