Kematian Sastra Sufi

Oleh: Matroni el-Moezany*

Sengaja saya angkat tema ini, untuk membuktikan bahwa kematian bukanlah tiadanya sesuatu dari materi, melainkan ke-ada-an yang menggali akar-akar holistik dari sastra sufi itu sendiri, bahkan ke-kosong-an pun juga merupakan ke-ada-an yang eksistensial. Artinya, ketika kita membaca tema itu tidak seharusnya menjustifikasi bahwa sastra sufi mati, seperti orang meninggal dunia. Tidak! Tapi kematian merupakan keadaan yang eksistensial.

Sebenarnya sastra sufi yang berkembang di Indonesia merupakan proyek Abdul Hadi WM, Danarto, Leon Agusta, dan Sutardji Calzoum Bachri. Ini terlihat ketika mereka sepakat dengan konsep yang menjadikan tema ketuhanan dan sufisme sebagai sumber ilham dalam bersastra.

Dari sederet nama penyair Tanah Air era 1970-an, Abdul Hadi WM merupakan salah satu yang layak diperbincangkan. Pria berdarah Madura ini merupakan salah satu stimulus penggerak lahirnya puisi-puisi sufistik yang mewacanakan kedekatan manusia dengan penciptanya.

Abdul Hadi mengusung sastra sufi karena selama ini bahkan sekarang puisi-puisi sufi atau tema-tema spiritual kurang mendapat tempat yang layak dalam perkembangan sastra di Indonesia. Sedikit dari banyak orang yang melirik tema-tema spiritualitas. Padahal hal itu sangat penting untuk proporsionalitas kehidupan kesusastraan juga humanisme kemasyarakatan.

Sastra yang pada umumnya harus sensitif terhadap apa yang ada disekitarnya. Tapi dalam sastra sufi diperlukan keintiman individu dalam meramu dan merangkai kata yang terwakili simbol-simbol, dalam menulis puisi bukan hanya menggunakan perasaan, tapi juga intuisi yang objektif. Artinya, kemudian saya mengangkat tema “kematian sastra sufi” itu bukanlah saya menghilangkan sastra sufi itu, tidak! tapi keingintahuan kita untuk mencapai sastra sufi sangat penting.

Kalau Abdul Hadi biasa menggunakan bahasa yang lembut dalam karya-karyanya. "Pilihan katanya cukup sederhana namun penuh makna, sehingga ketika membaca orang langsung tahu bahwa itu karya Abdul Hadi, tapi inilah yang sangat sulit. Jadi tidak heran kalau misalnya di era sekarang ini sastra sufi bisa di kata “mati”. Kita lihat realitas sastra yang berkembang saat ini, sudah jauh dari unsur-unsur spirirual (sufi). Walau pun ada hanya sebagian sastrawan saja. Itu tidak banyak.

Kita lihat puisi-puisi yang ada di Koran atau yang sudah diterbitkan yang seirama dengan puisi yang berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat. Karya yang cukup representatif untuk menggambarkan komitmen dan orientasi estetik kepenyairan Abdul Hadi.

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti api dan panas

Aku panas dalam apimu

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti kain dan kapas

Aku kapas dalam kainmu

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap

Kini aku nyala

Pada lampu padammu

Sekilas puisi ini menampilkan kesan sederhana yaitu, kedekatan Abdul Hadi dengan penciptanya menggunakan bahasa perumpamaan. Tetapi puisi tersebut sangat rumit jika dikaitkan dengan dengan konsep tasawuf. Ini suatu contoh puisi-puisi yang berkembang pada masa itu. Seperti juga penyair-penyair yang disebutkan di atas.

Sastra sufi untuk saat ini masih jauh dalam mengeksplorasi tema. "Syair-syair yang ditulis tak semata-mata bersandar pada inspirasi melainkan melalui proses internalisasi, pencarian serta sublimasi,". Inilah yang saat ini jarang kita temui dalam proses penciptaan puisi yang bercorak sufi atau paling tidak mendekati kesufian.

Kalau Abdul Hadi mampu memadukan imajinasi dengan pengetahuan yang dimilikinya. Setiap tema yang diusung selalu diperkuat dengan riset sehingga kedalaman pesan yang ingin disampaikan sangat terasa.

Kalau HB. Jassin menyebut Abdul Hadi sebagai salah satu penyair yang mempunyai pemikiran atau latar belakang estetik yang jelas. Karena tidak menulis puisi begitu saja, asal jadi dan asal tulis. Ia menulis dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dilakukan secara rutin. Tapi sastra saat ini jauh dari itu semua. Inilah sebenarnya tugas kita untuk terus menjaga eksistensi, tentunya dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan yang lain.

Salah satu untuk membantu para calon sastrawan tentunya harus banyak membaca karya-karyanya orang lain seperti Plato, Socrates, Imam Ghazali, hingga R Tagore. Seperti Abdul Hadi untuk memuaskan rasa keingintahuannya memilih untuk meninggalkan Fakultas Sastra, dan pindah ke Fakultas Filsafat. Artinya untuk membuat karya sastra yang penuh dengan makna yang filosofis, ikutilah jejak Abdul Hadi ini. Kalau tidak terserah pada kita.

Sufistik

Tema-tema seperti sufistik ini sebenarnya bukan sesuatu hal yang asing lagi bagi percaturan dunia sastra nusantara. Sejak abad ke-16 Hamzah Fansuri telah memulainya. Namun ajaran tasawuf yang disebarkan oleh Fansuri sempat dicoba dihapus oleh Sultan Iskandar Muda, meski tak sepenuhnya berhasil karena para pengikut Fansuri berusaha mengumpulkan jejak yang ditinggalkan.

Setelah Fansuri tiada, rasa sufistik dirasakan melalui karya-karya Amir Hamzah. Meski kemudian tidak terlalu kentara karena ditelikung polemik kebudayaan tentang pemikiran Barat yang diusung oleh Sutan Takdir Alisjabana dan pemikiran Timur yang disuarakan oleh Sanusi Pane ini juga mempengaruhi perkembangan sufi di Indonesia. Ini sangat jelas ketika Sutardji Calzoum Bachri mengatakan, polemik kebudayaan tersebut berlanjut hingga Indonesia merdeka. "Polemik itu dimenangkan oleh Takdir dan kawan-kawan, ketika itu keberadaan sastra sufistik pun mulai memudar.

Kalau kemenangan kelompok yang mengusung pemikiran Barat bukan diperoleh dengan logika maupun perdebatan, melainkan melalui karya. "Polemik dalam sastra harus dibuktikan dengan karya. Kata Sutardji. Sekitar tahun 1970-an perkembangan sastra Tanah Air mulai berbalik arah. Perdebatan serta wacana konseptual mengenai kesusastraan kembali kencang berembus. "Saat itu semangat kembali ke akar, kembali ke sumber, tengah gencar dielu-elukan. Ketika itu para sastrawan giat menggali nilai-nilai yang dekat serta akrab dengan mereka, entah itu kesukuan maupun religiusitas.

Harapan penulis adalah bagaimana memiliki gerakan sufistik yang berorientasi aktivitas para penyair untuk mencari nilai-nilai religiusitas yang lebih mendalam. Dalam hal itu sastra religius dan sufistik ada kesamaan, yaitu pendekatan diri dengan yang maha kuasa dengan caranya masing-masing.

Dan juga sastra sufisme berkembang seirama dengan berkembangnya budaya universal dari segi peradaban, kebudayaan, serta estetika dan bukan sekadar dogma agama saja. Karena sastra sufi sangat holistik-univearsal.


Contact; 081703775741

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani