Tergusurnya Idealisme oleh Cultural Shok

Tergusurnya Idealisme oleh Cultural Shok
Oleh : Matroni el-Moezany *)

Menyikapi masalah rusaknya kultural saat ini memang tidak asing lagi bagi telinga kita, baik dari kalangan yang memang sudah berkecamuk dalam dunia “kekultularan”, tapi itu semua menjadi masalah sepele karena masyarakat modern saat ini kayaknya tidak mempedulikannya. Mengapa? Karena masyarakat zaman modern ini adalah masyarakat yang berbahaya dalam perspektif religius, sebab kata modern menurut hemat saya berasal dari bahasa arab “mudhirrun” yang artinya adalah berbahaya.
Dalam era saat ini banyak mainstream yang mengalami pergeseran paradigma (sheftim paradigm) jika sudut problematika tersebut dipertajam, maka lewat merebaknya budaya modernitas tidak saja mengubah keberadaan dunia, tapi juga mentalitas dan cara berfikir, yang dirasakan paling mendesak saat ini adalah perubahan mentalitas seseorang dalam menghadapi persoalan, baik itu persoalan fisik maupun mentalitas yang berhububgan dengan tingkah laku.
Perlunya idealisme keberagaman dalam menghadapi budaya modernitas, agaknya sangat sulit karena mereka sudah tertanam hama guncangan kebudayaan (cultural shok) yang mendarah daging. Menurut saya perlu adanya semacam ijtihad dan tajdid sebab kedua pokok ini memang mengandung sifat dan arti mental yang kritis-konstruktif terhadap histories kebudayaan klasik.
Sebetulnya langkah yang dilakukan kaum modern sangat jauh dari kultural klasik yang memang melahirkan kultural-kultural yang berideologi soial keagamaan dipanggung dunia namun, saat ini di bawah monomen kultural yang tumbuh sangat dahsyat yang telah memporak-porandakan norma-norma kultural yang berlaku di Indonesia. Tumbuhnya sebuah kultural yang tidak real membuat persoalan baru. masalah harus di bahas dengan hati-hati.
Dasar kultur dalam masyarakat terbangun adalah suatu kultur yang dapat dikatakan dengan anti sifat dan sikap, itu terbukti dalam sebuah peradaban dunia. Ada banyak kasus reduksionisasi yang dilakukan oleh modernisasi global, seperti dalam hal berpakaian, potongan rambut, pernik-pernik tubuh dalam bentuk tato, suntik dan sebagainya. Dari yang semula pilihan-pilihan model tersebut memiliki makna, nilai dan fungsionalitas khusus yang berkorespondensi dengan persoalan ritual, karena tereduksi, pada akhirnya mengalami pergeseran (shefting) yang cukup radikal.
Dalam menghadapi problematika seperti itu harus ada yang namanya gerakan kultural Islam, ini adalah sebuah kalimat yang harus dimaknai dengan rasa jiwa humanis universal yaitu memaknai kembali peristiwa masa lalu tanpa terjebak pada glorifikasi. Kemudian menginternalisasikan nilai maupun konsep yang di dapatnya, apa yang didaptkan dari masa lalu adalkah spiritulitas transedental dari nilai-nilai vital kebudayaan.
Dari sanalah kita harus memberi landasan moral dari saking vitalnya nilai-nilai moral dalam kehidupan masyarakat sampai Confosius pernah mengatakan, “bila seseorang ingin membangun negerinya menjadi negeri yang besar dan terhormat, maka harus terlebih dahulu menbangun moral masyarakat. bila hendak memebangun masyarakat yang bermoral maka hendak menbangun moral keluarganya dan begitu seterusnya. Jadi harus tumbuhkan mental yang bermoral. Apa yang menyebkan munculnya fenomena seperti itu? karena Islam di posisikan sub-kultural jadi harus ada yang namanya strategi kebudayaan sebab perang kebudayaan sangat penting kadang sring di abaikan, di bandingka denga kehidupan ekonmi dan teknoligi, transformasi senantiasa berjalan lambat, sehingga lolos dari pakar ekonomi dan politisi.
Dalam memerangi kemiskinan, peran budaya sangat penting guna memotivasi dan medukung atas perubahan sosial. Tapi sekarang masalahnya adalah dikotomik antara budaya tinggi dan budaya kebaratan tampaknya senada dengan yang di ungkapkan oleh teori hegemoni neo-Gramscian yang menganggap bahwa budaya merupakan tempat terjadinya pergulatan antara usah perlawanan kelompok subordinasi dan inkorporasi terhadap kelompok dominan. Di dalam sebuah hegemoni, budaya tersubordinasi menjadi bagian dari dari counter cultural. Para remaja yang menggunakan budaya barat, tindik, berpakaian yang berbeda-beda cendrung menjaga jarak terhadap orang dewasa. Keduanya menggunakan gaya berpakaian yang bebeda untuk mengekspresikan prilaku tertentu. Akibatnya keadaan yang tidak sesuai tersebut membuat para remaja melakukan “ pemberontakan kultural “ terhadap nilai-nilai di lingkungan masyarakat sekitar.
Sekarang problematika tersebut menjadi tanda tanya apakah kaum budayawan Indonesia tetap memiliki empati dan bisa bergairah denga kebudayaan masyarakat baik di desa lebih-lebih di kota-kota dalam beberapa terakhir ini, memang sebuah budaya bekerja keras mengangkat tema-tema persoalan sosial ekonomi rakyat sebagai problem kebudayaan. Budaya Indonesia modern untuk tingkat tertentu tak lepas dari kondisi sosial dan kebudayaan masyarakat.
Lantas, bagaimana sikap kita dalam hubungannya dengan kebudayaan yang sudah lama tertanam dalam jiwa Indonesia. Sesungguhnya budaya saat ini menghadap pada dingding besi sosio-kultural yang meramba bangsa kita yang tercinta ini.
Ketika dingding besi kian meramba masyarakat kita, malah kita mabuk karena pengapnya kita bertanya masih adakah jiwa yang seperti pahlawan kita “ Kartini” Soekarno” dan pejuang-pejuang yang lainya. Yang mengatakan bahwa: membanting tulang, memeras keringat, mengulur-ngulurkan tangan, aktif, dinamis, meraung, menggeledek, mengguntur, selalu sungguh-sungguh tanpa kemunafikan, ikhlas berkorban, untuk cita-cita yang tinggi (Soekarno, 17 Agustus 1964), atau kita lupa pad warna langit yang diam membelenggu itu.
Sehingga kebudayaan ibarat cermin, tidak kusam warnanya, apapun apresiasi masyarakat kita, budaya modern Indonesia akan terus melanda tubuh bangsa kita denga atau tanpa pembelaan. Sebab kalau kita ibaratkan orang yang bermain bola, kalau sudah bola itu di tendang untuk masuk gawang apakah lantas kita diam saja? Tidak! Kita seharusnya menyerang agar musuh kita tidak mempunyai peluang untuk masuk dalam pintu yang sudah lama kunci dengan keringat yang membasahi bangsa yang tearcnta ini.


* Penulis adalah peneliti pada pusat keagamaan dan kebudayaan. Tinggal di Minggiran MJ II / 1482-B Yogyakarta 55141
no, rek, 0112529222, Cab UGM Yogyakarta, a/n Matroni,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Tari India Yang Sarat Spiritualitas

Matinya Pertanian di Negara Petani