Cultur, Agent Of Change

Oleh: Matroni el-Moezany*

Indonesia saat ini adalah negara yang buta। Buta terhadap perubahan. Buta terhadap anak-anak yang tidak mampu melanjutkan sekolah hanya karena alasan ekonomi. Sementara aparat pemerintah hanya diam dan tersenyum. Entah ini karena mereka sudah buta, sehingga mereka melihat terhadap fenomena yang terjadi. Padahal mereka banyak yang memakai kacamata untuk melihat tulisan koran atau surat kabar. Tapi, mengapa mereka masih tidak merasa tergugah untuk progresif.
Mereka semua harus di beri pelajaran khusus untuk menjadi pejabat Indonesia. Bagaimana dia diberi pelajaran untuk berorientasi waktu, kerja keras, hemat, pendidikan, menghargai prestasi, dan berbudaya progresif. Inilah yang mereka belum tahu bahkan mereka sama sekali tidak tahu bahwa yang enam di atas itu ada. Mereka tidak membaca, karena mereka buta. Buta huruf dan buta aksara. Jadi tidak heran kalau Indonesia sampai saat ini belum cerdas dalam menangkap realitas atau peristiwa yang sedang terjadi di depan matanya sendiri. Mereka lebih sibuk dengan dasinya, sibuk dengan map, sibuk dengan uang tinggal sedikit, dan sibuk dengan mau makan pagi, siang dan sore.
Dasar. Maling yang berpendidikan. Nyurinya tidak pada saat sepi, tapi di saat banyak orang yang membutuhkan bantuan. Apakah mereka sudah tidak lagi mendengar bahwa Indonesia itu ada dengan semangat perlawanan dan kepahlawanan. Indonesia sejak rezim Soeharto sudah berhianat terhadap ke-Indonesia-annya. Sebab Indonesia lebih mengunggulkan negara luar dari pada Indonesia sendiri.
Indonesia sudah beberapa kali memperingati hari kebangkitan nasional, tapi hasilnya ialah banjir tangis dan kaum miskin yang semakin miskin. Apakah ini yang namanya makna dari kebangkitan nasional. Atau mungkin mereka itu punya arti lain yang lebih rasional daripada untuk mendengar seseorang yang sedang dalam keadaan melarat.
Kemiskinan, tangisan, pemerkosaan, artis ingin cerai, artis ingin nikah lagi, flm percitaan, bunuh diri, pembunuhan, pendidikan mahal, bahan pangan, BBM, dan semuanya barang naik, entah ini efek dari modern, modernitas, modernisme, kepitalis, kapitalisasi, kapitalisme, hedonis, hedonisasi, hedonisme, global, globalisasi, globalisme, sekularisasi, sekularitas, sekularisme. Indonesia tidak karuan. Inilah yang selalu mengisi ladang Indonesia saat ini bahkan sampai nanti, kalau aparat itu masih buta dan hanya menyebar gigi.
Lalu, mau dijadikan apa Indonesia? Apakah bangsa kita ingin disamakan dengan Amarika, dan negara Eropa atau mau disamakan dengan negara-negara luar. Saya kira Indonesia sangat tidak mau, bukan saja Indonesia-nya yang tidak mau, tapi masyarakat-nya pun juga tidak siap. Kita tahu Indonesia belum bisa mengurusi dirinya sendiri apalagi mengurusi orang lain lebih tidak bisa.
Dengan melihat realitas itu, salah satu makna perubahan adalah dengan mengsosialisasikan budaya (cultur) atau dengan kata lain dengan menerapkan budaya sebagai agent of change. Sebab dengan budaya yang berorientasi pada waktu, Indonesia akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Selama ini Indonesia hanya bersifat individualistik dalam setiap menangani realitas, mereka tidak sadar bahwa waktu akan terus berputar untuk mencari seseorang yang berkelakuan baik, sadar, menyadari dan kesadarannya dalam menyikapi realitas masyarakat. Indonesia tidak seperti Indonesia itu sendiri. Indonesia saat ini yang penting hanya “aku”, yang penting aku yang kaya, tidak memikirkan sekitarnya. Inilah masyarakat Indonesia saat ini saenaknya dewi’.
Dalam hal ini diperlukan kerja keras untuk menjalin suasana bangsa lebih makmur. Hemat, Indonesia harus memiliki sifat hemat dalam segala bidang kehidupan. Pendidikan, dalam ini Indonesia saat ini masih mengalami degradari, baik degradasi moral, sejarah, dan idealisme pendidikan itu sendiri. menghargai prestasi, dan berbudaya progresif. Inilah sebenarnya yang harus ditanamkan kepada jiwa bangsa kita, yang saat ini masih mengalami sakit berat (shok).
Sungguh menyakitkan dan mengerikan bangsa Indonesia saat ini. Setelah kita banyak di hentakkan dengan berbagai fenomena Yogyakarta 27 Mei dan Lumpur Lapindo. Belum lagi masyarakat yang kekurangan. Indonesia memang penuh dengan fenomena tragis dan tindak anarxis. Ini salah satunya akibat dari ketidakberanian pemerintah dalam menyikapi aparat pemerintahan yang selalu dan selalu mengambil milik orang lain (korupsi) alias Maling kelas kakap.





*) Matroni el-Moezany, Penyair

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura