Tergesernya Nilai Kesusastraan Kita

Oleh: Matroni el-Moezany*

Dalam wacana kesusastraan, tentunya kita banyak tahu bagaimana dan seperti apa sastra dalam menyikapi realitas sosial. Sehingga sekarang yang terlihat hanya sebatas menulis tanpa ada pertimbangan kemana arah sastra kita ke depan.
Saya kira, sastra pada mulanya lahir sebagai protes terhadap kecenderungan pada hedonisme dan materialisme yang meluas dalam masyarakat, terutama yang tinggal di kota-kota besar yang merupakan pusat kegiatan politik dan perdagangan ketika itu. Tetapi lambat laun, dengan berjalannya waktu dan keterlibatan para sastrawannya dalam berbagai pemikiran keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan, wacana pengetahuan dan pemikiran mereka juga meluas merangkumi berbagai aspek persoalan keagamaan dan sosial budaya.
Inilah sebenarnya yang penulis maksud tergeser, sebab sastra yang selama ini masih berkutat pada ranah romantisme belaka, memori-memori belaka. Kalau kita melirik sedikit pada sejarah bahwa peranan penting mereka ini tidak hanya dapat dilihat dalam sejarah kesusastraan Arab dan Persia, tetapi juga dalam sejarah kesusastraan Turki Usmani, Melayu, Urdu, Sindhi, Swahili, dan lain-lain. Inilah narasi besar sastra Indonesia sampai saat ini, tapi sayangnya substansi itu sekarang mulai tergeser dari tempat yang semula berada dalam ruang yang banyak masyarakat mengerti dan tahu, kini hanya sebatas mencicipi bahkan sudah tidak mau lagi terhadap nilai sastra itu sendiri.
Sastra sebagai sarana untuk memperjuangkan bangsa dari serangan hedonisme, materialistik, kapitalistik, modernitas, kini sastra kita sudah tidak jelas lagi, misalnya di lihat dari penulisan puisi akhir-akhir ini, dikatakan mengritisi tidak, apa ini disebabkan karena ada Gaya baru yang mempengaruhi produktivitas mereka sehingga mereka kurang begitu suka menulis realitas sosial yang terjadi saat ini.
Apakah realitas ini diperuntukkan kepada penulis esai dan opini, sehingga penulis puisi tidak memiliki ruang untuk berekpresi dalam menyikapi fenomena realitas ini, sungguh memalukan ketika para penulis puisi tidak memiliki ruang untuk menulis fenomena masyarakat, sebab yang saya ingingkan bagaiman sastra (khsusunya puisi) bisa membumi, artinya ketika masyarakat atau publik membaca puisi bisa "ngeri" sebab puisi lebih sensitif daripada esai dan opini.
Puisi kan penuh denga simbol, bagaimana orang bisa memahami? Simbol-simbol tersebut kita ambil dari kitab suci, teks keagamaan, sejarah agama, pristiwa-peristiwa sejarah, budaya, cerita rakyat yang kita kenal. Sebab inilah bahasa sastra yang selama ini membumi di masyarakat Indonesia.
Kalau boleh saya berkaca pada sastra sufi, di tengah suasana kehidupan yang dipenuhi dengan krisis dan keputusasaan, serta ancaman internal dan eksternal itulah karya-karya profgetik sufi seperti Imam al-Ghazali, `Attar, Rumi, Ibn`Arabi, dilahirkan. Melalui karya-karyanya itu mereka membangkitkan apa yang sekarang dapat disebut sebagai Teologi Harapan. Jika masyarakat sudah lagi mempercayai institusi sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, dan agama, kepada siapa lagi dia harus berharap kecuali pada Tuhan dan dirinya sendiri. Cinta Ilahi atau cinta transendental yang diajarkan sufi lahir sebagai upaya membangunkan kembali harapan yang telah redup dalam jiwa manusia. Manusia harus diyakinkan bahwa keadilan Tuhan dan pertolongan-Nya masih mungkin jika manusia berusaha keras dan mampu membangun cita-cita bagi masa depannya yang lebih baik.
Cinta, keadilan, kecerdasan, perdamaian, solidaritas, dan sosial, yang didambakan sepanjang abad bukan sekadar masalah sosial, tetapi juga masalah sastra. Tapi sekarang dimana sastra itu tersembunyi? Apakah dia sudah ikut arus modernitas sehingga tidak mampu lagi untuk bangkit menemani perjalanan kita, atua karena kita sudah enak menikmati itu semua, sehingga lupa ada nilai dibalik kata sastra yang melihar realitas.
Indonesia sudah berapa tahun menderita, tapi apakah peran sastra dalam hal ini tidak ada? Sungguh disayangakan kalau begitu. Padahal dasar awal sejarah kesusastraan tidak terlepas dari fenomena sosial, artinya sastra yang berkembang pada waktu itu sangatlah dipenuhi dengan realitas sosial yang terjadi di tempat tertentu. Inilah yang sekarang sudah tergeser dari tempat semula.
Dengan demikian, kita perlu menyimak arti kehidupan, sepertinya penulis-penulis puisi sudah enggan menulisnya, entah ini karena pengaruh dari modernisasi atau karena mereka sudah memiliki jalan lain yang jauh dari realitas.
Hubungan Puisi dengan Pemikiran
Di sini perlu adanya hubungan antara puisi, perenungan, dan pemikiran kemudian digambarkan Wellek adalah, puisi dilihat sebagai bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Kebenaran sastra (puisi) merupakan filsafat dalam bentuk konseptual sistematis dari luar bidang sastra yang diwujudkan dalam bentuk sastra. Artinya, kebenaran sastra nampaknya merupakan kebenaran dalam sastra.
Terlepas dari penilaian tinggi-rendahnya sebuah karya puisi yang berdasarkan muatan filsafat, filsafat dan pemikiran dalam konteks tertentu dalam puisi akan menambah nilai artistik karya sastra karena mendukung beberapa nilai artistik penting, seperti kompleksitas dan koherensi. Dalam rentang sastra Indonesia, puisi yang bercorak filsafat menunjukkan kadar sastrawi tersendiri, walaupun dituangkan dalam semacam aforisma, alusi, impresi, ataupun pemikiran filosofi secara langsung. Iwan Simatupang misalnya, yang terlihat menganut filsafat eksistensialisme, paling tidak ia mengetahui garis besar ajaran fisafat tersebut.
Di zaman Romantik, puisi dan filsafat teramat dekat. Pada saat itu Hegel, Fichte, Schelling hidup bersama dengan penyair. Penyair Coleridge sebagai murid Kant dan Schelling banyak menguraikan pemikiran kedua gurunya. Meskipun puisi-puisinya tidak terlalu mencerminkan pemikiran filsafatnya, tetapi ia turut menyebarkan Neoplatonisme ke dalam tradisi puisi Inggris. Dalam konteks tersebut, puisi dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat, karena sejarah sastra (puisi) sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.
Dengan tidak bermaksud menghubung-hubungkan antara puisi, romantisisme, dan filsafat, secara sepintas terlihat ketiganya merupakan kesatuan terpisah dalam jalur otonom masing-masing. Akan tetapi di antara puisi, romantisisme, dan filsafat ternyata menyimpan cinta (philo), rasa, pikir, metafor, dan dunia ideal yang menandakan ciri kesamaan.
Dalam puisi, apa yang diidealkan bertolak dari keberpihakan penyair kepada dunia di sekitarnya. Puisi sebagai salah satu jenis karya sastra ditulis penyair untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan. Kebermanfaatannya berangkat dari realitas masyarakat yang telah memiliki konvensi, pandangan, estetika, falsafah, religi, tujuan berseni. Tidak terlepas dari pendapat Teew bahwa karya sastra (puisi) tidak lahir dari kekosongan budaya. Maksud dan tujuan penyair dalam hubungannya dengan kebermanfaatan puisi dapat berupa nilai-nilai, misalnya nilai keindahan dan pandangan hidup.
Nilai keindahan yang ditekankan dalam karya seni (puisi) tidak lain adalah apa yang disebut Ricards sebagai feeling, sense of art. Dengan perasaan, lambang, dan keindahan, puisi diharapkan mampu menyentuh batin dan hati manusia, sehingga nilai lain selain nilai keindahan dapat ditangkap oleh pembacanya. Tantangan menarik puisi sebagai luapan perasaan, barangkali ketika puisi bekerja dalam ranah imajinasi, pikiran, renungan, dan persepsi-persepsi penyair.
Sebagai contoh adalah proses penciptaan puisi. Puisi tidak serta-merta ditulis penyair ketika perasaannya menyentuh objek tulis. Pada saat momen puitik menyergap, maka terlebih dahulu terjadi proses penangkapan (preparasi), objek puitik kemudian diolah melalui pengendapan (inkubasi) yang dipikirkan-direnungkan, setelah itu dituangkan dalam bentuk larik-larik sajak (iluminasi), dan terakhir adalah pengolahan kembali (verifikasi) dan revisi. Proses penciptaan ini tentu melewati tahap pengonsepan. Pada tahap ini, penyair berpikir dan merenung mengolah objek agar nanti menghasilkan puisi yang estetik, sastrawi, dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Di sinilah ruang pikir dan renung itu ada.
Puisi sebagai pengungkapan dan pencurahan isi (uttering forth), ia menyajikan suasana batin yang bersumber dari budi manusia. Ketika Richards membagi puisi dalam kesatuan makna/tema (sense), rasa (feeling), nada/sikap (tone), dan amanat (intention), maka di sana tergambar bahwa pengelompokan tersebut berdasarkan dua unsur, yaitu unsur perasaan (tema dan rasa) dan unsur pandangan penyair (nada dan amanat). Itulah, mengapa puisi kemudian disebut sebagai cara yang ‘indah’ untuk mendendangkan ‘pikiran’.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura