Wajah Kebijakan Pemerintah dibalik Krisis Pangan

Wajah Kebijakan Pemerintah dibalik Krisis Pangan
Oleh : Matroni el-Moezany*

Krisis pangan yang dialami bangsa indonesia terus berkepanjangan. Impor beras yang ahir-ahir ini menjadi polemik krusial merupakan salah satu pertanda dari pahitnya kebijakan pemerintah yang kian hari terus berkesinambungan menunjukkan bahwa bangsa kita masih mengalami krisis pangan. Padahal predikat masryakat agraris (pertanian) masih lengket dan sangat akrab dengan rutinitas pekerjaan masryakat indonesia yang secara logika sehat tak mungkin bangsa indonesia mengalami krisis pangan apabila efektifitas pengelolaan pangan berjalan secara sehat.
Kenyataannya berbicara lain, lahan yang cukup potensial untuk menghasilkan pangan ternyata tidak mampu menjadikan bangsa ini berswasembada. Segala hal yang yang terkait dengan perberasan seperti produksi, konsumsi, harga dasar gabah, pasar, dan agen pelaksana kebijakan ( bulog) pada kenyataan menunjukkan kekurangannya terhadap pangan. Sehingga dengan adanya krisis pangan yang berkesinambungan bangsa ini pada tahun 2000-2001 termasuk dalam kelompok 10 besar dunia sebagai importit terbesar pada urutan pertama (Krisminamurti, 2001).
Maka cukup tepat pada momentum hari pangan ini kita sebagai bangsa yang berpotensi untuk berswasembada mengadakan koreksi ulang tentang perjalanan pangan yang kian menunjukkan kemerosotannya. Krisis pangan yang tak selayaknya menimpa bangsa kita merupakan problem pelik yang titik persoalanya tak lepas dari kebijakan para elit politik. Intervensi pemerintah dibalik krisis yang berkepanjangan ini merupakan salah satu oknum yang pengaruhnya cukup kuat terhadap stabilitas kebutuhan pangan. Karena sebagaimana diaku oleh David dan Huang (1996) bahwa diberbagai negara kawasan Asia (termasuk indonesia), sebagai produsen beras, pemerintah pasti melakukan intervensi baik karena alasan ekonomi maupun politik.
Dalam kontek ini, imtervensi pemerintah selalu mencerminkan ketidakadilan. Pangan dalam perjalanannya selalu terseret dalam kepentingan politis. Pada masa orde lama (orla) Sukarno beras dijadikan sebagai sebagai kendaraan mendapat dukungan internasional untuk kepentingan politik global indonesia, begitupula pada masa orde baru, maskipun pada era Suharto bangsa kita telah mampu berswasermbada, tapi itu hanya keberhasilan semu yang meruntuhkan prospek stabilitas kebutuhan pangan. Karena sebagaimana dikatakan oleh Nurudin (2005) bahwa pilihan kebijakan ketahanan pangan saat itu pada hakekatnya hanya pada tataran makro, yang lebih berorentasi pada kepentingan politik negara, sedangkan kesejahteraan para penghasil pangan tidak terlalu diperhatikan..
Potret suram dari kongkalikong para penguasa tersebut masih terus menjangkiti hingga kini dengan kedok dan metode yang tak jauh beda. Kasus impor beras yang isunya telah bergentayangan dibeberapa daerah merupakan bukti dilematis dari kepijakan pemerintah; apakah impor beras karena disebabkan terjadinya krisis pangan atau sandiwara dari proyek globalisasi yang mengatasnamakn krisis pangan sebagai dalih untuk berekspansi di bangsa kita. Yang jelas stabilitas penyediaan pangan, terutama beras di bangsa ini masih menunjukkan kemalangannya.
Terjadinya pro kontra antara petani dan penguasa untuk mengimpoir beras adalah potret suram dari kebijakan elit politik. Para petani dan orang-orang yang mewakilinya telah menolak unruk mengimpor beras karena dianggar beras nasional masih memenuhi standart. Sebagaimana Suswono Yudihusudo, ketua Badan Penasehat Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Beliau mengatakan bahwa total produksi gabah saat ini 54 juta ton atau setara dengan 35 juta ton beras, sedangkan kebutuhan beras nasional hanya berkisar 31 juta ton. Tapi dari pihak pemerintah masih saja ngotot untuk mengimpor beras.
Hal ini menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan masih terjadi kongkalokong, sehingga untuk meningkatkan produktifitas pangan yang berkualitas tidak dimungkinkan. Logikanya, mana mungkin negara akan memacu untuk memotivasi dalam hal pertanian, sedangkan dalam perjalananya diantara kedua belah pihak sangat konftontatif. Negara sebagaimana dikatakan oleh Budiman (1996) sudah bukan lagi alat dan pelayan bagi masryakat, melainkkan negara sudah menjadi alat untuk dirinya sendiri dan misinya sendiri atu bisa-bisa negara sudah berada dalam pernagkap globalisasi yang lebih mementingkan kebijakan politik global kertimbanag kesejahteraan rakyatnya.
Salah satu contohnya adalah kebijakan yang selalu dikeluarkan bulog sebagai instrumen pelaksana kebijakan ekonomi nasional selalu saja berpihak terhadap proses globalisasi. Institusi-institusi ekonomi dunia yakni IMF, Banh dunia dan WTO diakui oleh Hasrul Hanif ( Menembus Ortodoksi Kajian kebijakan Publik:2004) telah menjadi standar yang lebih diutamakan dalam menganmbil keputusan ketimbang stabilitas ekonomi nasional. Disamping itu juga bulog terkenal dengan sarangnya korupsi, kolisi, dan nepotesme (KKN). Globalisasi yang diterapkan secara tak kerasa di bangsa ini membuat para petani merasa tersisaihkan dari proyek awalnya sebagai petani.
Jargon untuk mengarahkan pada peningkatan produktifitas pangan dengan harapan bangsa Indonesia kedepan bisa berswasembada seperti yang sering dilontarkan oleh Presiden Susila Bambanag Yudoyoni ahir-ahir ini akan berjalan pincaang. Karena upaya peningkatan kebijakan pangan bukannya hanya sekeder jargon tampa merubah keputusan warisan elit politik terdahulu. Ketidakberpihakan terhadap perekonomian makro dan beromantisme dengan liberalisasi akan semakin menambah jarak kita sebagai bangsa Indonesia yang berswasembada.
Untuk menuju bangsa yang cukup pangan dalam artian bisa berswasembada kunci pertamanaya tak lepas dari perubahan kebijakan elit politik atau kelompok, seperti bulog untuk mengubah pola keputusan dan kebijakan yang lebih kontekstual. Pemerintah seharusnya membantu perkembanagan pertanian rakyat melalui kebijakan yang lebih mengena yang pada gilirannya mampu meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan masryakat ( Santoso: 2004). Karena kebijakan yang pincang dalam artian lebih menguntungkan kalangan-kalangan kapitalis global maka tidak hanya berakibat pada semakin menjauhnya masryakat dari pertanian yang pada gilitannya akan mengancam persediaan pangan nasional lebih kronis, melampaui itu dengan lenggangnya para kapitalis menelusup di bangsa ini maka pada ahirnya secara tak disadari eksistensi kebanagsaan kita akan terjajah dalam wilayah ekonomi, politik dan budaya.


*penulis adalah penggiat masalah budaya dan politik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas