Saat Bayangmu Menyapa

Puisi-Puisi:
Matroni el-Moezany

Saat Bayangmu Menyapa

Sesaat wajah ayu meniti lewat benang
menyatu dalam diri berbuah jadi satu
adalah tiada menjadi ada

Bayangan wajah
tiada lepas dari angan
yang bermain di sana
dengan hiasan senyum manis di balik jilbab

Kehadiran wajahmu
menyapa segala rindu
menyatu di seluruh raga
bagai pupuk di akar rumput

Minggiran, Januari 2006

Kata

Kata membuat kita bahagia
kata membuat kita bangun dari tidur
kata membuat kita ada
kata membuat kita berfikir
kata membuat kita pembunuh
kata membuat kita sampai pada ilahi
kata membuat air mata berlinang
kata membuat kekasih takluk di pangkuan

Betapa banyak kata-kata terdampar
mengisi manusia dan alam ini
agar tertata rapi

Aku selalu berharap dalam
kekosongan
yang kian tiada arti dan makna
agar tertanam kata-kata
Kekosongan selalu ada

entah kemana ia pergi?
hingga aku tak punyak apa-apa
kecuali diam tanpa kata

Kata tak selamanya ada
ia tidur bersama Tuhan
diatas ranjang kekuasaan
tapi, engkau tetap kunanti
sampai kau bangun besok pagi

Yogyakarta, 2006

Bila Jiwa

Sekelebat bayang wajahmu
mengajak bermain
mengejutkan tidur

Tidurmu bergantung di langit malam
mata terpejam
seribu kunang-kunang mendahului
lelapmu

Kekasihku, sudah cukup kita bersama
dalam malam berdamping sentuh

Bayangmu seakan mengajaku bicara
Lalu kusapa
“Adakah kerinduanmu padaku di sana”
aku berharap engkau menjadi lega
memejamkan mata
bermimpi bermain dengan hati

Bila kita menyapa lewat mimpi
kau kulukis dengan cinta
dan kubaca kedalaman ait mata
untuk memaknai kanvas bisu yang telah
kulukis sejak dulu

Harapan dan impian telah kita ikat di hati
menyala hingga menjadi bara
betapa sederhananya Tuhan mempertemukan kita
yang kian lama terpisah oleh waktu

Yogyakarta, 2006


Undak Mimpi

Undak-undak mimpi itu
kunaiki lewat mimpi
disana tak seorangpun menerka
karena hanya engkau dan aku yang
bermain-main di atas awan berkilau

Engkau mengajakku bermalam
mengisi sunyi
yang kian sumbang oleh putaran waktu

Engkau terkuliti malam
hingga engkau resah
karena akan pulang
menuju neraka

Maka,
senyumlah sepuasmu
nangislah sepuasmu
engkau pasti tahu
bahwa mimpi itu adala aku

Yogyakarta, 2006

Malam ini

Malam ini
keperawananku telah tercabik-cabik
oleh keperkasaan dingin
mendekap tubuh
di ranjang kesunyian

Aku malu
karena mahkota tak lagi ada
untuk dicicipi

Aku mengigil
keeratan dingin
menemani malam
di saat ranjang tak berselimut
Ia terbaring
temani tidurku
di atas kanvas
yang kian melepuh

Malam menangis
membuat mata tak terpejam
hingga senja datang membawa malam.

Yogyakarta, 2006

Detik-Detik yang Tak Pernah Usai

Detik-detik yang tak pernag usai
kucatat di atas bumi
tak pernah terhapus oleh waktu
tumbuh rasakan sinar mentari
dan tangisan langit mendung

Inilah detik-detik yang tak pernah usai itu
akan terlihat sejarah nanti
terkata di sini
hidup ini munkin sisanya
kini menjadi pengembara

Detik ini pasti terkata
dari dia yang sering berputar
Sepanjang waktu berjalan
melangkah keterasingan
tenggelam kejauhan
terdiam kesendirian
meraba kesunyian
Jadi, detik tak pernah usai
dia tercatat
menyatu di hati sejarah
terbuka untuk istirahat
di ranjang pengisian.

Yogyakarta, 2006





*Matroni el-Moezany kelahiran Sumenep, Madura 03 Maret 1984 Alunmnus Pondok Pesantren Al- Karimiyyah Braji Sumenep, Madura, sekarang melanjutkan studi di pesantren budaya Hasyim Asy’arie (Asuhan KH. Zainal Arifin Thoha budayawan). Aktif di lesehan sastra budaya Yogyakarta juga menjadi jamaah seni kutub Yogayakarta, sekarang menjadi anggota Forum Satra Pesantren Indonesia (FSPI). Tinggal di Minggiran MJII/1482-B Yogyakarta 55141

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani