Marapu, Upaya Menghormati Leluhur

Oleh: Matroni el-Moezany*

Sumba adalah sebuah pulau yang masih sangat "virgin", keramah-tamahan penduduknya dan adatnya yang sangat kuat, juga keindahan alamnya yang masih asli, salah satunya adalah keindahan ombak pantai Kalalla yang ada di Waijelu kabupaten Sumba Timur. Ombak disana terkenal karena tujuh tingkatnya, dan menjadi salah satu tempat favorit bagi para pesurfing baik yang pro maupun yunior yang berlibur ke pulau sumba.
Pulau Sumba, dikenal juga dengan julukan Pulau Sandle Wood, jelmaan Kuda yang terkenal di manca negara. Memiliki potensi alam gunung dan lembah, laut dan pantai serta kultur budaya yang unik.
Sumba, tidak hanya hamparan padang ilalang, kuda yang tangguh dan cendana, melainkan juga warna beragam budaya yang sangat kaya. Ketika cendana mulai kehilangan akarnya, kepercayaan marapu masih hidup di tengah hiruk-pikuk zaman.
Belum lama ini seorang tokoh masyarakat Rindi, yang juga keturunan Raja, Umbu Hapu Hamandima, meninggal dunia. Jenazahnya masih disimpan, ditekuk seperti janin dalam kandungan, dibungkus hinggi atau kain tenun berlapis-lapis seperti mumi, fungsinya adalah sebagai pengawet dan juga menghilangkan bau dari mayat karena bahan pembuat kain tersebut dari bahan alami, dan menunggu waktu sesuai dengan kepercayaan Marapu. Jenazah itu akan dikebumikan. Sebuah upacara besar dan spektakuler pun telah terbayang pada sebuah hari yang sarat muatan ritual.
Itulah tradisi masyarakat keturunan raja di Desa Rindi, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur. Pada sebuah kawasan yang dihuni keturunan raja, terdapat pekuburan yang cukup terkenal karena keunikannya, baik dari bentuk nisan maupun tata cara pemakamannya.
Pekuburan megalitik berukuran besar itu menyerupai rumah dalam bentuk yang sangat unik dan khas. Tiang-tiangnya dicor atau menggunakan batu gunung, atapnya menggunakan batu marmer yang di atasnya dihiasi patung dengan berbagai simbol penyerta. Kubur-kubur batu besar tersebut dihiasi penji reti, atau batu pahatan tiang nisan, yang memaknakan status sosial jenazah yang terkubur di dalamnya.
Pemakaman dengan cara menekuk jenazah itu ternyata memiliki filosofi tersendiri. Masyarakat Rindi memahami bahwa ketika masih berada di dalam rahim ibunya dalam bentuk janin, kondisi mereka seperti itu. Karenanya, sekembalinya kepada Yang Kuasa, hal serupa pun dilakukan. "Masyarakat marapu khususnya memahami bahwa masih ada kehidupan setelah kematian," Adalah salah besar kalau ada asumsi yang mengatakan masyarakat marapu tidak melihat konteks kematian itu sebagai bagian dari kehidupannya kelak.
Dalam konsep marapu, tidak seorang pun dapat berkomunikasi dengan Tuhan tanpa melalui perantara roh nenek moyang atau marapu. Sang Khalik yang disebut Mawulu Tau Maji Tau atau sama dengan sang pencipta manusia digambarkan sebagai perempuan dan laki-laki, yakni Ina (ibu) dan Pakawurungu dan Ama (bapak) atau ibu bapak jagat raya yang memberi kesuburan dan kesejahteraan di atas bumi. Sebagaimana konsep dewa-dewi, marapu juga terdiri atas roh orang mati atau arwah yang disebut marapu tau meti dan roh yang tidak berasal dari arwah nenek moyang atau marapu tau luri.
Kondisi pemakaman tersebut setidaknya sudah berlangsung setengah abad lebih ketika Raja Umbu Yawang meninggal dunia, atau mungkin berabad-abad lampau. Itulah yang kemudian dilanjutkan hingga sekarang di lingkungan Pray Yawang Desa Rindi. Kala itu, para hamba raja pun dimakamkan seperti itu. Perbedaannya, pada tiap tokoh yang meninggal dunia, ada ciri-ciri yang nampak dituangkan di atas nisan tersebut antara lain diberinya simbol patung binatang seperti buaya, penyu, dan kakatua.
Simbol binatang itu memberi pengertian tersendiri. Buaya misalnya merupakan lambang kebangsawanan Sumba. Artinya, pemimpin harus mengayomi rakyatnya, simpatik dan tidak emosional. Simbol tersebut menjadi pengingat pesan kepada raja mereka yang cukup besar pada masa itu. Sedangkan ada pula simbol kakatua putih yang menjadi lambang bahwa orang Sumba itu merupakan pengamat yang baik, berwawasan luas dalam berpikir dan sepakat dalam musyawarah.

Upacara Penguburan
Peristiwa yang sangat spektakuler dalam tradisi marapu adalah penguburan. Pasalnya, jarak antara kematian seseorang dan proses penguburannya menelan waktu yang sangat lama bahkan hingga bertahun-tahun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya biaya yang dibutuhkan dalam proses tersebut seperti persiapan binatang kurban. Bagi pemeluk kepercayaan marapu, esensi dalam soal ini adalah sebagai pengantar perjalanan seseorang menuju kebahagiaan setelah mati, sehingga diperlukan langkah meluaskan arwah ke Parai Marapu. Parai Marapu menjadi tujuan dengan bantuan roh leluhur.
Ukuran kemewahan dalam upacara tersebut sangat erat kaitannya dengan status sosial yang meninggal dunia, sehingga kerabat, handaitaulan, sahabat dan rekanan kerja semasa hidupnya akan menjadi "penentu" dalam soal anggaran yang dipergunakan. Nah, dalam mengundang mereka, tidak dipergunakan lewat surat, melainkan menggunakan duta atau wunang. Kegotongroyongan pun nampak ketika ratusan warga masyarakat membangun kuburan dengan batu besar yang ditarik dari gunung. Mereka mengerahkan segenap tenaga.
Dalam kehidupan masyarakat Sumba dikenal strata sosial yang terdiri atas ratu atau pemimpin spiritual, golongan maramba masing-masing maramba bokulu (ningrat besar) dan maramba kudu (ningrat kecil). Golongan ini memakai nama Umbu untuk pria dan Rambu untuk wanita. Apakah mereka tergolong maramba bokulu atau maramba kudu tergantung dari pengaruhnya. Sedangkan golongan ketiga adalah kabihu atau orang merdeka yang menjadi pendukung golongan maramba, dan keempat adalah golongan ata atau kelompok hamba sahaya, semacam budak belian pada zaman dahulu dan disebut "orang-orang rumah" sekarang.
Pada hari penguburan, seorang maramba akan sangat membutuhkan golongan ata, karena ata ini akan menjadi pengiringnya ketika menuju peristirahatan yang terakhir. Mereka dalam jumlah tertentu dipilih berdasarkan seleksi sebagai papanggangu. Mereka disucikan, didandani dengan pekaian terbaik lengkap dengan perhiasan, karena akan menjadi mediator sang arwah. Sebagai mediator papanggangu tersebut akan menyampaikan permintaan terakhir sang arwah. Jimat yang dari emas dan berbagai sarana untuk berkomunikasi dengan marapu disebut tunggu marapu atau persembahan kepada Sang Marapu, sedangkan yang akan mendoakan (hamayang) disebut Ratu atau Mahamayang (yang sembahyang).
Saat jenazah dibawa ke kubur, pada saat yang sama dilakukan penyembelihan hewan seperti kerbau dan kuda sebagai kurban. Posisi papanggangu tidak diperkenankan menginjak tanah, sehingga dibopong menuju kuda yang didandani sedemikian rupa menuju pekuburan. Hamba kesayangan biasanya turut serta dan berdiam diri di atas batu kubur hingga upacara berakhir.
Penyembelihan hewan kurban dilakukan lagi pada saat penutupan, disertai sembahyang oleh marapu dengan menyembelih anak ayam. Apa yang akan dialami keluarga yang ditinggalkan, biasa dibaca dalam pancreas anak ayam tersebut. Sedangkan ayam mati dibakar sebagai pelengkap sesaji.
Terdapat 40 persen penduduk Sumba yang merupakan penganut marapu. Pekuburan dengan memposisikan jenazah seperti janin dalam kandungan tidak hanya terdapat di lingkungan Pray Yawang, melainkan sudah pula ditemukan pada situs di Melolo. Di sana, ditemukan situs di mana mayat-mayat dimasukkan ke dalam tempayan besar dalam posisi menyerupai janin dalam rahim ibunya.
Tata cara penguburan antara golongan masyarakat marapu tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya terletak pada besar kecilnya acara tersebut dilakukan. Seiring dengan masuknya agama-agama lain di Sumba, kepercayaan itu masih ada. Bahkan salah seorang keturunan raja, Umbu Hina Kapita , mengatakan tetap menjalankan kepercayaan marapu. "Saya tetap marapu sampai sekarang,".

*Penulis adalah pemerhari masalah kebudayaan. Tinggal di Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura