Susahku Pernah

Sajak-Sajak: Matroni A el-Moezany*

lebih sakit daripada satu kali
pada sampah dan teriakan
dalam botol hatimu yang pecah
kini air dan lahar tumpah
mengenangi semesta
hingga kota tak bersawah
cinta tiada rindu
dan kini suram beradu mata
lalu riak tak lagi ada
tapi wajahku darah
saat dagu bibirmu menengada
mulutmu uang, racun ditelan
membanjiri semesta konon kota salebritis

Di sini, kota, sekali terlontar
segala sampah tak jadi apa
terjadi sumpah terjadi sarang

Lalu sekejap, terdiam
saat menyusun waktu
tanpa akal, kau pergi, pada hati purna
tanpa kata, tanpa jejak, tak kuasa
tertinggal aku tersisa satu
Kosong.

Paris, Desember duasembilan 2007

Semesta Satu, Menangis Satu,
Menjadi Aku

Ketika aku menuju bulan pertama
langit menjerit dan muntah hitam
dan kau menjanjikan untuk singgah

Bis datang terisi beribu dendam
pada bangsa yang diam
langit suram, tiada lagi gadis merayu
kudengarkan satu puisi, untukmu
untuk seluruh hidupmu
ada air mengalir, darah yang anyir
akhirnya air…air… air…yang melarutkan semua zaman
melahirkan kezaliman, putus di pucuk cemara
kau selalu malu menemui rindu
yang dikandung batu

Lalu, kutegaskan senangis jerit
waktu yang larut dalam Satu
cakrawala senja menjadi saja
semesta satu, menangis satu
menjadi aku

Paris, Desember, 2008

Sejarah Waktu I

Jangankan Jokotole menabur pedang
atau raja sumenep menggempur
bumi sumekar diam pun darah
dan kau lenyap
sihir pesona di gapura istana

Biar mereka jatuh tersungkur
dan pasrah tergusur
talango, banuaju, tetaplah kuna
juga aku, malu terlena
diam di lelap surga malam
mengunyah nasi jagung singgasana

Tetahmu sudah lengkap
tinggal menetap di rumah istana
dengan saku yang lengkap
gula, berasjagung, pedang,
karena kamu perlu maju
dengan sopan kutunggu waktu
waktu itu

Yogya, Januari 2008

Sejarah Waktu II

Sungguh kota yang lebat
mengguyur halaman, sawah, dan hutan
menghitung beribu sejarah, menjadi kata
menjadi garis, melukis gadis
bermata sayu, tiada tepi
mengalir bagai air
dan menangis di gumpal awan
bergantung pada mata, mendung biasa
di sana kubangun istana
dengan gedung air, tiang hujan
dan alat yang keras
hingga waktu terdiam bisu

Kami hidup dalam jamid
karena rumah tiada lagi tanah
karena jagung tiada lagi tegal
kami hidup di jauh
lantaran jiwa tak berbatu
dan hati tak lagi lentur
semua saudara
biar semenep jadi samudera
biar semua berlayar
hingga kalianget sauhkan jangkar

Itu lepaskan hati
dari angkasa
biar hujan tak lelap jatuh
pada masa depan
yang lekas kita tinggal tetap

Di ujung madura, ia menunggu
dengan nasib memasak waktu
semangkuk jagung dan secawan duwet
juga hati, yang tiada sedih
selalu menunggu

Yogyakarta, Januari 2008

Tangis Bernama Cinta

Istanah yang aku bangun ini
Sesuntuk waktu malam di hujani
Lalu musik pagi memecah lagi
Hingga semesta memberinya ruang
Menjadikan waktu
Bumi yang kuhidupi ini, menjalani
Sejarah yang tak berjejak
Tiada awal dan akhir
Sampai kematian menafasinya
Kemudia rasa sunkan
Menumbuhkan manusia
Manusia yang sempurna ini
Tak pernah meminta apa pun kata
Namun yang terhitung tetaplah airmata
Menetesi pecahan mimpi
Mengairi kegersangan
Memberinya kesejukan
Satu kata yang selalu Satu
: cinta

Yogyakarta, 2008
*Penyair kelahiran Sumenep, 1984, aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI), aktif menulis di media lokal maupun nasional. Tinggal di Yogyakarta
roni_gg@yahoo.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani