inilah Malioboro yang banyak menghasilkan Penyair. dan kini ia hanya terlihat seperti sunyi yang terkata pada semesta, mungkinkah ada rasa terluang untuk kita sampaikan pada diri dia,
Esai ini lahir refleksi kemerdekaan yang diadakan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Gapura. Acara yang dikemas dengan semacam seminar yang di isi oleh Dr. Iskandar Zulkarnai, Kiai Halimy dan ibu Raudhatun, esai ini semacam sharing bersama untuk konteks kecamatan Gapura dengan satu pertanyaan “apakah masyarakat Gapura sudah Merdeka?, ada kemungkinan pertanyaan ini di daerah lain. Apakah Gapura sudah merdeka secara ekonomi? Di Gapura ada enam (6) swalayan, dua swalayan Nusa Umat yang disingkat NU, ada Migi Mart, el-Maimon, Basmalah, dan Indormart. Di Gapura ada dua NU yang pertama BMT NU (Nusa Ummat) yang berideologi Kapitalis (Marx) dan kedua NU (Nahdlatul Ulama) yang ideologinya keummatan, kebangsaan, keagamaan, kerakyatan. Dua NU ini sama-sama kuat, meskipun faktanya justeru Nuansa Umat (NU) yang lebih “kuat” Nadhlatul Ulama (NU) itu sendiri. Pertanyaanya adalah apakah dengan enam swalayan dan BMT Pusat Nuansa umat (NU) perekonomean masyarakat Gapura lebih baik? Hal perekonomea
Oleh: Matroni Muserang* Indonesia yang semua penduduknya bergantung pada pertanian atau kehidupan orang-orang yang ada didalamnya pun bergantung pada pertanian. Dan Indonesia mengklaim sebagai negara agraris, sebuah negara yang perutnya bergantung pada sector pertanian. Tapi akhir ini justeru petani “dipermainkan” mulai dari pupuk misalnya belum lagi ada tren penurunan produksi pagi (baca jawa pos, Ancaman Bernama Ketahanan Pangan, 16/03/2023,hal.4). Tapi tulisan ini bukan mau menanggapi berita itu, tapi kita sampai sekarang belum menyadari bahwa krisis lingkungan sudah berada di titik puncak yang mengerikan. Tulisan akan memberikan data-data penelitian yang dilakukan agama Kristen, mengapa tidak agama Islam padahal saya orang Islam, karena Islam belum respek terkait dengan isu lingkungan sementara Kristen sudah sejak tahun lama peduli dengan isu lingkungan, misalnya 2.400 pendeta dan 1.600 anggota jemaat dari gereja-gereja di Amerika Serikat. Hal ini kelanjutkan dari isu yan
Oleh: Matroni el-Moezany* Banyak seni Indonesia yang kurang perhatian dari pemerintah seperti tari di Indonesia yang kurang diperhatikan oleh kita sendiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia, padahal dengan seni tari kita bisa menikmati dan memaknai bentuk dan lengkungan tari itu sebagai refleksitas kehidupana sehari-hari. Dan saat ini gerakan tari perlu dialog yang universal. Sebagai bukti, setiap orang dapat menikmati tarian yang berasal dari negara mana pun. Tidak hanya terhadap penonton, dialog dalam dunia tari pun bisa dilakukan antara gerakan-gerakan dari daerah yang berbeda. Sebenarnya kita tidak harus berkaca kepada Negara lain untuk menemukan tari yang sarat spiritualitas, banyak tari Indonesia yang mengandung makna filosofis seperti tari Bali, tari Jawa, dan tari-tari yang lainnya. Tapi mengapa kita harus menunggu seni tari dari luar untuk dijadikan referensi? Kalau kita masih ingat kesadaran sejarah bahwa karya tari klasik kerap dipadukan dari gabungan berbagai tari yang me
Komentar