Lebaran Di Kota Harapan

Lebaran Di Kota HarapanOleh: Rony Dwi Lestari ST*
Hatiku tiba-tiba bimbang dan hilang tujuan. Hari-hariku dalam perjalanan pulang ke kampung halamanku kali ini, entah kenapa, bagaikan terombang-ambing oleh ombak yang menorehkan panggilan jiwa, bagaikan menyingkap langit menjadi kemerahan. Sementara itu, jalanan menuju pulang, sungguh lenggang seperti perjalanan lebaran di kota harapan yang ingin kuharapkan. Padahal, lebaran belum tiba. Bahkan bus yang menjengkelkan yang membawaku pulang menuju kota harapan itu belum melaju melintasi kota-kota dan hutan-hutan yang membosankan. Sekarang, aku ingin pulang. Tapi, mana kota harapanku itu. Hatiku masih bimbang dan hilag tujuan. Meskipun pagi tak lagi berkabut ketika aku akan memasuki sebuah bus dan kota, yang tak lama kemudian berhenti di sebuah terminal. Akankah aku turun ataukah aku harus turan untuk pindah bus lagi, untuk meneruskan ke kota dan cintaku yang juga harapanku atau aku cukup ke kampung halamanku. Jika aku turun di kotaku pertama, aku tak bisa berlama-lama singgah. Aku harus bergegas mencari bus jurusan ke kota dan cintaku. Tapi, akankah aku kesana, dan mungkin bisakah. Aku tak tahu harus ke mana lagi melangkahkan kaki di bawah cahaya matahari yang semakin menampakkan wajahnya di sebuah kota pendidikan ini. Aku harus pulang ke rumah. Tapi ke mana? Aku benar-benar sudah bingung dan linglung. Sebab, kota ini telah menjebakku dalam alur ingatan pulangku. Tetapi, aku tahu dengan pasti, aku harus pulang. Hari ini aku sudah berada di terminal. Bau solar dan bensin sudah menempel menyeruak tak karuan. Belum lagi, muka kusam dan bau badanku. Akhirnya, di tengah gundah gulana itu aku sudah tahu ke mana aku harus pulang duluan, tentunya setelah bertanya pada seseorang. ``Pak, di manakah pangkalan bus jurusan kota ujung?`` ``di sebelah timur nak, tentunya yang paling ujung juga``, sahut bapaknya.Aku menyusuri lorong terminal. Setelah melewati toko-toko berderet, akhirnya kutemukan bus yang sudah siap berangkat ke kota tujuan dan cintaku. Seperti biasa, aku naik dan duduk di belakang sopir. Tak lama kemudian, bus berangkat meskipun baru segelintir orang. Memang, sini, aku berangkat dari kota paling ujung dan berhenti di kota paling ujung juga. Aku begitu terkejut di Bus, ketika pak Kondektur bertanya padaku aku akan pergi kemana, tiba-tiba Hpku bunyi, dan ternyata adikku menelphon. ``Mbak, sudah nyampek mana, aku dah kangen banget sama kamu mbak``. Suara adikku semakin membuatku bimbang, dan ketika aku ditanya pak kondektur, kujawab dengan ragu-ragu, ``tidak tahu Pak, kemana tujuanku``. Denga serentak kondektur menyuruhku turun,`` kamu itu gimana, cantik-cantik kok gila, turun``. Dengan kesal aku berdiri dari tempat dudukku. Juga ditikam rasa malu karena beribu mata penumpang tertuju ke arahku. Bus berhenti di tengah kota itu, aku terpaksa turun. Hatiku masih hilang tujuan. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Akhirnya, ku duduk di bawah pohon rindang di tepi jalan.Matahari dengan cerah menampakkan wajahnya, sementara ramai kendaraan lalu-lalang masih belum bisa menunjukkan langkahku, karena hati dan kedua mataku telah dibuyarkan oleh panggilan-panggilan orang di kampung halaman, pikiranku dibuat linglung oleh keadaan. Setiap hari, aku selalu menerima telephon dari kampung. Aku ditelphon oleh adikku yang sekarang sudah duduk di kelas 1 MTS, yang memintaku untuk pulang karena ibu, bapak, dan kakakku sudah kangen setelah dua bulan aku belum pulang. Biasanya aku memang pulang setiap bulan. Selain itu, adikku yang paling kecil (4 tahun) ikut juga telphon dan minta untuk dibelikan baju dan jajan. Dan aku bilang, ``ya, semuanya pasti dibelikan baju sama kakak``. Tapi, ibu memintaku untuk tidak beli-beli baju, uangnya disisihkan atau disimpan dulu, alasannya mereka sudah punya baju yang masih baru. Suara adikku yang paling kecil terus mengiang-ngiang di dalam ingatanku, ``mbak pulang, aku kangen``. Di samping itu, aku juga mendapat telphon dari kedua orang tuaku, yang sebenarnya mereka itu bukanlah orang tua yang melahirkanku. Tapi, mereka sangat berarti dan sama seperti kedua orang tuaku, dan memang kuanggap orang tuaku. Aku masih duduk tercengang di bawah pohon rindang di tepi jalan. Hari hampir gelap dan senja hampir berlalu meningglkan jejak cahaya berkilau di penghujung Ramadhan di kota pendidikan. Tetapi, aku justru terdampar di sebuah kota sebelum sampai di kota harapanku. Aku masih linglung. Aku membanyangkan di kampung kelahiranku, kedua orang tuaku, adik-adikku, dan juga kakakku menunggu kedatanganku. Sementara, aku juga membayangkan ibu angkatku dan adik-adikku juga menunggu di depan pintu. Tapi, kemana aku akan pulang. Aku ternyata belum tampak di depan pintu.Aku tahu kalau aku tak mungkin bisa pulang saat itu. Saat itu aku merasa tubuhku lemas dalam sebuah perjalanan yang belum kesampaian. Tak lama kemudian, adzan pun bergemang. Dengan gemetar dan mata lusuh kuterdiam, ``astaghfirullah, dompetku, dompetku hilang``. Tapi entah kenapa, aku justru merasakan ada kedamaian yang terpancar dari langit saat hati dan mataku yang sudah hilang tujuan, tiba-tiba melihat seberkas cahaya jingga di cakrawala sana. Aku mulai bisa melihat keramaian kota. Senja akhirnya meninggalkanku, dan selimpangan orang berjalan seperti di kejar waktu. Seolah tak ingin ketinggalan dengan apa yang akan diraih. Mobil-mobil melintas di jalanan, dan lalu lalang oang seperti sibuk dengan pikiran dan urusanya sendiri. Dan itulah aku dan kau, tiada mempedulikan yang lain. Kutatap matahari untuk terakhir kalinya di bulan Ramadhan di kota pendidika ini. Aku menatap dengan mata telanjang. Silau, karena sinar kemerahan menelusup dalam kelopak mataku, merengguk sedih dari peta kebingungan yang menunggu kepulanganku. Aku tak tahu, hatiku hancur dan tiba-tiba air mata keluar, harapanku sudah pupus untuk sampai ke kota tujuan, ``uangku hilang`` Selintas anak kecil berlalu di hadapanku dan tidak lama, seorang lagi mengikuti. Keduanya berkejaran dalam remang senja ketika sinar matahari yang terbenam itu memandikan tubuhku yang kumuh penuh dengan debu.Tetapi, ketika kutatap mereka berdua itulah, kutemukan kedamaian kembali. Aku tak tahu, kenapa sinar dari kedua mata anak itu menyobek ingatanku. Kedua anak itu anak jalanan yang tidak punya rumah. Di sini, untunglah aku masih punya rumah untuk pulang, meskipun belum kesampaian karena kebingungan dan kehilangan uang. Aku tak tahu, apakah uangku di copet atau memang terjatuh di bus menuju terminal. Dari jejak-jejak langkah kaki kedua anak itu, kuikuti edar pandangan mataku yang kemudian berhenti pada sekelopok orang yang tampah lusuh sedang duduk-duduk santai di depan gedung tua sebelah timur tempatku berteduh. Kutatap mereka dengan mata nanar. Hampir semua berpakaian lusuh. Ya, mereka anak jalanan, mereka pengamen. Tapi, ketika tatapan mataku lekat menapat mereka, ada setitik cerah lagi yang kutangkap. Ya, semua ini pasti ada hikmahnya. Aku lari cegan cepat bergegas mengikuti bus-bus kota yang menuju di kota harapanku. Aku naik meskipun tidak punya uang. Aku kaget, ternyata bus yang kuaniki adalah yang tadi. Dengan pedenya aku bilang sama pak sopir dan pak kondektur, ``numpang ngamen pak, untuk ongkos perjalanan pulang``. ``iya nak, ini mungkin sudah jalan Tuhan, kita dipertemukan di bus sini, bapak minta maaf, saya kira kamu orang gila, ternyata dompetmu to yang hilang`` sahut kondekturnya. Sesampai lampu merah aku turun dan naik ke bus yang beda lagi. Di sini aku senang dan menemukan pencerahan. Aku dengan terpaksa harus ke kampung harapanku, dan itu adlah kampung kelahiranku. Aku berkata``terima kasih Tuhan, Engkau telah memberi jalan dari kebingungan ini dan mengantarkan ke kota kelahiranku``. Dan akhirnya aku sampai di terminal. Aku tercengang, dan berterima kasih kepada Tuhan, karena dengan uang itu aku bisa melanjutkan perjalanan pulang dan keluar dari kebingungan. Di langit, subuh kulihat merekah dan alunan adzan menggema. Dalam hati, aku menjawab lafal-lafal adzan dengan tidak menampik kebesaran Tuhan. ``Semuanya pasti ada hikmahnya``.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan