Dari Rasa menjadi Kata

Oleh: Matroni el-Moezany*

Sebenarnya kata yang berguna pada duka yang tak kau mengerti adalah sebuah kesengajaan yang kau kira bukan alasan untuk menamai rumpun yang ada dibalik singgasanamu. Aku bukanlah siapa-siapa, tapi kalau kata yang mengalir bukan pengakuan untuk meraih matahari dan bintang. Lalu kata itu apa? Aku akan terus menghargai waktu yang telah lama menjadikan aku sebagai wadak untuk menjalin rasa, tapi kau tetap mengerti apa sebenarnya waktu itu yang mengalir di atas kata.
Pagi itu sangat memukul sekali. Seakan aku punya waktu lagi untuk menuturkan sebagai sebuah kejauhan yang aku jalani pertama kali. Kau sebarkan senyum manismu pada semesta yang kira itu adalah semuanya. Mungkinkah sebatang bambu kau bisa baca untuk meramu kata, sehingga kau tak mau berkarya pada kertas putih. Sekarang yang bagi kamu adalah matahari dan bulan. Aku mengerti tidak semudah itu kau jejaki kepualaun yang ada di gunung kata-kata. Aku ingin mengikutimu, tapi dimana kamu sekarang sehingga kau sangat jauh dariku. Aku sangat butuh bantuanmu. Aku ingin pergi mencarimu sebagai jejak yang aku jalani bersama kata-kata. Tapi kata itu mengerti aku bahwa aku sangat membutuhkanmu untuk menjadi penyalip rasa yang belum aku sampaikan pada waktu. Saat pagi!
Apakah sungguh waktu yang akan mengantarkan aku pada rasa dan kata. Aku memang jauh dari kamu tapi aku akan tetap mencari dalam waktu dan kata. Inilah harapan aku padamu. Tidak kata lain selain memintamu untuk dekat mencarikan aku kata pada rasa yang aku miliki selama ini. Aku sangat terharu pada bunda yang mengasaku demi masa waktu. Aku memang tak banyak harap pada seorang yang selalu memamirkan kata-kata, tapi kata itu adalah senjata untuk meraih semuanya. Katamu!.
Aku menulis ini sebenarnya aku tak mengerti apa yang aku tulis ini. Aku hanya ingin menyampaikan rasa pada waktu. Mengerti atau tidak itu bukan urusanmu, tapi ini urusan rasa dan waktu. Sebab kata yang berkata pada itu bukan suara tapi rasa pada rasa itu sendiri. Karena kata akan mengelir dan keluar karena di beri izin oleh rasa inilah sebenarnya yang membuat aku tak mengerti di waktu pagi. Adakah yang mengerti pada pagi itu?.
Kalau memang ada yang mengerti tunjukkan pada aku, akan merasakan bagaimana rasa berbicara pada kata. Aku ingin mendengarkan bisikan mereka sehingga di anggap sebagai pencipata mereka. Dan akhirnya aku menjadi tuhan bagi mereka. Inilah yang aku harapkan dari mereka semuanya. Tapi mungkinkah mereka mau kujadikan hamba? Sehingga aku dianggap rasa yang berbicara pada rasa atau kata berbicara pada kata. Aku sungguh ingin mengerti apa sebenarnya yang mereka katakan padaku. Apakah mereka tidak tahu bahwa di dekatmu ada waktu yang mengintip. Dan kau pura-pura tidak tahu enak saja kau. Waktu pagi!.
Mengorbananmu memang sungguh luar biasa, tapi apakah mengorbanan itu bisa ditebus dengan rasa dan kata-kata. Ini sangat mungkin! Karena mereka berdua merupakan sepasang semesta yang tak bisa dipisahkan. Mereka adalah hamba yang setia menunggu untuk diperintah sebagai jawaban atas ketersiksaan aku pada pagi. Aku sungguh menderita lagi kalau mereka dibuang. Tapi mereka tidak bisa dibuang oleh siapa pun, siapa? penyair, sastrawan, budayawan pasti tidak bisa wong mereka adalah manusia sementara rasa dan kata adalah melebihi manusia dan makhluk yang lain. Berarti aku bisa menunjukkan bahwa AKU PASTI BISA SEPERTI MEREKA.
Perjalanan hanya ada dalam diri di dalam rasa. Tapi tidak dalam kekosongan kata-kata. Konsep masuk dalam dunia rasa dicipta menjadi kata, akhirnya menjadi aku yang merasa. Dari sanalah perjalanan aku dimulai dari langkah awal sehingga aku bisa mencari dalam diri bersama rasa dan kata. Sungguh tak kusangka bila rasa melahirkan kata, tapi ini kenyataannya. Kenyataan yang sangat mengerikan bila kata bisa mengisi dan membanjiri semesta. Sebab saya yakin kalau rasa mengandung dan melahirkan kata semesta ini akan kewalahan menghadapi masalah yang terus berkelanjutan.
Itulah sebenarnya letak ketidakbisaan kita untuk mengurusi kata tidak mampu apalagi mengurusi anak kata. Apa anak kata itu? Banyak! Janji kosong, opini, fakta, inilah yang seringkali menjadi bahasan semua orang yang ada semesta ini. Sekarang ini adalah musim dan pesta seperti ini yang ada. Indonesia yang menjadi orang partama dalam hal ini. Mengapa tidak. Sejak dulu Indonesia tidak pernah merdeka dalam mengelola kata-kata. Baik kata yang lahir dari opini maupun dari kata sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani