Gejolak Waktu yang Rapuh II

Oleh: Matroni A el-Moezany*

Malam yang kutunggu hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah ada dalam keadaan ini. Walau pun sesuatu tidak akan ada dari ketiadaan. Mungkinkah yang tidak itu ada? Ini hanya sebuah teori yang tidak bisa sampai pada titik puncak yang akan di capai oleh para menghasil teori maupuan para filosof.
Dalam dunia kita akan menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada menjadi orang yang hanya berwaktu dalam diri (sok-sok-an). Tapi mungkinkah sok2an itu menjadi waktu yang setia dalam jiwa dan perjalanan rohanimu?. Inilah yang pantas menjadi Tanya dan Tanya dalam jiwa. Sehingga langkah awal untuk mencapai itu semua tiada lain hanyalah perjalanan, baik perjalanan dalam diri maupun perjalanan dalam pikiran, dan perjalanan dalam kesunyian.
Dalam kesunyian ini, kita tidak akan menemukan sesuatu yang menyakitkan, karena dalan sunyi yang ada hanyalah kesendirian dari kita. Seketika itu sebuah kata itu akan lahir sebagai tanda percakapan yang senantiasa menggugah rasa di jiwa. Walau itu membuat Tuhan mati itu tidak masalah yang paling penting dalam dirimu ada "aku" yang seutuhnya. Dan menjadi "Aku" yang benar-banar Aku dalam dirimu sendiri.
Semangat zaman (zitsim libern) itu yang membuat Tuhan mati, tapi dalam jiwa ini apakah Tuhan dapat mati kalau kita terus mengaliri kata-kata sejuk yang menyirami kegsersangan pasir itu?. Inilah sebuah fenomena yang saat ini tidak banyak orang menyelami, lalu apakah dengan itu kita semua bisa mencapai ketakterbatasan? Kita hanya bisa bertanya tentang apa, bagaimana, dimana, kapan, siapa, dengan apa.
Dalam sebuah ketika yang kadang kita tidak merasa bahwa kita berada dalam kegelapan. Kegelapan apa yang disebut dengan kematian. Kematian dalam diri maupun kematian dalam dunia serta kematian dalam kata-kata. Semangat waktu tidak akan menjadikan kita berbuat apa-apa selama kita belum bisa menggali sebuah ketika tersebut. Sebuah ketika dimana kita bisa mencipata kata-kata. Kata-kata yang memang sudang tidak lagi ingin lepas keluar dari jiwa dan tubuhmu.
Sebab waktu karena engkau, maka dari itu jangan kaua pernah memaki waktu itu karena engkaulah waktu itu yang senantiasa menjaga dari sebuah kegelapan itu. Jadi tidak salah kalau kita berdo’a untuk waktu. Waktu, kata dan kau adalah segitiga dalam ruang yang hampa, dengan demikian agar tidak terjadi kehampaan doa’akan dan sirami ia dengan kata-kata yang sebisa mungkin dapat membanjiri semesta. Tidaklah kau kira jalan yang kita langkahi itu sebuah ayat-ayat Tuhan yang tak pernah kita baca untuk dihaturkan pada matahari dan bulan.
Apakah kita pernah berpikir untuk mencipta ayat-ayat tuhan walau kita merupakan manusia. Apakah bisa? Bisa! Kita jalani kegelapan yang panjang didepanmu itu. Sampai kita menemukan nilai-nilai langkah yang kita injak untuk mencapai nir-wana dan nir-nilai. Siapa sangkah kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta. Artinya bagaimana kita melihat sesuatu yang paling terkecil, sebab sesuatu yang kecil akan bisa dan selalu masuk untuk apa saja. Laksana bawang. Mungkinkah?. Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau kita berjalan melintasi gejolak kata yang senantiasa ingin berubah untuk mencari sesuatu yang lain. Apakah sesuatu yang lain itu?.
Kita akan tahu sendiri itu semua. Selama kita terus mencari dan me-rasa setiap gejolak secuil kata-kata yang timbul dari jiwa dan tubuhmu. Dan menatap indahnya semesta yang lain. Adakah?. Ada! Dimana itu? Ia berada pada setiap jiwa dan tubuhmu sendiri selama kita senantiasa me-rasa. Karena rasa adalah kata-kata yang tak terkata.
Terdiam kita terlena karena kita belum bisa meracik apa itu waktu dan kata. Hanya kata yang bisa merapukan jiwa dan akhirnya kita lupa bahwa semua itu ada dalam jiwamu. Dan kita retak kala tidak bisa meramunya. Betapa sungguh kasian sekali kita. Hanya meracik satu kata tidak bisa. Apalagi meracik kata-kata yang ada di semesta ini. Saya yakin bila satu sesuatu tidak bisa dijaga untuk dijadikan bahan waktu yang sangat panjang itu akan seperti jiwa, tubuh dan Indonesia yang rapuh saat ini.
Suatu yang tidak mungkin kalau kita merana dalam kata-kata, karena kata-kata itu merana itu sendiri. Artinya selagi kita bisa meracik dan meramu kata-kata tersebut kita tidak akan mengalami yang namanya MERANA, yang ada hanyalah kesunyian. Kesunyian yang memang sepi dari derita, merana, gelau, dan tangisan-tangisan. Kalau kita bisa memasuki ruang ini kita akan selalu bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Apakah kita mau kebahagian seperti itu?. Saya kira setiap kita pasti ingin kebahagiaan.
Apakah kita tahu dalam samudera ada hutan yang tidak banyak orang tahu, mungkin akal tidak akan menerima hal itu, karena yang ada dikedalaman samudera adalah karang dan dasar lautan. Lalu mengapa kau mengatakan di samudera ada hutan. Apakah kau tahu setiap makhluk itu bernyawa dan bertasbih? Kalau kau sudah tahu kau tidak perlu bertanya tentang hal itu. Yang penting kau mencari dan merasakan hal-hal yang paling terdekat di dalam jiwamu dan itu lebih penting daripada kita hanya berpikir sesuatu yang tidak berharga dan bermain dengan keterbatasan. Dengan adanya keterbatasan itu kita akan diam dan diam. Tempat paling tepat dalam hal ini adalah KESUNYIAN.
Saat kau pergi untuk mencari tempat itu. Kau akan menemukan apa arti air mata yang sebenarnya. Apa itu "aku" sebagai "aku" yang seutuhnya dalam dirimu. Kita boleh menangis dengan adanya perpisahan. Kita boleh menangis karena ditinggal kekasih. Kita boleh menangis karena kecewa. Kita boleh menangis karena kekasih di ambik orang. Tapi apakah kita perlu menangis dalam kesunyian? Inilah pertanyaan yang harus kita renungkan dan dijadikan upaya untuk menghadirkan sesuatu yang menciptakan tangis itu sendiri.
Kalau Nietzsche mengatakan Tuhan telah mati tapi kita tidak. Sebab Nietzsche bilang seperti itu karena dia masih dalam tahap perncarian. Di mana dalam pencarian kita tidak akan lepas dari apa yang namanya riyadhah (proses). Kita boleh terbuai dengan fisik, tapi akan lebih baik kita terbuai dengan keindahan yang ada dalam Sunyi dan Sebuah Tanya di Ladang Sunyi serta yang ada dalam dirimu sendiri.
Sebab, dalam Sebuah Tanya kita senantiasa berpikir dan bertanya dalam kesunyian itu dimana langkah awal untuk memasuki ruang sunyi adalah kita harus melihat dan merasa apa yang kita lihat. Sebab apa yang akan kita lihat saja itu belum tentu benar, kita hidup sering bahkan selalu tertipu dengan adanya dunia ini. Mengapa? Karena Tuhan sendiri sudah mengatakan dalam kitab sucinya bahwa kehidupan ini hanya senda gurau. Jadi apa pun yang kita lihat walau pun benar adanya itu belum benar sejatinya. Kejujuran bukanlah kebenaran. Ia hanya kata dalam kata-kata itu sendiri. Artinya kita hanya melihat dari fisiknya saja. Siapa yang tidak melihat matahari ketika terbit di ufuk timur, tentunya kita semua bisa melihatnya, tapi apakah kita melihat sejatinya atau substansi dari matahari tersebut. Adakah kata-kata yang tidak terkata. Tidak ada. Semua kata pastilah terkata walau itu tidak tertuang melalui lisan atau kertas. Kita hanya bisa mencipta kata dalam lubang yang tidak kita sadari bahwa ia adalah sumber segala bencana dalam di diri, dunia, dan nanti.
Jadi wajar kalau kita akan merasa senang dan bahagia dalam kesunyian dan kesepian itu, karena hal itu merupakan suatu hal yang sangat vital dalam perjalanan hidup kita dan seseorang. Dalam varian ini kita hanya tinggal berjalan dan terus memasuki lorong panjang di depan kita, tapi tidak semudah itu kita melangkah memasuki waktu yang tak berwaktu dalam diri dan jiwa. Kita terus mencari hingga tidak mengenal batas waktu dan kematian, bila sebuah ketika tidak ada dalam hidupmu. Mungkinkah kita berjalan tanpa waktu? Sangat mustahil kalau kita berjalan tanpa waktu dan ruang.
Oleh karenanya, boleh kalau kita mengusung kata-kata untuk dijadikan lahan pertanyaan dalam perjalanan hidup yang tidak menentu ini. Kalau kita merasa ada yang kurang dari dirimu carilah apa kira-kira yang dari dirimu. Dengan begitu kita mengerti apa sebenarnya jiwa dan dunia ini. Sebab tidak selamanya kita merana dalam kata-kata yang sulit untuk dilemparkan pada semesta, karena semersta sudah merasa tersakiti oleh kita. Dengan menggali perut dan isi semua kebahagiaannya. Seperti juga kita kalau kita ditusuk perut dengan jarum atau dengan pisau apakah tidak merasakan hal yang sama dengan sakit yang dirasakan oleh semesta.
Kita hanya bisa mengais-ngais semesta, tapi kita tidak menjaga kelestarian alam. Apakah kita mendengar kata burung bahwa aku makan tapi aku tetap menjaga kelestarian alam inilah kata burung. Hewan masih merasa kalau ia tetap setia dan sangat mencintai semesta ini, tapi kita, tidak. Alangkah naifnya kita kalau sampai kita kalah dengan perasaan hewan. Padahal kita mengira bahwa hewan yang kau kurung adalah hewan yang tidak mempunyai perasaan, katamu. Kita salah dalam mengambil kebijakan dalam setaip langkah. Hewan pun hati-hati dalam segala hal, tapi mengapa dengan kita. Apakah kita tidak memiliki cinta? Tidak! Aku punya cinta.
Lalu cinta dalam hal ini sangat berperan untuk dijadikan bahan renungan dan suatu jembatan yang sangar berarti dalam perjalanan sebuah semesta dan sejarah. Mungkin kita mengira bahkan ini sudah menjadi tradisi bahwa karena dengan adanya Cinta kita merasa tersakiti, bagitu kata orang-orang yang sedang suka pada seseorang. Aku sakit karena cinta, padahal kalau kita merasa dan berfikir tidak ada yang namanya cinta itu menyakitkan, tidak ada. Sebab kata Kahlil Gibran cinta berasal dari cahaya, menuju cahaya. Jadi dalam hal ini cinta laksana sebuah kesejukan. Kesejukan yang membuat seseorang bisa tenang dan damai di dunia maupun di alam yang akan datang nanti.
Cinta bagi saya adalah sebuah embun yang bisa menyejukkan segala bunga-bunga pagi dan bunga senja. Sebab dengan cinta semesta tercipta, dengan cinta manusia bisa hidup, dengan cinta kita menerima shalat dari lima puluh menjadi lima dalam sehari semalam. Berangkat dari sinilah bahwa cinta selamanya tidak bisa kau anggap selalu menjadi penyakit, karena kalau kita menganggap yang membuat orang sakit hati karena cinta, maka orang tidak bisa dijadikan bahan referensi yang cocok dalam kehidupan dunia ini. Karena selama cinta masih ada dunia ini tidak akan hancur. Cintalah yang membuat semesta ini menjadi tegak, hewan hidup, bunga-bunga bermekaran selamanya. Apakah kau masih mengira dan menyangka bahwa yang membuat orang sakit hari gara-gara cinta?.
Kalau kamu masih menganggap cinta yang membuat seseorang sakit hati, maka berfikirlah dan pakailah akalmu agar hidupmu tidak sia-sia. Apakah hubungannya dengan musibah yang melanda bangsa kita? Pasti ada! Dimana? Dikala kau tidak merasa nyaman dengan hadirnya cinta maka disitulah kau merasakan bahwa bencana sudah melanda bangsa kita saat ini. Sebab dengan adanya rasa cinta, air tidak akan menjebol, lautan tidak akan naik mengisi rumah-rumah kita, banjir tidak akan melanda desa kita, ini semua disebabkan karena tidak adanya rasa cinta kita terhadap lingkungan, alam, hewan dan makhluk-makhluk lain yang ada disekitar kita, kita tidak merasa bahwa itu semua yang membuat bencana melanda kita semua.
Sebab cinta, dunia ada, sebab cinta air mata tidak jatuh berlinang, sebab cinta tiada lagi kesakitan, tapi sebab cinta airmata mengalir karena rindu, pada sesuatu yang tak berwaktu. Adakah seseuatu yang masih sakit karena cinta?. Tidak ada. Karena cinta dicipta tidak untuk menyakiti seseorang. Ia dicipta hanya untuk menyejukkan segala tatanan kehidupan baik di sekarang maupun nanti. Jadi tiada lagi kesakitan yang melanda ruang-ruang itu, karena cinta telah mengisi semua ruang yang ada dalam jiwa dan semesta ini. Karena cinta bagi saya adalah sebuah kesunyian yang tidak ada lagi sesuatu yang membuat orang menjadi sakit, karena dalam kesunyian yang ada hanyalah kekosongan abadi dan seutuhnya. Kita akan merasakan kesejukan cinta kalau kita memasuki dunia cinta yang ada dalam kesunyian tersebut. Dunia Kesunyian adalah dunia aman, sejuk, damai, dan kebahagiaan selamanya. Dunia dimana kita bisa bermesraan dengan cinta itu sendiri. Cinta yang bisa membuat semua orang merasa kaya, merasa cukup dari segala yang nyata.
Cinta ini antara lain mengajukan semerbak harum rerumputan terhadap berbagai macam bunga yang hadir dibelakang cinta dan matahari serta bertanggungjawab terhadap arah semesta dengan segala silaunya. Dengan senyum ganda cinta melihat matahari pada jiwa yang berkembang pun berani membawa nilai-nilai akibat dari akan terjadinya masa yang disebut dengan kegelapan (hampa cinta).
Mungkinkah sebuah risau hilang dengan sendirinya, tanpa ada dorongkan rasa dan keinginan? Pada sebuah ketika dimana manusia tidak lagi mengenapa apa itu kata-kata, apa itu cinta. Manusia ini akan kehilangan sebuah makna yang ada dalam dirinya. Apakah mungkin sebuah makna yang sudah ada dalam dirinya bisa hilang? Tentunya sangat bisa, karena setiap kita selalu merasa kurang dalam apa pun. Di dunia adakah orang mengatakan bahwa dirinya cukup? Hanya sedikit orang yang bisa merasa bahwa dirinya sudah merasa cukup dalam hal apa pun terutama hal yang menyangkut masalah keduniaan.
Masih adakah saat ini orang yang sadar bahwa dirinya adalah korban dari semua virus yang masuk dalam tubuh kita? Juga sedikit orang yang merasa bahwa dirinya adalah korban dari semua peradaban yang masih belum matanng alias mentah, dan biasanya di ambil secara mentah-mentah oleh yang tidak sadar bahwa dirinya berjalan diatas hasil orang-orang yang tidak kita kenal identitasnya. Dengan melihat realitas tersebut, maka Jaluddin Rumi dalam puisinya menyeruh kita untuk merenungkan apa itu cinta yang sebenarnya:
Kehidupan tanpa cinta tiada artinya
Cinta adalah air kehidupan-reguklah ia dengan
Hati dan jiwa
Manusia yang jauh dari perangkat cinta
Adalah burung tanpa sayap
Setiap waktu yang berlalu tanpa cinta
Akan menjelma wajah yang memalukan di
Hadapan Tuhan
Pilihlah cinta, cinta!
Tanpa manisnya cinta, hidup akan beban
Seperti apa yang telah kau ketahui
Jadi dorongan cinta dalam diri seseorang tidak
Menggetarkannya,
Jadilah ia Plato, ia tak ada bedanya dengan
Seekor keledai
Jika kau bukan seorang pecinta
Jangan pandang hidupmu adalah hidup
Karena pada hari perhitungan, ia tidak akan dihitung
Seperti juga Erich Fromm yang mengingatkan sebelumnya, bahwa cinta yang produktif berbeda dari apa yang disebut cinta. Pasalnya dalam pengertian umum yang dikenal selama ini, cinta cenderung dipahami secara salah kaprah sebatas hanya persoalan asmara romantis dan remeh-remeh gaya hidup budaya hedonis yang membingungkan dan bahkan absurd. Cinta adalah hubungan kita yang bebas dan sederajat di mana setiap orang berpasang-pasangan dapat mempertahankan individulitas kita. Artinya perasaan relasional tercapai tanpa harus mengorbankan identitas dan kemerdekaan seseorang tetap terpelihara dan cinta yang mengandung perhatian, tanggungjawab, respek, dan pengetahuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani