Berkurannya Kepecayaan Kepada Indonesia

Oleh: Matroni el-Moezany*

Saya tidak percaya siapa pun mereka yang akan menjadi presiden di Indonesia, karena mereka tetap tidak respek terhadap masyarakat, tapi apalah daya sejak dulu Indonesia sudah memiliki sistem ke-presiden seperti itu. Ya, kita harus hidup di bawah pemimpin atau presiden walau pun presiden itu tidak becus, tidak mendengar, alias tuli terhadap kata-kata rakyatnya sendiri. Malah bangga dengan Amerika karena yang menjadi presiden pernah sekolah di Indonesia, terus apa hubungannya dia dengan Indonesia sebagai bangsa demokrasi, katanya.

Sekarang ketua partai sudah banyak yang berkeliaran, berdialok di TV, mereka saling mengadu argumen untuk memajukan Indonesia ke depan, padahal saya yakin itu hanya sebatas kata-kata kosong, menjual muka manis untuk meminpin Indonesia. Dan mereka dalam menampakannya begitu sangat peduli dan manis sekali terhadap anak-anak terlantar, masyarakat miskin, dan masyarakat-masyarakat yang lain. Tapi saya yakin itu hanya tipu daya agar masyarakat percaya dan mereka (para kandidat presiden dan wakilnya dan aparat bangsa) setelah menjadi apa yang diinginkan dia lebih memiliki peran atau mementingkan diri sendiri daripada masyarakat luas. Sungguh Indonesia penuh dengan wajah-wajah penghianat. Penghianat pada bangsa dan penghianat pada masyarakat.

Sekarang mereka berloma-lomba untuk menarik simpati masyarakat untuk percaya kepada kandidat, tapi apa yang terjadi sebenarnya, mereka semua pendusta, penghianat. Semua penghianat dari menteri dan kebenit-kabenitnya. Saya yakin 100% kalau Indonesia masih seperti itu, maka bangsa tidak akan keluar dari derita kekurangan, kemisikinan dan lahirnya bayi-bayi koruptor serta akhirnya masuk perguruan tinggi Universitas Koruptor Indonesia (UKI) dan lulusannya menjadi sarjana koruptor tersukses di dunia. Apa ini yang diinginkan bangsa Indonesia? Tentunya tidak bukan, tapi kenapa selelu demikian bangsa kita?

Dalam hal ini masihkah sebagai masyarakat Indonesia kita percaya kepada bandit-bandit berdasi yang hanya menjual kata-kata kosong. Janji-janji kosong. Semuanya kosong. Mereka nantinya akan menjual kita dan bangsa kita, dan sebagai taruhan akibatnya adakah masyarakat sendiri. Inilah realitas presiden kita saat ini bahkan nanti. Setelah menjadi presiden bukan memakmurkan rakyat, tapi sebaliknya, menyusahkan rakyat. Dan mereka (para aparat) tidak peduli apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sungguh tidak ada keadilan di Indonesia.

Contoh ketidakadilan aparat Indonesia adalah pada hari Jum’at siang tanggal 11 Juli 2008 bis Sumber Kencono nabrak Tentara (TNI) di Ngawi, dan kebetulan salah dari sekian banyak adalah saya, masa’ bis satu yang nabrak TNI semua bis kencono tidak ber-operasi. Semua bis Sumber Kencono. Akhirnya semua penumpang bis tersebut di turunkan di Ngawi. Bahkan polisi ikut berperan untuk tidak memperbolehkan bis tersebut tidak beroperasi pada saat itu. inilah kejadian ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Tapi bukan hanya itu masih banyak yang lain.

Melihat itu semua masihkah kita percaya kepada pemimpin bangsa? Mereka sudah jelas-jelas mementingkan diri sendiri dari pada ber-ribu penumpang sementara ada keburu untuk mengejar bisnis ada yang di tunggu keluarganya, tapi mereka tidak peduli yang penting adalah semua bis tersebut tidak boleh ber-operasi. Tidak memikirkan bahwa penumpang lebih penting.

Andai saja Indonesia mulai sejak dulu mementingkan bahasa mayoritas dari bahasa monolitas, saya percaya bahwa masyarakat Indonesia tidak akan mengalami krisis ekonomi, krisis etika, krisis keadilan, dan krisis ke-tuli-an. Jadi tidak heran kalau Indonesia tidak selesai-selesai dari keterkungkungan tersebut. Indonesia saat ini memalukan, memalukan sekali.

*Matroni el-Moezany, menulis esai sastra dan budaya, puisi, resensi, opini, mahasiswa Fakultas Ushuliddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hp. 081703775741

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura