Ramadhan dan Kebudayaan Transformatif

Ramadhan dan Kebudayaan Transformatif
Oleh: Matroni El-Moezany*
Ramadhan telah riba, bulan suci ini bisa menjadi momentum yang sangat baik untuk merenungkan praktik budaya transformatif yang membelit bangsa Indonesia ini. Mata dan nurani juga sebagian rakyat bisa melihat praktik budaya transformatif yang dulu sebagian besar di lakukan secara mapan dan mampu mengatasi budaya sekuler, kini di praktikkan secara telanjang.
Tudingan berbagai lembaga internasional tentang budaya transformatif di republik kian memperkokoh kebebasan mereka: kesejahteraan dan keadilan sosial untuk rakyat kalah oleh nafsu budaya transformatif.
Budaya transformatif adalah kebebasan kemanusiaan yang biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki perangkat sekularisasi. Lebih jauh lagi, budaya transformatif adalah kebebasan yang membangun sistem yang akan berlansung hampir pasti akan kontaminasi.
Budaya transformatif menuju pada tindakan yang bercirikan tidak bermoral. Di sinilah berlaku dalil crime by the best is the worst: kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terbaik adalah yang terburuk. Bagaimana pertautan dengan kehadiran Ramadhan dengan kritis kebudayaan akibat merajalelanya praktik budaya transformatif di negara kita? kita pasti ingat, Tuhan menurunkan perintah berpuasa dengan satu tujuan utama agar manusia bertakwa. Manusia yang bertakwa selalu ingat dan yakin pada Tuhan yang selalu menyertainya dalam segala aspek kehidupan. Untuk itu, kita di anjurkan untuk selalu berdo'a mengucapkan dengan nama Allah ketika memulai melakukan perkerjaan dan menutupnya dengan segala puji milik Allah ketika selesai pekerjaan itu, sebagai rekorfimasi kesadaran bahwa Tuhan selalu menyertai kehidupan kita.
Takwa membuat seseorang sadar bahwa Tuhan selalu menyaksikan perbuatan kita sehari-hari. Namun apa lacur, praktik budaya terus berjalan. Kebudayaan punyak dua persamaan 1) keduanya adalah sistem nilai dan sistem simbol 2) keduanya mudah merasa terancam setiap kali ada perubahan (Kuntowijoyo). Tentunya masalah budaya transformatif menyangkut keyakinan tentang manusia dan masa depannya. Tapi bersadarkan pada teori evolusi itu punyak dua kelemahan dasar. Pertama pengadaan seolah-olah sejarah itu tertutup, sehingga sejarah kemanusiaan hanya mengikuti satu model, yaitu model Amerika. Kedua menganggap bahwa manusia adalah mahkluk satu dimensi yaitu makhluk rasional.
Teilhard de Chardin, Filsuf Katolik dari Prancis, mengatakan bahwa spiritualisme juga menjadi bagian dari sejarah modern, ini menunjukkan bahwa manusia itu bukan mahkluk satu dimensi. Meskipun spiritulisme tidak mesti berarti agama yang melembaga, tapi setidaknya itu memberi indikasi bahwa masih ada peluang untuk agama.
Agama bukanlah harmoni yang terlepas dari sejarah masa lalu. Naik tenggelamnya bangsa-bangsa lampau adalah juga keterpurukan kemanusiaan yang tidak mampu mengakselerasikan diri dengan getaran-getaran "la’allkum tattaquun". I’tibar Al-qur’an memberikan nuansa paling bernilai, bahwa romantik beragama selalu berada dalam tafsir beragama merupakan bagian integral diri dari sistem kufur karena terlalu jauh mengolonisasi pemikiran manusia dengan ilusi surga di langit, tapi justru melanggengkan neraka di bumi (Norkholis Madjid, Kompas 30/10/03).
Ramadhan adalah sekolah kemanusiaan dengan latihan diaktualisasikan sebulan penuh. Menilai diri menjadi takwa pada bulan Ramadhan hanyalah reduksi keimanan hidup (living faith) semata. Urgensi Ramadhan justru terletak dari neraca gerakan individu dalam transformasi-liberasi masyarakat dari kejumudan pasca Ramadhan. Kemudian mampu mengintervensi dinamika publik kepintu keselamatan dan juga salam perdamaian.
Ramadhan mengajarkan pada kita untuk berserah diri pada Tuhan. Kehidupan kita sehari-hari akan merasa gelisah atau lemas jika terlambat makan siang dan malam, tetapi di bulan Ramadhan ini kita sengaja tidak makan dan minum selama 13 jam. Hal itu kita lakukan karena kita percaya, kekuatan dan daya hidup itu datangnya dari Tuhan bukan dari makanan.
Tuhan melalui bulan Ramadhan ini ialah penanaman dan pengukuhan kesadaran yang sedalam-dalamya akan kemahadiran Tuhan. Kesadaran melandasi ketakwaan atau merupakan hakekat ketakwaan itu yang membimbing seseorang ke arah dan tingkah laku yang baik dan terpuji. Dengan begitu ia di hadapkan pada seseorang yang berbudi pekerti yang luhur.
Kesadaran akan hakekat Allah yang mahahadir itu dan konsekuensinya yang di hadapkan dalam tingkah laku manusia ialah seperti yang terterah dalam al-quran surat 58: 7 "tidak tahukah engkau bahwa mengetahui segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan bumi? Itu sama sekali tidak ada suatu bisikan dari tiga orang, tetapi dia adalah yang keempat; dan tidak ada dari empat orang, melainkan dia adalah yang kelima; dan tidak dari lima orang melainkan dia adalah yang keenam; dan tidak lebih sedikit dari pada itu ataupun lebih banyak; melainkan dia beserta mereka dimanapun mereka berada. Kemudian dia akan membeberkan apa yang telah mereka perbuat di hari kiamat. Sesungguhnya Allah maha tahu akan segala sesuatu".
Pernyataan sangat relevan bila meningok kembali pada makna islam, berarti pasrah sepenuhnya kepada Allah. Setiap berserah diri kepada Tuhan itu meminta pengakuan bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas serba mutlak. Tuhan adalah wajud mutlak, menjadi sumber semua wujud lain sehingga wujud yang lain itu relatif. Dasar beragama, kalau sudah demikian begitu, adalah ketulusan.
Kebudayaan agamalah yang dapat menyelamatkan bangsa Indonesia dari kerusakan. Yaitu kebudayaan yang sistem nilainya berasal dari agama, tapi sistem simbolnya berakar dalam kebudayaan. Masalah modern, seperti sekularisasi, alienasi, dan spritualisme terpecahkan.
Jadi, Ramadhan kali ini, jadikanlah sebagai awal langkah kita bersama untuk membangun Indonesia yang bersih dari budaya transformatif (budaya Shok).

*penulis adalah penyair dan esais kelahiran Sumenep, Madura. Sekarang menempu studi di Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menjadi staf devisi sastra dan budaya Kutub Yogyakarta, juga aktif di lesehan sastra dan kajian kutub Yogyakarta. Tulisannya di muat di berbagai media baik ibu kota maupun daerah. Tinggal di Minggiran MJ II/ 1482-B Yogyakarta 55141.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas