Budaya dan Pencerahan

Oleh: Matroni A el-Moezany*

Sekitar 220 tahun yang lalu, Immanuel Kant menulis sebuah risalah kecil yang berjudul "Apa Itu Pencerahan?". Atau dalam bahasa Jerman, aufklarung. Risalah ini merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilontarkan banyak intelektual pada masa itu.
Menurut Kant, pencerahan adalah bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan. Sedangkan ketidakmatangan sendiri adalah "ketidakmampuan kita menggunakan penalaran pribadi" dan keinginan untuk selalu merujuk dan menggunakan pendapat orang lain. Manusia menjadi tidak matang bukan karena dia tidak mau berpikir, tapi karena dia takut menggunakan pemahamannya sendiri.
Inti dari zaman pencerahan di Eropa di mana Kant sebagai salah satu pionirnya adalah anjuran untuk menggunakan pemahaman sendiri, dan membuang jauh-jauh pemahaman orang lain yang tidak relevan. Selama kita masih bergantung kepada pemahaman orang lain, selama itu pula kita tak akan pernah matang bahkan kita akan mati. Dan karenanya, tak akan bisa tercerahkan.
Semboyan pencerahan yang sangat terkenal adalah "Sapere Aude!" yang berarti "beranilah menggunakan pemahaman Anda sendiri!" Dengan kata lain, orang yang tidak berani menggunakan pemahamannya sendiri bukanlah orang yang tercerahkan.
Yang ditekankan dalam pencerahan ini bukanlah "menggunakan pemahaman sendiri," tapi "berani." Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan (religiusitas) yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, Sayyed Hosen Nasr, Mulyadi Kartanegara, Hasan Hanafi, Nurkholis Madjid, Quraysyi Syihab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.
Pencerahan disini memerlukan kedewasaan dan kematangan dari kita. Orang yang selalu menganggap orang lain lebih besar dan lebih otoritatif dari dirinya, tak akan pernah bisa dewasa dan tak akan pernah bisa matang. Hal-hal baru ditemukan bukan dengan mengulang-ngulang pendapat lama, tapi mencari sendiri pendapat baru secara kreatif. Pengulang-ulangan pendapat orang lain tak akan membawa seseorang ke mana-mana, kecuali ke masa silam itu sendiri, yang menjadi rujukannya.
Gerakan budaya modern saat ini membutuhkan sebuah gambaran yang jelas atau katakanlah sebuah "peta" paling tidak "tipe ideal" dalam istilah Max Weber, peta yang kita butuhkan adalah peta yang menggambarkan mengenai kebudayaan kita sendiri (kearifan lokal), dihadapan kebudayaan manusia secara holistik-uneversal. Dimana budaya hadir dengan wajah yang muram dan suram di tengah gejolak globalisasi yang merasuki bangsa tercinta ini. Lantas bagaimana agar budaya kita tidak lagi sakit "cultural shock".
Geralakan budaya adalah gerakan pencerahan. Ia seperti gerakan aufklarung di Jerman yang dimotori oleh Kant. Para budayawan kita adalah orang-orang yang tercerahkan dan orang-orang yang telah mendapatkan kematangan dirinya.
Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi budaya pragmatis, nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi harmoni, keluhuran, dan lainnya, cenderung tersingkir, tergusur. Sebab nilai-nilai tradisi itu di pandang relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Demikian pula dengan hujatan yang lahir dari kebudayaan Barat. Di sini kita membutuhkan keberanian. Sebab "Keberanian" seperti juga "kebebasan." Ia adalah suatu konsep yang paling sulit diterima manusia. Karena manusia cenderung menerima apa yang sudah ada, yang sudah jadi, tanpa adanya suatu proses. Sesuatu yang "liar" dan "tanpa batas" adalah sesuatu yang menakutkan. Karenanya, buat mereka, lebih baik menerima kondisi yang ada, meskipun itu buruk dan tidak indah.
Walau pun Banyak para filsuf atau sosiolog yang telah mencoba menggambarkan "peta" tersebut, misalnya filsuf positivis Aguste Comte, menggambarkan perubahan dari masyarakat agama ke masyarakat metafisik hingga kepada masyarakat positif yang berkembang pesat pada saat sekarang ini. Selain itu juga, filsuf Belanda , CA Van Peursen yang dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1993) secara panjang lebar membahas modernisasi dengan tipe "fungsionalnya" sebagai puncak perubahan dari masyarakat yang bersifat "kebudayaan ontologis" di abad pertengahan.
Orang-orang yang tercerahkan seperti itu selalu berpikir ke depan dan selalu memikirkan kemungkinan yang lebih baik dari kondisi yang sudah ada. Karena itulah mereka berani menggunakan pemahamannya sendiri dan membuang jauh-jauh pandangan-pandangan dari masa silam yang tidak lagi relevan.
Selama kita masih terus mengulang-ulang pendapat orang-orang di masa silam dan takut mengemukakan pendapat kita sendiri, selama itu pula kita tak pernah tercerahkan.

*Mahasiswa Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga semester 3.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura