Indonesia Tidak Mengenal Realitas Budaya


Oleh: Matroni el-Moezany*

Indonesia saat ini adalah Indonesia yang tidak sama dengan Indonesia dulu. Karena realitas selalu berubah. Realitas opini, realitas media dan realitas itu sendiri. Dan harapan saya Indonesia harus mengenal realitas itu sendiri dengan lewat jembatan budaya. Dari sanalah sebenarnya Indonesia harus mengenal realitas yang berbasis kultural. Walau pun Indonesia saat ini adalah Indonesia berada di ujung yang sangat jauh dari realitas itu. Karena masyarakat selalu dibebani dengan realitas yang seringkali tidak kita bisa diimpikan. Yang dibutuhkan sekarang adalah berpikir tentang realitas itu sendiri. Dengan mengenal realitas Indonesia akan menjadi merdeka dan masyarakat tidak lagi sengsara serta tertindas dalam menghadapi hidup di masa depan.
Indonesia saat ini sudah menjadi gejolak waktu yang rapuh tidak bisa mengelola dirinya sendiri (pendidikan, ekonomi, dan politik). Ini terbukti dengan naiknya harga, angka inflasi yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa (1/4), yang jauh dari dugaan para ekonom. Inflasi Maret2007 mencapai 8,17 persen. Inflasi Maret 2008 sebesar 0,95 persen. Dengan begitu laju inflasi tiga bulan pertama tahun ini sudah mencapai 3,41 persen inilah yang paling dominan dalam mensejahterakan umat.
Kalau sudah barang naik, masyarakat kelaparan, minyak tanah naik, bahan Bakar Minyak (BBM) naik, gas elpiji dalam sebulan terakhir, tabung gas ukuran 12 kilogram dan 50 kilogram langka karena pertamina tidak lagi membagi tabung (Tegal, Purwakarta, dan Karawang) masyarakat mengeluh kekurangan minyak tanah dan semuanya menjadi langka, lalu apa yang terjadi dengan masyarakat kita saat ini? Inilah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh pemerintah dan “kita”. Coba bayangkan Indonesia sebagai negara agraris paling besar dalam mengekspor barang, ekspor beras 2 juta ton pertahun paling besar di dunia, gula 1,6 ton pertahun terbesar di dunia, garam 1,7 ton pertahun, kedelai 0,8 juta ton pertahun, jagung 1 juta pertahun, sapi 450,000 ekor pertahun, inilah yang seharusnya tidak boleh terjadi di Indonesia sebagai negara angraris. Indonesia Negara plural bukan, negara agraris bukan inilah yang di sebut Gus Dur dengan negara Indonesia negara bukan-bukan. Apakah kita berada dalam negara yang bukan-bukan. Tidak! Sebab kalau Indonesia menjadi negara bukan-bukan saya yang pertama kali memundurkan diri dari Negara Indonesia.
Ini salah satu penyebabnya adalah lemahnya lembaga pendidikan dari riset tidak mampu melipatgandakan produk pertanian dalam hal kualitas-kuantitas dan tidak mampu bersaing dalam berklualitas. Karena kekayaan di laut, di hutan dan di perut bumi digadaikan lautan dan kita tidak mampu mengelalonya secara efesien.
Kalau demikian adanya, apakah kita akan selalu menanti janji-janji kosong untuk memperbaiki pendidikan Indonesia? Ini sebenarnya kesempatan besar bagi masyarakat untuk selalu berpikir kritis terhadap realitas budaya. Karena di balik pesta korupsi saat ini, Indonesia semakin kewalahan bahkan tidak mampu menghadapi koruptor-kuruptor yang semakin menyakitkan masyarakat. Seakan Indonesia tidak mendengar gejolak rasa masyarakat yang kelaparan tertindas, terpukul dengan para koruptor yang masih nyenger.
Belum lagi tidak usangnya tercapainya realisasi alokasi anggaran pendidikan 20 persen pada APBD, sebagaimana diamanatkan UUD 1945, sehingga biaya sekolah masih memberatkan murid atau keluarganya. Selain itu, semakin merumpunnya tenaga pendidik honorer masih belum dapat terpecahkan dengan baik. Masalah pendidikan Indonesia yang sudah kacau dan ini yang harus diselesaikan segera.
Satu hal yang pasti, Indonesia membutuhkan pasangan kepala yang seimbang dalam memahami realitas secara benar permasalahan pendidikan. Pemerintah harus tegas mengkordinasikan kebijakan dengan pemerintah Kabupaten atau kota sehingga anggaran dapat terealisasikan dengan baik.
Sehingga ini yang berimbar pada kenaikan harga pangan dan minyak yang mengancam Indonesia yang akan kehilangan pendapatan. Inilah yang menjadi tantang besar bagi Indonesia. Saya kira tantangan ini lebih besar daripada krisis keuangan Amirika Serikat yang membuat gelombang pasar global. Ekonom Bank Dunia, Vikram Nehru, memperingatkan, tingginya harga komoditas tidak mungkin dikendalikan. Bagi pemerintah yang mengambil keputusan harus mengambil langkah yang tepat untuk meringankan beban masyarakat kita.
Saya rasa harga komoditas itu bukan masalah jangka pendek. Saya kira kita akan menghadapi kenaikan harga logam, selain pangan dan minyak. Sebab beras merupakan makanan pokok wilayah kita. Kenaikan harga pangan membuat naiknya inflasi, yang akan mengurangi pendapatan kaum miskin. Walau pun ada tindakan dari pemerintah, seperti kontrol harga, dapar menstabilkan suasana,, tetapi sifatnya hanya sementara dan dapat menjadi bumerang dalam jangak panjang.
Inilah yang dikhawatirkan. Makanya pemerintah harus jeli menghadapi realitas agar tidak merembet pada yang lain. Yang menjadi penyebab dari semua itu adalah karena terkena dampak guncangan finansial di AS dan melonjaknya harga minyak tersebut. Walau pun demikian, proyeksinya untuk negara kita masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang dibelahan dunia lain.
Sebagai kata akhir seperti kata Musa Asy’arie seharusnya kita dan pemerintah sebagai makhluk yang berpikir tentunya harus tahu tentang hidup dan tahu tentang dirinya dalam hidup dan tahu dirinya dalam hidup maka kita akan menemukan kehidupan yang sejati karena kehidupan tanpa kesejatian diri merupakan kesia-siaan belaka. Sebab fenomena permanen dalam kehidupan adalah kehilangan kesejatian diri. Apakah Indonesia juga kehilangan kesejatian? Wallahua’lam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani