Memaknai Indonesia Dari Karl Marx

Oleh: Matroni el-Moezany*

Judul di atas saya sengaja angkat untuk membuktikan kepada Indonesia agar pemerintah tidak hanya memandang realitas itu hanya sebatas materi, tapi bagaimana melihat realitas itu dari masyarakat itu sendiri. Keadaan masyarakat, kehidupan masyarakat, dan ekonomi masyarakat.

Indonesia sebagai bangsa yang masih baru berkembang dan mau berkembang, selayaknya harus banyak membaca dan melihat dari mana akan kita remuskan atau paling tidak sudah membuat kerangka kecil untuk merubah bangsa. Artinya kita sebagai pemimpin memiliki peran penting dalam menentukan arah mana yang harus diperbaikai lebih dulu.

Contoh kecil misalnya buruh yang saat masih didengungkan oleh banyak masyarakat, terutama kaum intelektual, sungguh mengenaskan kalau kita melihat kaum buruh di Indonesia. Inilah sebenarnya yang lihat di renungkan oleh Karl Marx bahwa ketika masyarakat berada pada jurang penderitaan yang sangat panjang. Salah bentu usaha Marx adalah bagaimana memperjuangkan masyarakat tertindas, bangkit dan maju untuk mewujudkan kebebasan yang tanpa kelas.

Indonesia masih belum jelas, misalnya yang kita upah guru tidak sesuai, dan lain sebagainya. Ini kenapa? Salah faktor yang menyebabkan adalah berkurangnya manajemen struktur akal pemimpin untuk menegur pemerintah sendiri. Sehingga apa yang diperjuangan oleh Marx itu tidak sia-sia. Marx memperjuangkan itu semua hanya untuk menciptakan masyarakat yang makmur, artinya proporsionalitas dalam mengambil sikap baik dalam ekonomi maupun dalam produksi.

Reaitas sudah banyak membuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang ibu terpaksa menjadi pencari ronsok hanya dengan menjaga kelangsungan hidup keluarga, tubuh seorang anak yang kurus di Yogyakarta kekurangan gizi karena tidak pernah mimun susu formula walau pun minum paling sisa di tempat sampah, anak-anak di jalanan tidak bisa sekolah dan sederet tragedi lainnya.

Nasib ini membuat tidak peka terhadap mereka khususnya pemerintah yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri, yang tidak mampu menyelesaikan para koruptor. Ini dosa pemerintah. Kata Kik Andy. Ini sangat kontras di kala ada ibu dan anak yang terjebak pada hidup yang konsumtif. Mereka tidak tahu bagaimana “jatuh bangun” sang suami mencari uang. Di sini perlu adanya solidaritas kian layu. Padahal mereka semua adalah bagian dari tubuh kita sendiri.

Kekontrasan itu terjadi ketika anak-anak kekurangan gizi dan ibu kesulitan mencari uang untuk membeli susu anaknya. Namun, di sudut lain, pasangan pemerintah menghabiskan dana 500 juta bahkan lebih untuk pesta pernikahan politik.

Betapa sangat egois pemerintah kita. Ini sudah jelas apa yang disebutka dengan Erich Fromm, egois merupakan ciri individualistik. Egois pula yang menjadikan manusia hanya sekedar instrument dalam pandangan satu sama lain. Mereka menilai satu sama lain.

Sekarang lihat para kandidat pilkada dan kandidat presiden tiba-tiba merangkul rakyat kecil, tapi tindakan itu hanya untuk maksud egoistik si kandidat tersebut. Setelah egoistinya telah dicapai rakyat kecil lalu disisihkan. Rakyat kecil hanya sebagai instrumet untuk merengkuh kekuasaan. Betapa sangat kejam Indonesia saat ini. Itulah manusia modern, hidupnya individualis, maunya dunia untuk dirinya sendiri, bukan untuk kehidupan bersama. Masyarakat masaa merupakan gambaran tragedi manusia modern tersebut.

Setelah melihat realitas seperti di sini perlu adanya pemimpin yang memperjuangkan hak rakyat. Setidaknya bangsa Indonesia perlu untuk berkaca pada Karl Marx seorang tokoh Jerman yang memperjuangkan rakyat, untuk kepentingan bersama. Indonesia saat sudah ada yang namanya demokrasi. Dari rakyat, ada, tapi untuk rakyat sama sekali tidak ada. Seperti rakyat petani kekurangan pupuk. Belum lagi kekurangan uang untuk membeli kekucupan keluarganya.

Di sini perang Karl Marx sangat diperlukan, atau paling tidak, ada seorang yang memiliki pemikiran seperti Karl Marx dalam memperjuangkan rakyatnya. Tapi di sini bukan para politisi, bukan pemerintah atau presiden. Karena itu, mereka semua tidak mau melihat realitas yang sebenarnya. Di sini sepertinya masyarakat harus maju sendiri untuk meraih itu semua. Sebab pemerintah sudah seperti burung Merpati, artinya apa? Pemerintah bergerak ketika di usir atau di stimulus, seperti ada kebanjiran, bencana, lonsor, lumpur. Belum selesai. Pemerintah sudah diam, tanpa ada rasa iba untuk melanjutkan itu semua.

Sebenarnya yang dibutuhkan adalah sebuah alun-alun yang sangat luas untuk melihat kondisi masyarakat saat ini. Sebab, tanpa adanya kerangka seperti itu pemerintah seakan-akan hanya lelucun yang sudah berabad-abad dipermainkan oleh pemerintah. Inilah sebenarnya yang harus diperbaiki dan disadari oleh pemerintah sendiri atau dengan kata lain pemerintah harus tahu diri bahwa masyarakat saat ini masih jauh dari kecukupan baik dari kebutuhan finansial, jiwa dan kebutuhan yang lain.

Selama masyarakat belum dipandang sebagai manusia, maka untuk terhindar dari masyarakat makmur. Selama itu pula pulang hanya tinggal kenangan. Bagai rumah bergantung pada di cakrawala angan-angan, pelan-pelang tapi pasti yang akhirnya terjatuh dan memudar di Indonesia.

hp; 081703775741

Alamat: Pengok PJKA Blok K GK1/748. Demangan Gondokusuman Yogyakarta 55221.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura