Seharusnya Aku

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany*

Seharusnya aku
melangkah lebih jauh
mengiringi sejakmu yang lembut
tapi baru merasa bahwa
rasa menjadi kata
yang akhirnya aku
tak bisa menjauh darinya

Tatapan pagi
mengundang rasa yang ngeri
hingga waktu menyuruhku
untuk merasa dan merasa
pada detak hari yang kelam

Lalu, pagi lagi
tersisa pada waktu yang dulu kau sampaikan
pada rasa yang melahirkan kata
dan kau mengira waktu tak beruba
padahal tahu mentari muncul di waktumu
tiap pagi

Yogyakarta, 2008

Tak Pernah Ada

Tak pernah ada
rasa yang melahirkan kata
seumpama kilau di rembulan menyebar
ke retak bambu kuning di belakang dapurmu
kau tak merasa ia adalah puisi
yang meramaikan semesta

Tak seharusnya kau berkata
apa yang kau impikan
pada masa yang gersang
karena kau akan hilang dalam diri dan kata
yang tak pernah ada dalam dirimu

Seusai rasa
kau hinggap pada riang lain

Yogyakarta, 2008

Irama Lincah

Irama lincah menari
seperti burung, mengasikkan
menjadi perpuisian semesta

Kau menyuruh hati yang rapuh
pada lembut katamu
hingga makna kau serap sendiri
dan aku tak mengira kau adalah racun
yang membuat kusemangat mencari rasa
akhirnya isak tadi menjadi rupa
yang mengisi detak rerumputan

Jangan kau kira aku tak merasa
apa kau rasakan bahwa lubang matamu tak terisi
aku berkata tiada warna padamu
mengalir laksana hujan di sudut malam

Aku melihat banyak kita
yang belum mendapatkan rasa
hanya aku yang bisa membantunya
untuk memberi sesuap rasa
menjadi kenyang, tanpa lapar
adakah kau bisa?

Yogyakarta, 2008

Kata Sejati

Seumpama Aku
yang menjumpai di tepi sungai Bai
mengurusi bayang-bayang
agar menjadi impian

Dan kau tetap setia melakukan
seperti kau di suruh melahirkan buah
yang ada dalam dirimu, takut!

Kita hanya mengharap malam
sambil menunggu waktu mengasihani
dan kita merasa hampa
dengan bintang yang tidak puas dengan kata-kata

Yogyakarta, 2008

Sebuah Impian yang Usai

Kenapa harus diimpikan
kalau sudah usai
ayo kita mencai malam dalam mimpi
bersama rasa yang kau beri padaku
hingga resah tak lagi kasian melihat kita

Apakah kita harus mencari sendiri
kalau sudah ada raja atau dinda
yang memagang pisau
untuk menepis keresahan semesta

Inilah yang harus aku cari
dimana buah jawaban mendekatku
lalu kubawa pulang sebagai oleh-oleh anak isteriku

Yogyakarta, 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani